Warna Jingga Arana

Arana berjalan menyusuri pantai di kota kecil ini. Ia melangkah perlahan, seakan ia ingin agar waktu pun tak melaju cepat. Ombak yang sesekali menyentuh kaki telanjangnya seperti ingin mengajak bersama-sama menari diiringi riuh deburnya tiap memecah karang. Arana merasakan sensasi dingin menyentuh kaki-kakinya. Arana berhenti melangkah, ia menatap gulungan ombak yang baru saja terbentuk  dan kemudian pecah menyentuh bumi , lalu membawa pasir-pasir di bibir pantai melaju bersamanya. Arana sangat menyukai pemandangan ini. Juga bunyi debur ombaknya. Arana memang sangat mencintai pantai, sama seperti ia mencintai suasana senja ketika sang surya kembali ke peraduannya.
Arana kembali berjalan, hingga sampai di batu karang yang landai yang ada di tepi pantai itu. Ia duduk di atasnya sambil memeluk lututnya. Pandangan lurus ke depan ke arah luasan samudra yang ada di hadapannya. Arana tenggelam dalam lamunannya. Sesekali ia menghela napas dalam-dalam.
“Hidup,” bisiknya perlahan. “Apakah sebenarnya hidup itu? Apakah ketika jiwa masih ada di dalam raga? Ataukah ketika napas ini masih bisa menghembus?”
Pikiran Arana kembali kepada saat-saat, ketika ia masih merasa ‘hidup’. Ya, sesungguhnya Arana adalah seorang gadis yang periang. Dia sangat suka tertawa dan menciptakan lesung pipi yang samar di pipi kanannya. Ia juga gadis yang sangat aktif. Banyak kegiatan yang diikutinya. Terutama kegiatan seni. Arana pernah tergabung dalam klub drama di kampusnya, ia pun ikut serta dalam kelompok paduan suara di gerejanya, sesekali ia diminta menjadi narator maupun pemandu acara atau master of ceremony di beberapa acara. Arana adalah gadis yang penuh semangat, lincah, dan periang. Arana adalah gadis yang ‘hidup’, hingga sampai pada suatu saat sesuatu membuat sosoknya tampak redup.
Sore itu seperti biasa, Arana bersiap-siap akan latihan paduan suara di gereja. Seorang teman berjanji untuk menjemputnya dan berangkat bersama. Namun tiba-tiba, sehabis mandi dan berpakaian, Arana merasakan bagian bawah perutnya sangat sakit. Nyeri sekali, hingga untuk berdiri pun ia tak sanggup. Ia pun hanya bisa terduduk di sofa ruang tengah di rumahnya. Ibunya yang melihatnya begitu kesakitan langsung membawanya ke rumah sakit. Lewat beberapa pemeriksaan, akhirnya diketahui bahwa ada tumor di dalam rahimnya. Arana yang kala itu masih sangat muda, sungguh tak dapat menerima kenyataan itu. Dia sangat terpukul, apalagi ternyata pada akhirnya tumor itu membuat dokter harus mengangkat rahimnya. Arana yang masih muda, yang mempunyai impian membangun rumah tangga dan memiliki anak-anak yang manis benar-benar tak dapat menerima kenyataan itu. Ia yang semula terlihat sangat bercahaya, lambat laun menjadi redup, dan tak mempunyai semangat untuk hidup. Nasihat orang tua, masukan dari para sahabat dan saudara-saudara kandung seakan tak dapat lagi mengembalikan Arana kembali menjadi Arana yang dulu.
Arana kembali menghela napas panjang, “Ah. Hidup,” bisiknya perlahan.
Arana memandang ke langit dan ia mendapati sepasang burung layang-layang sedang terbang. Arana tersenyum pahit. Impiannya akan cinta dan indahnya bahtera rumah tangga sudah kandas seiringnya dengan perginya organ terpenting yang seharusnya dimiliki seorang wanita dari tubuhnya. Arana sesungguhnya bukan tak ingin mencinta dan dicintai. Ia pun sama seperti semua wanita yang ingin memilik pendamping hidup dan membangun rumah tangga, namun Arana tak mampu menerima kenyataan jika nantinya cintanya harus kandas, karena ia tak lagi bisa  memberi keturunan kepada suaminya kelak. Arana bukannya tak pernah mencoba. Ia pernah mencoba dan gagal.
Arana masih ingat pertemuan terakhirnya dengan Langit di sebuah cafe malam itu. Malam yang seharusnya menjadi malam yang terindah dalam hidup Arana. Malam itu Langit memberinya kejutan ulang tahun dengan melamar dirinya. Langit menggenggam jemari tangannya, lalu memasangnya sebuah cincin di jari manisnya.
“Rana, aku mau kamu menjadi ibu dari anak-anakku. Maukah kamu menikah denganku?” bisik Langit malam itu dengan penuh cinta. Mendengar kata-kata Langit tiba-tiba saja Arana merasa sebuah pisau menikam jantungnya. Ia merasa nyeri sekali. Anak? Arana berkata dalam hatinya. Arana tiba-tiba merasa tulang-tulang di seluruh tubuhnya lepas.  Ia merasa sangat lemas. Sambil mengumpulkan segenap kekuatan yang masih dimilikinya, Arana melepaskan genggaman tangan Langit. Melepaskan cincin di jari manisnya, lalu dengan perlahan ia pun mulai memberi penjelasan kepada Langit.
“Lang, maafkan. Bukan aku tak mau menjadi ibu dari anak-anakmu. Tapi aku ngga bisa, Lang. Aku ngga bisa jadi ibu dari siapapun. Aku sudah tak punya......”, Arana tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia hanya bisa terisak. Langit hanya memandangnya dengan heran. Langit ingin bertanya, namun ia menunggu Arana berhenti menangis. Setelah beberapa saat, akhirnya Arana pun mulai bisa bicara. Dengan suara seraknya, ia memberi penjelasan kepada Langit. Arana menceritakan semuanya. Mendengar penjelasan Arana, Langit hanya bisa terdiam. Bayangannya untuk membina rumah tangga dengan Arana tiba-tiba saja hilang. Langit bukannya tak mencintai Arana ataupun tak memahami keadaan Arana, namun tradisi di sukunya yang mengharuskan ia memiliki istri yang bisa memberinya keturunan, membuat ia pada akhirnya melangkah mundur dan pergi meninggalkan Arana. Arana paham, Arana mengerti sekali bagaimana keluarga Langit. Arana pun bisa menerima sikap Langit yang akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan Arana sendirian. Namun, Arana juga manusia, ia benar-benar merasa sakit sekali ketika ia ditinggalkan ketika sedang sayang-sayangnya. Dan kejadian itu membuat Arana menutup pintu hatinya untuk siapa pun. Arana tidak mau ada Langit-Langit yang lain yang akan kembali membuat luka di hatinya.
Arana kembali menghela napas panjang. Udah sore yang semakin dingin reflek membuat ia merapatkan jaket yang dipakainya. Arana menatap ke langit yang mulai berubah warnanya menjadi jingga. Matahari pun tampak akan bersiap-siap meninggalkan langit, untuk kemudian kembali ke peraduannya. Arana merasa ia sama seperti langit itu, ia yang semula tampak biru cerah, kemudian berubah menjadi jingga kala waktu sudah semakin menua, dan pada akhirnya menyisakan gelap.
Hidup bagi Arana saat ini, adalah menanti datangnya gelap yang akan menjemputnya. Arana menyadari bahwa sebelum menjadi gelap, ada warna jingga yang lebih dulu datang, sama seperti langit sore itu. Arana ingin membuat warna jingga dalam hidupnya menjadi warna jingga yang paling indah. Dan Arana tidak memerlukan orang lain untuk membuat warna jingga yang cerah itu. Arana tahu bahwa hanya dirinyalah yang bisa. Arana ingin bisa memberikan rasa cinta dan kasih yang masih ada di dalam dirinya, untuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk orang-orang yang peduli dengan dirinya. Cinta memang tidak melulu hanya hubungan dua orang lawan jenis lalu kemudian berakhir di pelaminan. Untuk jenis cinta yang itu, Arana sudah menyerah. Pengalamannya dengan Langit membuat Arana tak berani lagi mencoba. Arana memiliki cinta yang lebih universal. Karena itu dengan cinta yang masih ada dalam dirinya, Arana ingin membuat dirinya berguna untuk orang lain. Arana ingin membuat warna jingga dalam hidup seindah warna jingga yang ia lihat sore itu. Warna yang membuat orang-orang menaruh harap akan datangnya pagi setelah malam yang gelap.




(Kalasan, 13 Oktober 2015)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fatamorgana Rasa

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Ketika Mereka Sudah Tak Sejalan