Pertemuan Dua Hati
Arana
kembali berjalan menyusuri pantai. Kali ini ia tidak berjalan seorang sendiri.
Di sampingnya ada seseorang yang menemaninya. Seseorang yang yang selalu ia
rindukan. Seseorang yang selalu ia ingat pada malam sebelum ia tidur, dan pada
pagi hari saat ia membuka mata. Seseorang yang namanya selalu ia sebut dalam
saat-saat doanya. Seseorang yang akhirnya kembali hadir setelah penantiannya
yang panjang. Seseorang itu bernama Adityakundala Pradipta. Mereka berjalan
bersisian dalam diam. Masing-masing
tampak sibuk dengan pikirannya, padahal dalam hati mereka masing-masing saling
menyimpan kerinduan yang sangat dalam.
Akhirnya
Aditya memecah keheningan di antara mereka.
“An,
kok diam aja dari tadi?” tanyanya kepada Arana.
“Abis
kamu juga diam aja, Dit, aku jadi bingung mau ngomong apa?” jawab Arana sambil
tersenyum.
“Kita
duduk di situ, yuk”, kata Aditya sambil menunjuk ujung pemecah ombak yang
memanjang menjorok ke laut. Arana menganggukkan kepalanya.
Mereka
lalu duduk berdampingan.
“Masih
cinta pantai, An?” tanya Aditya.
“Selalu,
Dit. Selamanya,” jawab Arana. ”Dan kamu, masih cinta gunung?”
“Masihlah,
An. Selalu,” kata Aditya. “Gunung selalu membuatku merasa damai. Dan aku bisa
merasakan kebesaran Sang Khalik bila aku berada di sana.”
“Apa
arti pantai buatmu, Ana?” Aditya kembali bertanya sambil menatap wajah Arana di
sampingnya.
“Pantai
buatku berarti ketenangan dan kedamaian, Dit. Melihat kumpulan air yang begitu luas rasanya ada kesejukan dalam
hati dan aku bisa merasa damai. Suara debur ombaknya juga bagaikan nada-nada
yang bisa membuat aku tenang,” jawab Arana dambil menatap ke lautan luas yang
ada di hadapan mereka.
Aditya
menatap wajah Arana kala itu, memang ia melihat kedamaian di sana, namun Aditya
juga menangkap keresahan dan kesedihan yang tersirat dalam matanya. Arana
memalingkan wajahnya, dan mendapati Aditya yang sedang menatapnya dengan
tatapan yang sulit diterjemahkan. Arana segera menundukkan kepalanya
menghindari tatapan Aditya. Ia tidak ingin Aditya mengetahui perasaan hatinya.
Arana selalu ingat bahwa Aditya sangat pandai membaca perasaannya hanya dengan
menatap matanya. Arana tidak ingin hal itu terjadi, setidaknya hari ini. Ia
hanya ingin menikmati waktunya bersama Aditya yang tidak banyak lagi.
Aditya
menghela napasnya perlahan. Dia baru menyadari bahwa Arana yang ada di samping
saat ini sudah berubah. Arana yang ia kenal dulu, adalah sosok yang periang,
banyak bicara, suka tertawa, dan galak. Tapi sosok yang ada di sampingnya saat
ini sangat berbeda. Arana yang sekarang tampak lebih pendiam, tertutup, dan
terlihat rapuh. Tiba-tiba saja Aditya merasa sedih.
Selama
hampir setengah jam hanya ada kebisuan di antara mereka. Aditya sebenarnya
ingin mengajak Arana bicara, namun ketika ia menoleh ke samping, ia mendapati
Arana sedang menengadahkan kepalanya sambil memejamkan mata. Seakan Arana ingin
menyerap kedamaian yang ada di pantai ini dengan begitu khusuk. Aditya tidak
ingin mengusiknya, ia hanya menikmati wajah Arana yang kala itu tampak begitu
teduh dan damai, rambutnya yang lurus sebahu tampak berkibar terkena angin yang
bertiup. Ingin rasanya Aditya merengkuh wajah itu dan menciumnya dengan lembut.
Namun ia harus menahan keinginan hatinya itu.
Merasa
bahwa Aditya sedang memperhatikan dirinya, Arana membuka matanya dan tersenyum
kepada Aditya yang sedang menatapnya. Kali ini Aditya tidak bisa menahan
dirinya untuk tidak membelai rambut Arana yang tampak begitu lembut.
“Adit,
aah...” kata Arana sambil menepis tangan Aditya.
“Wah,
sekarang ngga boleh belai rambut kamu, ya” tanya Aditya. “Dulu, kamu paling
suka kalo aku ngacak-acak rambut kamu.”
“Ah,
kata siapa aku suka? Siapa ya yang dulu selalu lari kukejar kalo dia
ngacak-acak rambutku,” jawab Arana sambil tertawa.
Aditya
pun ikut tertawa. Entah mengapa, ia merasa senang sekali melihat Arana tertawa.
Lesung pipi yang tampak samar di pipi sebelah kanannya membuatnya begitu manis.
Setelah
tawa mereka reda, Aditya bertanya kepada Arana, “An, ada apa? Kamu tahu bahwa
aku selalu siap membantumu, kan. Kamu bisa cerita ke aku kalau kamu ada
masalah.”
Arana
hanya terdiam, sambil menundukkan kepalanya. Matanya tampak berkaca-kaca, namun
ia masih berusaha menyembunyikannya dari tatapan Aditya. Ia tak sanggup
menjawab pertanyaan Aditya, bukan karena Arana tak mau tapi ia tak bisa.
“An,
kamu menangis?” tanya Aditya kembali. “Ada apa, Ana? Kamu tahu bahwa bahuku
selalu siap untukmu. Ceritakanlah, biarkan hatimu lega, Ana. Jangan kamu simpan
sendiri dukamu itu, An.”
Kemudian
keheningan tercipta di antara mereka. Arana yang sudah tidak sanggup lagi
menahan beban di hatinya, mulai terisak. Aditya membiarkan Arana menangis,
“mungkin hatinya akan lebih lega setelah ia menangis,” pikir Aditya.
Setelah
isaknya mereda, Arana mulai bercerita tentang apa yang ada di hatinya. Ia
bercerita tentang Langit dan cintanya yang kandas, tentang ketakutannya akan
ikatan pernikahan karena handicap yang
dimilikinya, dan juga tentang penyakit yang telah beberapa tahun ini
menggerogoti tubuhnya.
“An,
lupakan Langit. Jika memang Langit tak mau menerimamu dan segala kekuranganmu,
masih ada Langit-Langit yang lain. Masih ada aku, An,” kata Aditya.
“Makasih,
Dit, kamu selalu menjadi sahabat yang baik buatku. Aku tahu bahwa aku selalu
bisa mengandalkan kamu. Tapi kali ini, aku udah ngga mikirin tentang membina
hubungan cinta dengan siapapun, Dit. Kamu ngga usah memikirkan tentang itu. Aku
sudah terbiasa sendiri sekarang.”
“Arana,
kamu harus terus semangat. Kamu harus terus bahagia, kamu pasti bisa sembuh.
Kamu selalu bilang bahwa hati yang
gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah meremukkan tulang, kan,''
Arana
menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Pasti,
Adit. Aku pasti akan terus bersemangat. Apalagi akhirnya aku bisa ketemu kamu
lagi setelah sekian lama. Bertemu denganmu lagi, adalah satu dari banyak
permohonanku kepada Tuhan. Aku bahagia sekali Tuhan mendengar dan mengabulkan
doaku itu, Dit,” kata Arana sambil tersenyum.
“Aku
juga senang sekali bisa ketemu ama kamu lagi, Ana,” jawab Aditya sambil
mengacak rambut Arana.
“Adit,
aaah,” kata Arana sambil menepis tangan Adit dan mencubit lengannya. Lalu ia
tertawa.
Aditya
bahagia sekali melihat Arana tertawa bahagia. Jika saja diijinkan, Aditya
sungguh tidak ingin waktu ini berlalu.
“Dit,
kamu tau nggak. Ada satu lagi permintaanku yang dikabulkan oleh Tuhan,” Arana
berkata sambil memandang wajah Aditya.
“Apa
itu, An?”
“Aku
pernah memohon kepada Tuhan, bahwa aku ingin menikmati suasana pantai yang
sangat kucintai bersama orang yang juga sangat kusayangi. Kamu, Dit. Aku bahkan
rela jika setelahnya Tuhan akan memanggilku. Asalkan aku bisa menikmati pantai
denganmu”
Adit
hanya terdiam mendengar penjelasan Arana. Ia sangat mengerti kecintaan Arana
kepada pantai, sama dengan kecintaan dengan gunung. Ia juga ingin menikmati apa
yang dicintainya dengan orang yang juga ia cintai. Namun, jika dengan hal itu
kemudian Tuhan akan memanggil Arana kembali padaNya, ia sungguh tidak rela.
Lebih baik tidak menikmati pantai bersama Arana, asalkan ia bisa bersama Arana
di mana saja, kapan saja. Mendadak ada penyesalan yang menyeruak dalam hatinya
datang ke pantai ini bersama Arana.
“Kok
jadi diam, Dit? Apa kamu ngga suka dengan permintaanku kepada Tuhan itu?”
Adit
menggelengkan kepalanya, “Enggak kok, An. Aku senang bisa menemanimu sore ini
di tempat yang sangat kamu cintai ini.”
Keheningan
kemudian hadir kembali di antara mereka. Masing-masing tampak tenggelam dalam
pemikiran mereka. Hanya suara debur ombak dan hembusan angin yang terdengar. Arana
memandang ke langit di atas lautan. Langit yang perlahan mulai menjingga,
seakan ingin mengatakan pada keduanya bahwa sebentar lagi malam akan datang.
“Adit,
kamu sendiri gimana kabarmu setelah lulus SMA?”
“Ah,
tidak ada yang istimewa, An. Aku kuliah di Yogya. Di tahun pertama aku
mengambil jurusan Teknik Sipil di salah satu universitas swasta. Lalu tahun kedua
aku mencoba ikut UMPTN lagi dan diterima di UGM. Lulus dan
kemudian bekerja,” jawab Aditya. Lalu ia bercerita kepada Arana bagaimana ia
kuliah sambil bekerja untuk dapat membiayai hidupnya. Kemudian tentang
pengalamannya hingga ia bisa sampai di posisi yang sekarang ini. Arana
mendengarkan cerita Aditya, kadang-kadang ia mengomentari apa yang diceritakan,
terkadang ia hanya mengacungkan jempolnya untuk memuji. Dari cerita Aditya,
Arana benar-benar menemukan bahwa Aditya memang sudah banyak berubah dari yang
ia kenal dulu. Secara umum, ia masih Aditya yang lama, namun Aditya yang ada di
hadapan Arana sore ini adalah bukanlah Aditya yang minder karena keadaan
seperti dulu namun sudah menjadi Aditya yang mempunyai rasa percaya diri lebih
besar dan bisa dibilang cukup sukses meniti karirnya.
“Dit,
kamu benar-benar membanggakan. Aku bangga sekali bisa jadi temanmu.
Perjuanganmu meraih apa yang kamu miliki sekarang ini, bisa jadi inspirasi loh,”
kata Arana.
“Ala,
An, hal seperti ini bisa terjadi pada siapa saja kok, asalkan ia mau bekerja
keras dan pandai melihat peluang. Udah, ah....kamu ngga usah bikin kepalaku
tambah besar,” jawab Aditya.
Sore
semakin menjingga, angin laut mulai terasa dingin, Aditya mengajak Arana untuk
pulang, karena malam sudah akan datang menjemput.
“Pulang
yuk, An, udah mulai gelap, nih,” ajak Arana sambil membantu Arana bangkit dari
duduknya. “Kapan-kapan, kita pergi ke gunung sama-sama, ya, An”
Arana
menyambut uluran tangan Aditya, lalu bangkit berdiri. Mereka bergandengan
tangan meninggalkan pantai itu. Gelap mulai merambat, dan langit jingga sore
mulai menghitam.
Di
tengah perjalanan menuju ke arah mobil Aditya diparkirkan, Aditya menarik
tangan Arana hingga tubuhnya berada dalam pelukan
Aditya. Awalnya Arana ingin melepaskan diri. Namun Aditya berbisik, “Biarkan aku memelukmu, An.” Arana pun akhirnya membiarkan Aditya memeluknya. Perlahan ia pun membalas pelukan Aditya dengan penuh rasa sayang.
Aditya. Awalnya Arana ingin melepaskan diri. Namun Aditya berbisik, “Biarkan aku memelukmu, An.” Arana pun akhirnya membiarkan Aditya memeluknya. Perlahan ia pun membalas pelukan Aditya dengan penuh rasa sayang.
“Aku
mencintaimu, An. Ijinkan aku untuk terus ada di sampingmu,” bisik Aditya di
telinga Arana.
Arana
tidak bisa menjawab karena tenggorokannya tercekat oleh haru yang mendadak
memuncak. Sosok yang ada dipelukannya ini, adalah sosok yang amat ia rindukan.
Ia merasakan bahagia yang membuncah di dadanya dan ia menangis dalam pelukan
Aditya. Rasa rindunya sekian lama akhirnya kini bisa ia lepaskan pada orang
yang tepat.
Aditya
mengelus rambut Arana perlahan dan berbisik, “Jangan menangis, An. Jangan
menangis lagi. Aku akan selalu membuatmu tertawa. Aku berjanji tidak akan
membiarkan kesedihan menghampiri kamu. Aku tidak peduli seperti apa keadaanmu
sekarang, karena aku hanya mencintai kamu.”
Arana
mengangguk perlahan, “Terima kasih, Dit. Terima kasih sudah datang dalam
hidupku.”
Dan
ketika akhirnya mereka melepaskan pelukan masing-masing, Aditya mencium pipi
Arana dengan lembut kemudian berkata, “Aku ngga akan biarkan ada air mata yang
mengalir di pipi kamu lagi.”
Arana
tersenyum, dan ia menganggukkan kepalanya, “Aku janji ngga akan nangis lagi.”
Kemudian
mereka bergandengan tangan menuju ke parkiran yang terletak tak jauh dari
tempat mereka tadi. Masing-masing membawa kebahagiaan yang hanya mereka yang
tahu bagaimana rasanya. Sebentar lagi mereka mungkin akan berpisah untuk
kembali ke rumah mereka masing-masing. Namun hati mereka tidak akan terpisahkan
lagi. Pertemuan dua hati yang terpisah jarak, waktu, dan keadaan membuat
masing-masing dari mereka berjanji untuk terus bersama dan bahagia. Bahagia karena
mencintai dan bahagia karena dicintai. Kisah mereka mungkin tak semulus kisah
cinta di dalam dongeng, tapi mereka tahu ada kebahagiaan yang sama yang menanti
mereka di ujung perjalanan.
Greatness as you, smallest as me
You show me what is deep as sea
A little love, little kiss, a little hug, little gift
All of little something, these are our memories.
(Little Love by Fiona Fung)
---Tamat
----
Komentar
Posting Komentar