Menjadi "Teman" Belajar
Pagi ini disela-sela kesibukanku sebagai Ibu Rumah Tangga
yang (tak begitu) berdedikasi tinggi, seorang sahabat mengirimi sebuah pesan
via Whatsapp. Dia bercerita tentang seorang murid lesnya. Jadi, si murid les ini tidak memberitahukan
kepadanya PR-PR yang diberikan oleh guru sekolahnya ketika sedang les dengannya. Dia pun mengeluhkan kenapa
muridnya yang satu ini begitu sulit dan tidak seperti kakaknya. Sambil terus
melanjutkan pekerjaanku, aku pun memberinya beberapa saran-saran dan ide-ide
yang (mudah-mudahan) baik. Hehehehehe....
Kemudian akupun jadi berpikir, menjadi seorang guru les
privat memang tidak semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang yang mungkin
memandang (sedikit)rendah dengan profesi ini. Kadangkala bahkan orang tak
menganggap ini sebuah pekerjaan. Padahal terkadang justru anak (sebutlah
siswa les) ini mengerti tentang sebuah materi dari guru lesnya dan bukan dari
guru di sekolahnya. Tugas guru les tidak hanya membantu siswa les menyelesaikan
PR (bukan mengerjakan PR siswa looh, bedaaaaa....) dan menjelaskan kepada anak tentang materi
yang dia tidak mengerti hari ini serta menjelaskan materi berikutnya agar siswa
bisa mengikuti penjelasan dari guru ketika guru sekolah menerangkan materi tersebut
keesokan harinya. Belum lagi ekspetasi
orang tua siswa yang tentunya menginginkan anaknya mendapat nilai yang lebih
baik ketika (merasa) sudah mengeleskan (entah kata ini ada KBBI atau tidak, hehehehe....) anaknya.
Tapi bukan berati kita lantas mengecilkan peran guru di
sekolah, yaa.. (Hormat kepada Bapak Ibu Guru di sekolah).
Hanya saja terkadang para guru les ini benar-benar (sedikit
ato banyak) terbeban dengan ekspetasi orang tua yang telah mengeleskan anaknya.
Karena terkadang para orang tua ini tidak memahami kemampuan anaknya dan berharap
lebih dan lebih. (ini juga ga salah sih, wahai Ayah dan Bunda). Terlebih lagi
sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mengutaman NILAI daripada bertumbuh
dan berkembangnya kemampuan berpikir dan bertindak siswanya.
Okelah, tapi sungguh bukan itu yang mau saya bahas di sini.
Saya hanya ingin menguraikan sedikit benang kusut yang ada
di kepala sahabat saya tadi, tentang mengapa ia begitu sulit menghadapi salah
satu siswa lesnya itu.
Sambil mengepel lantai (biar kesannya saya rajin), saya
kemudian berpikir mungkin untuk menjadi guru les yang baik, sebaiknya kita
tidak menempatkan diri kita sebagai guru/pengajar tetapi sebagai “teman
belajar” yang baik. Tapi walaupun istilahnya adalah “teman” bukan berarti
lantas waktu les privat yang hanya 1-2 jam itu kita gunakan untuk bermain
(walau kadangkala selingi dengan permainan yang berhubungan dengan pelajaran
juga perlu sih. Itu kita bahas lain waktu yaa...)
Menjadi “teman belajar” artinya sang anak (siswa les) harus
merasa nyaman dengan kita. Sehingga materi yang kita sampaikan dapat diterima
dengan baik. Ajari mereka sesuai dengan kemampuan mereka. Jika memang anak
mudah menangkap penjelasan kita, maka mudah bagi kita. Namun jika mereka masih
sulit, kita harus mencobanya dengan berbagai cara. Kadang ada anak yang mudah
menangkap materi jika kita menggunakan contoh-contoh atau perumpamaan. Ada yang
dengan meminta mereka membaca berulangkali dan kita kemudian menceritakannya
kembali. Ada juga yang lebih mudah menangkap jika kita yang membacakan
materinya (khusus untuk pelajaran hapalan). Yang jelas kita harus mencari cara
yang tepat untuk bisa menyampaikan materi pelajaran kita supaya anak bisa
memahaminya dengan baik.
Menjadi “teman” belajar yang baik tentunya membuat kitaharus
lebih mengenal pribadi dari masing-masing anak. Hal itu bisa kita pelajari di
awal-awal kita memulai sesi les privat ini. Kita bisa sembari mengobservasi dan
memikirkan cara yang bagaimana yang baik dan sesuai dengan sang anak. Kadang
anak butuh sedikit pujian dan dorongan semangat untuk bisa mengerjakan dengan
baik. Beri pujian dan yang pasti kita harus lebih bersabar. Ya...semuanya
memang perlu proses, tapi yakini saja bahwa segala niat yang baik pasti akan
baik juga hasilnya. Lelah itu pasti, kadang hati juga bisa panas tetapi kepala harus
tetap dingin dan bersikap sabar.
Saya menulis ini bukan hanya sekedar menulis saja, saya
sudah menerapkannya hampir ke semua siswa les privat saya. Tapi bukan berarti
saya selalu berhasil, kadangkala saya gagal juga menganalisa, namun saya tak
pernah putus asa untuk terus mencoba semua cara. Pengalaman-pengalaman saya
sebelumnya saya gunakan sebagai bahan acuan untuk saya memutuskan bagaimana
langkah yang sebaiknya saya ambil.
Sebagai salah satu contoh, saya pernah mempunyai siswa les
yang cerewet sekali. Dia selalu ingin berbicara. Nah, saya tidak pernah
menyuruhnya diam. Saya akan selalu mendengarkan ceritanya bahkan terkadang
menanggapinya. Kemudian ketika dia sudah selesai bercerita, barulah saya
mengalihkan perhatiannya ke materi pelajaran. Dan dia bisa berkonsentrasi
mengerjakannya. Ternyata dia hanya butuh teman yang bisa mendengarkan
ceritanya. Di tengah waktu belajar kami, kadang dia kembali ingin berbicara.
Saya tidak melarangnya hanya saya selalu memintanya (dengan baik-baik), “Kita selesaikan dulu mengerjakan ini gimana,
baru setelah selesai les nanti, kamu cerita lagi.” Biasanya dia akan
menurut. Tapi kadang dia juga menolak. Saya akan membiarkan dia
berbicara tapi dengan konsekuensi dia harus selesai mengerjakan tugas yang saya
berikan. Biasanya dia justru akan menyelesaikan tugasnya dulu baru kemudian
berbicara. Intinya adalah bagaimana cara berkomunikasi kita dengannya dan
bagaimana cara kita menghargainya.
Saya pernah mengajar juga di sebuah bimbingan belajar. Saya
mengajar siswa mulai dari belajar membaca, menulis, dan berhitung untuk siswa
TK hingga mengajar siswa SMA. Semua metode yang saya terapkan berbeda-beda.
Oiya, jangan membayangkan saya adalah guru yang baik hati, lemah lembut, tidak
sombong (dan rajin menabung) yaaa.... karena saya dikenal sebagai guru yang
galak (terutama untuk siswa kelas besar), namun saya disayangi oleh siswa TK
saya.
Yang pasti salah satu modal utama yang harus kita miliki
sebagai guru privat adalah kasih. Jika kita mengasihi anak les kita, saya yakin
kita akan berusaha semampu kita untuk membuatnya lebih berhasil dan maju. Uang
mungkin memang salah satu orientasi kita menjadi guru les, tapi itu bukan yang
utama. Hilangkan rasa tidak suka terhadap anak les kita (juga orang tuanya, mungkin...) agar itu tidak menjadi batu
sandungan yang membuat kita menjadi guru les yang ala kadarnya (yang penting udah ngajar, mau bisa ato enggak yang penting ortunya
bayar).
Semoga dengan tulisan ini membuat kita menjadi guru les yang
semakin mencintai siswa les kita dan membuat mereka bisa lebih mengerti materi
yang tak dikuasainya, serta mendapatkan nilai yang lebih baik.
Terus semangat!
Dukuhsari, Kalasan, 15
Agustus 2015
Komentar
Posting Komentar