Menolong (Sebaiknya) Tanpa Pamrih

"Jangan mengenang terus jasa yang telah diberikan, namun jangan melupakan budi baik yang pernah diterima. - (kata bijak Master Chen Yen)"



Pagi ini saya agak terganggu dengan membaca sebuah status teman di sosial media.
“Dulu waktu susah memohon-mohon untuk ditolong, sekarang giliran kita yang susah lupa deh ama yang dulu”.
Kira-kira seperti itulah bunyi statusnya.

Saya jadi berpikir, sebenarnya ketika kita menolong seseorang itu apakah kita mengharapkan balasan? Supaya ketika kita memerlukan bantuan juga maka dia juga akan menolong kita seperti kita menolong dia. Bukan seharusnya ketika kita menolong orang lain, kita melakukannya tanpa pamrih? Tanpa mengharapkan balasan apa pun.  Berarti seharusnya dan sebaiknya, bahkan semestinya kita menolong tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan apa pun.

Misalnya ketika kita mempunyai kemampuan dan kita bisa membantu orang lain untuk bekerja di sebuah perusahaan, kita tentunya kita perlu mengharapkan dia akan membayar usaha kita ketika menolongnya saat dia sudah berhasil dan kemudian memiliki penghasilan yang mungkin lebih besar dari kita. Toh, kita hanya membantu dia masuk ke dalam sebuah perusahaan. Jadi ketika dia berhasil dan mempunyai jabatan bahkan penghasilan yang besar, itu karena usaha dan kerja keras dia untuk meraih apa yang dia capai saat ini. Itu bukan hasil kerja keras kita, tetapi kerja kerasnya. Ibaratnya kita hanya membantu dia membuka pintu sebuah rumah, dan ketika dia berhasil mengisi rumahnya dengan perabotan lengkap, itu semua karena hasil kerja kerasnya, sekali lagi bukan karena kitai. Ya, kita mungkin punya andil. Tapi andil kita hanya sebatas membuka pintu saja, loh. Ngga lebih. Jadi bukan suatu keharusan ketika kita membutuhkan sofa, kita meminta sofa yang ada di dalam rumahnya, hanya karena kita yang membantunya membuka pintu. Toh, seandainya dia memang pemalas dan tidak bekerja keras, maka rumahnya pun tidak akan terisi apa-apa. Kalau dia tidak berusaha dan bekerja keras, maka dia tidak akan bisa berhasil juga, kan. Jadi tidak perlulah kita mengungkit pertolongan itu, dengan memaksanya menolong ketika kita memerlukan bantuan. Karena ketika kita memberikan pertolongan dan kita mengharapkan balasan, makan pertolongan akan berubah menjadi hutang. Hutang memang harus dibayar. Tapi pertolongan? Bahkan, ada istilahnya hutang budi dibawa mati. Artinya ya, tidak perlu diungkit-ungkit lagi, kan. J

Memang, etikanya atau apalah namanya, membalas kebaikan  orang lain itu memang perlu. Tapi perlu bagi siapa? Bagi yang memberi pertolongan atau yang diberi pertolongan? Tentunya untuk yang diberi pertolongan, kan. Jadi, kita sebagai pihak yang memberi pertolongan tidak mempunyai hak untuk menuntutnya mengembalikan pertolongan yang sudah kita beri. Soal membalas kebaikan kita itu murni 100% adalah keputusan yang diberi pertolongan. Tentunya, sebagian besar biasanya kembali menolong ketika pernah ditolong jika memang mampu menolong. Tapi jika ternyata yang diberi pertolongan tidak mampu bahkan tidak mau kembali menolong, ya itu hak dia, kan? Kita tidak perlulah mengungkit-ungkit lagi hal yang sudah lalu.

Jadi, marilah sekarang kita tidak perlu lagi mengungkit-ungkit setiap pertolongan yang sudah pernah kita berikan kepada orang lain. Menolonglah tanpa pamrih. Bukankah ketika kita bisa menolong orang lain, artinya Tuhan sudah memberi berkat yang “lebih banyak” kepada kita sehingga kita menolong? Maka marilah kita berterima kasih kepada Tuhan, karena Dia sudah memberi kesempatan dan kemampuan kepada kita untuk berbuat baik. Janganlah mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun.

Selamat menolong tanpa pamrih, sahabat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai