TAS SAYA BERAT....
Saya
baru saja menyelesaikan menonton sebuah drama korea berjudul “School
(2013)”. Iya, ini termasuk drama yang sudah cukup lama. Tapi baru sekarang
saya sempat menonton drama ini. Sebagai pecinta drama korea, saya merasa cukup
tertinggal. #halah.
Drama ini mengisahkan tentang suka
duka menjadi pelajar kelas 2 SMA di Korea. Di mana pada jenjang pendidikan itu
siswa mulai membuat rencana studinya dan mulai menyiapkan diri untuk ujian
masuk universitas. Iya, di Korea sana tidak semua siswa SMA bisa ikut tes ujian
masuk perguruan tinggi. Karena peserta ujian hanya yang memiliki kualifikasi
tertentu saja. Drama ini juga bercerita tentang guru (wali kelas) yang begitu
memperhatikan siswanya, namun selalu terbentur oleh peraturan sekolah dan campur
tangan pihak ketiga, siapa lagi kalau bukan orang tua dan komite sekolah (yang
terdiri dari orang tua atau wali siswa juga).
Drama ini tidak seperti sinetron
Indonesia yang walaupun judulnya “Warna
Seragam Sekolah” (hehehe) tapi isinya tentang percintaan siswa sekolah yang
yagitudeh, serta keadaan sekolah yang
apalah namanya aku pun tak mengerti
(baca : Gak jelas). Sama sekali tidak
ada scene berisi kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Baik, lupakan saya sinetron “Warna Seragam Sekolah”, karena bukan itu
yang ingin saya bahas di sini.
Kembali ke laptop #halah. Oke, kembali ke drama korea tadi, ya. Di dalam drama itu dikisahkan salah satu siswa yang pandai, nilainya cukup bagus, pernah jadi
ketua kelas, namun semua kegiatan sekolahnya diatur oleh sang ibu, yang juga
anggota komite sekolah. Jadi, setiap kali dia mendapat nilai yang tidak
sempurna, maka si ibu akan menemui wali kelasnya dan memprotes. Bahkan sampai
soal yang dibuat oleh wali kelasnya diprotes (kebetulan wali kelasnya mengajar Sastra Korea).
Si guru dianggap tidak kompeten mengajar. Sang Ibu lebih menyukai anaknya
diajar oleh guru Sastra Korea yang satunya (dalam drama ini ada 2 guru Sastra Korea,
yang kebetulan keduanya menjadi wali kelas 2 juga, lagi-lagi karena desakan
para orang tua, karena mengganggap wali kelas yang lama tidak kompeten). Kalau
protesnya tidak ditanggapi oleh guru, maka ia langsung menemui kepala sekolah.
Sang anak, sebenarnya tidak masalah dengan nilainya, dengan
wali kelasnya siapapun itu. Sang anak hanya berusaha untuk belajar baik, agar
ibunya senang. Itu saja. Hmmm.....belajar bukan untuk kepentingan dirinya, tapi
demi kepuasan sang ibu.
Ada satu adegan di mana ketika sang anak ikut lomba essai di
sekolah. Kebetulan dia memang terpilih untuk ikut, walaupun pada mulanya dia
enggan, karena ternyata semua tugas essai yang dia kumpulkan, bukan hasil
karyanya. Tetapi hasil karya sang ibu. (mulai tepok jidat masing-masing, yuk).
Namun lagi-lagi dia akhirnya mau ikut lomba demi sang ibu. Bahkan bahan-bahan
lomba sang ibu yang menyiapkan. Hingga beberapa saat sebelum lomba, sang ibu
memberi beberapa lembar kertas untuk dipelajari. Lomba pun dimulai. Sang anak
masuk ke ruangan lomba, dan kemudian mendapat kertas soal. Ternyata eh
ternyata, bahan yang diberikan ibunya, adalah soal essai yang dilombakan. Sang
anak pun akhirnya meninggalkan ruangan lomba, tanpa mengerjakan satu pun dari soal tersebut.
Dia naik ke atas atap sekolah. (Ya, hampir semua bangunan di Korea mempunyai
ruang terbuka di atap). Dan......dia hendak bunuh diri. Dia ingin menjatuhkan dirinya dari sana. Dia merasa lelah..
Namun akhirnya yang dijatuhkan dari atas atap sekolah, bukanlah dirinya, namun
tasnya. Karena dia merasa, tasnya terlalu berat. Dan kemudian ada dialog yang mengusik hati saya, kira-kira dialog itu begini:
Guru :
Mengapa kamu menjatuhkan tasmu?
Siswa :
Karena saya merasa tas itu terlalu berat.
Mendengar percakapan itu, saya kemudian menjadi berpikir, kadang kala kita memang
membebani anak-anak kita untuk menjadi sukses seperti yang kita inginkan, bukan
seperti yang mereka inginkan. Kita tidak sadar bahwa kita telah memberati tas
sekolahnya dengan keinginan-keinginan kita. Menginginkan anak untuk sukses
memang tidak salah, tapi jangan sampai membebani mereka. Sehingga terkadang
mereka mengejar nilai, bukan karena keinginan mereka untuk pandai, tapi karena
mereka ingin melihat kita (orangtua) senang. Padahal prestasi tidak hanya
dilihat dari nilai-nilai di sekolah saja.
Sebagai mantan seorang guru, saya seringkali melihat
anak-anak begitu terbeban dengan nilai mereka karena orangtua. Bahkan jika anak
mendapat nilai kurang baik, orangtua langsung maju menemui gurunya dan protes.
Masa usia pendidikan dasar, seharusnya digunakan anak-anak untuk mencari ilmu
dengan senang. Ya, dengan senang. Karena jika hati senang, maka apa yang diajarkan akan lebih mudah terserap. Jangan membebani mereka dengan keinginan
kita. Biarlah mereka mencoba memilih apa yang terbaik bagi mereka. Tentunya
kita tidak harus melepaskan mereka begitu saja, jika mereka salah langkah, kita
bisa memberi arahan. Tapi bukan memaksa mereka untuk mendapat nilai sempurna.
Perlu diingat terkadang sebagai orang tua, kita hanya
melihat nilai-nilai pelajaran eksak saja. Jika nilai-nilai pelajaran eksak (Matematika,
IPA, Fisika, Kimia) bagus, maka dia pandai. Kita lupa bahwa ada pelajaran lain selain itu. Contoh, ketika anak mendapat nilai
Matematika 6 dan Bahasa Indonesia 8. Kita langsung mengomentari nilai
Matematikanya yang kurang baik.
“Kenapa Matematika dapat 6? Kamu tidak
belajar, ya?”
Padahal nilai Bahasa Indonesianya cukup baik. Alangkah
bijaksananya jika kita memuji terlebih dahulu prestasinya.
“Wah, nilai Bahasa Indonesiamu 8, ya?
Selamat ya, Nak... Kamu pasti sudah belajar dengan baik, ya. Matematikanya sulit ya, Nak? Yuk kita belajar sama-sama, supaya kamu bisa lebih memahami pelajaran matematika.”
Yang pasti jangan sampai anak sampai malas pergi ke sekolah
karena merasa tas mereka berat. Berat bukan karena banyaknya buku-buku yang
dibawa, tetapi karena ada 'titipan beban'
dari orangtua di sana.
Ya, kita memang masih terbentur sistem pendidikan yang masih mengandalkan nilai saja. Tapi mungkin sebagai orangtua kita bisa mulai belajar untuk tidak terlalu membebankan anak-anak kita untuk menjadi anak yang pandai di pelajaran eksak saja.
Tiap anak berbeda-beda kemampuannya. Anak yang tidak pintar
Matematika dan IPA bukan berati dia anak yang bodoh. Kepandaian tidak dilihat dari
nilai-nilai saja, tapi dari bagaimana dia bisa menjadi berkembang dengan baik
sesuai dengan bakat dan minatnya.
Semoga tidak ada lagi keluhan...Tas sekolah saya berat.
Komentar
Posting Komentar