Cerita Bersambung : Merajut Mimpi Bersamamu (Chapter 5 - Tamat)
Chapter 5. When God Made You, He Must’ve Been Thinking
About Me
Apa yang bisa diharapkan dari jeda
yang diciptakan oleh dua orang yang saling mencinta? Rindu. Yang tercipta dari
hari-hari yang sepi, karena jeda yang dipaksakan hadir. Rindu yang kadang ingin
diabaikan, tetapi ia terus mengikat dan mendesak hati untuk dilegakan. Rindu
yang tak pernah habis, bahkan akan terus bertambah setiap saat. Rindu, yang
kali ini terasa sangat menyakitkan bagi Aditya. Betapa inginnya ia setiap saat
bisa bertukar kabar dengan Arana. Mendengar kabar tentang hari-hari Arana yang berada
jauh di sana. Betapa rindunya Aditya ingin mendengar suara Arana, sesederhana
panggilan “Ditya” atau “sayang” yang keluar dari bibir mungil Arana. Sesederhana
belaian ringan Arana di pipinya. Aditya benar-benar merindukan semua itu. Namun
mereka sudah sama-sama sepakat untuk memberi ruang bagi diri masing-masing
untuk berpikir tentang cinta mereka. Memberi waktu bagi Arana, tepatnya. Karena
sebenarnya hanya Arana yang merasa bimbang dengan rasa cintanya, dan tidak bagi Aditya. Ketika Aditya
memutuskan untuk menerima hati Arana dan memberikan hatinya untuk dimiliki
Arana, Aditya sudah merasa yakin bahwa Aranalah belahan jiwa yang selama ini
dicarinya. Bersama Arana, Aditya merasa dirinya semakin lengkap. Arana membuat
ia semakin bersemangat menjalani hari-harinya yang padat. Perhatian-perhatian
kecil dari Arana setiap hari membuat ia merasa berarti. Bersama Arana, Aditya
merasa utuh, merasa diperhatikan, merasa dibutuhkan. Aditya merasa hidupnya
lengkap. Tapi itu dulu. Ketika komunikasi mereka masih intens, sebelum semua
kejadian ini menimpa hubungan mereka. Saat ini, Aditya merasa sebagian dirinya
hilang. Semangatnya seakan menguap sebagian entah ke mana, bagai hujan sesaat
yang kesejukannya kemudian hilang diterpa panasnya sang surya. Aditya merasa
bagai merpati dengan satu sayap yang terluka, sehingga sulit untuk terbang
mencari pasangan jiwanya.
Sudah
satu bulan Aditya dan timnya berada di Seoul, Korea Selatan. Kesibukannya
bersama tim untuk membuka pasar baru bagi produk mereka di Seoul cukup menyita
perhatiannya, sehingga keresahan hati karena masalahnya dengan Arana dan kerinduannya yang mendalam kepada Arana
dapat sedikit teralihkan. Ketika bersama dengan timnya saat menyusun strategi
serta memikirkan cara marketing yang baik bagi produk mereka, Aditya dapat sejenak
melupakan Arana. Namun di saat-saat ia sendiri seperti malam ini, mau tak mau
bayangan Arana hadir kembali dalam pikirannya. Rasa rindu yang membuncah di
dadanya semakin membuat ia ingin berada dekat dengan Arana, memeluknya,
mengecup keningnya, atau sesederhana hanya menggenggam tangannya. Dipandanginya
fotonya bersama Arana yang ia gunakan sebagai walpaper di ponselnya.
“Ana,
aku rindu kamu. Rindu sekali,” bisik Aditya sambil mengusap wajah Arana dalam
foto itu.
Jika saja diperbolehkan, ingin rasanya malam itu Aditya menelpon Arana, hanya
sekedar ingin mendengar suaranya. Namun perjanjian yang sudah ia sepakati
bersama Arana melarang hal itu, karena ia hanya boleh menelpon Arana satu kali
seminggu, dan saat ini bukanlah saat yang tepat, karena baru dua hari yang lalu
ia menelpon Arana. Ah, bahkan suara Arana saat ia menelponnya saja masing
terngiang dalam benak Aditya. Akhirnya, ketika rasa rindu dalam dada Aditya
sudah tidak bisa ia bendung lagi, dinyalakannya laptop lalu dituliskannya
sebuah email untuk Arana. Aditya tidak peduli apakah Arana akan marah padanya
atau tidak. Aditya hanya ingin mengungkapkan rasa yang ada di dalam hatinya.
From : adityakundala@gmail.com
To : arana_putri@yahoo.com
Subject : I miss you
Seoul, 6 Mei
2016
Arana, Putri Bulanku...
Aku sudah tidak tahu
lagi bagaimana caraku meredam rinduku padamu. Aku bahkan tidak tahu mengapa
dulu aku menyetujui usulmu untuk mencipta jeda di antara kita. Bahkan
mengiyakan saja ketika kamu memintaku hanya menghubungimu sekali dalam seminggu.
Aku tidak tahu mengapa aku bisa berpikiran bodoh dan menyetujui begitu saja
keinginanmu itu.
Aku tidak menyangka
bahwa berada di antara jeda yang kita ciptakan benar-benar membuat hatiku
tersiksa karena begitu merindukan hadirmu. Aku seperti layang-layang yang terputus
tali kendalinya, Ana. Melayang tanpa tujuan, hanya terbang mengikuti ke mana
arah angin membawanya terbang.
Ana,
Betapa aku setiap hari
ketika melihat ponselku berharap kamu mengirimkan pesan padaku, seperti
saat-saat dulu. Sekedar kata “hai” darimu bisa menghadirkan kebahagiaan yang
begitu besar untukku. Karena aku tahu bahwa kamu masih mengingatku. Perhatianmu
yang dulu kurasakan, kini tidak bisa kunikmati lagi. Aku merindukan semua itu,
Ana. Rindu sekali.
Kamu adalah separuh
dari jiwaku, An. Dan tanpamu aku merasa timpang. Merasa tak lagi sempurna dan
lengkap.
Arana,
Tidak bisakah kau
hilangkan jeda ini? Agar aku bisa mendekat ke arahmu?
Aku tidak mau
mengulangi kebodohanku dulu dengan melepaskan kamu. Bertemu lagi denganmu dan
memiliki hatimu adalah salah satu anugerah terindah yang kumiliki. Jadi,
please, Ana.......
Bisakah kita kembali
lagi seperti dulu?
Arana, sebenarnya apa
yang terjadi dalam hubungan kita ini? Mengapa kamu selalu merasa tidak sempurna
mencintaiku, padahal aku merasakan cintamu sungguh sempurna bagiku.
Kesempurnaan seperti
apa lagi yang kamu inginkan, An?
Di tengah
ketidaksempurnaan yang kamu miliki, bagiku kamu adalah sosok yang utuh, Arana
yang aku cintai, tanpa alasan.
Kamu sempurna Arana. Kamu
sempurna.
Aku tidak mengharapkan
apapun darimu, cukuplah kalau kamu mencintai aku dan selalu ada bersamaku. Aku tidak
menginginkan apa-apa lagi.
Arana,
Kembalilah seperti
dulu. Seperti Arana yang kukenal. Arana yang tegar, ceria, penuh semangat, dan
sedikit galak (dikit aja, ya, An).
Maafkan aku juga, jika
apa yang telah terjadi membuat perasaanmu goyah terhadap keteguhan cinta kita.
Maafkan aku. Tapi percayalah, Arana, tidak ada wanita lain yang kucintai,
selain kamu.
Dan aku pun hanya ingin
merajut mimpi bersamamu di sisa hidupku.
Mimpi itu tidak perlu
sempurna, Ana. Asalkan ada kamu dan aku di sana, aku sudah merasa lengkap.
Jadi, tolong,
kembalilah ke sisiku, An. Genggam tanganku dan aku berjanji tidak akan pernah
melepaskannya sampai kapanpun. Sampai maut yang akan memisahkan kita.
Aku mencintaimu, Arana. Selamanya.
Love you much,
Adityakundala
Dan
setelah Aditya menekan tombol “send”, hatinya merasa sedikit lega karena bisa
menyampaikan perasaannya dan sedikit melepas rindunya pada Arana. Aditya
berjalan keluar menuju ke balkon. Pemandangan kota Seoul pada waktu malam
memang sangat indah, pancaran cahaya lampu yang ia nikmati dari kamarnya di
lantai 11 ini bagaikan butiran permata yang tersebar menghiasi kota. Indah
sekali. Aditya menarik napas dalam-dalam, seandainya saja semua pemandangan
indah ini, bisa ia nikmati bersama Arana. ‘Ah,
sudahlah, Aditya, terima sajalah jalan
yang sudah digariskan bagimu ini,’ suara hatinya berbisik. Aditya sadar
bahwa sekeras apapun usaha yang dia lakukan, tetaplah ada kekuatan yang lebih
besar yang mengendalikan hidupnya. Dia adalah Sang Pemilik Kehidupan ini.
Bagaimanapun kerasnya usaha manusia, tetaplah Tuhan yang menentukan apa yang
akan terjadi dalam hidup kita. Kadangkala di saat kita merasa semua jalan telah
tertutup, yang perlu kita lakukan hanya berdiam sejenak, perhatikan sekeliling,
karena pada saat itu biasanya kita bisa melihat sebuah pintu yang terbuka. Dan
melalui pintu itulah langkah selanjutnya dalam kehidupan kita kembali dimulai.
Aditya menyadari hal itu, mungkin memang inilah saatnya di mana dia harus
menyerahkan semuanya kepada Tuhan, dan membiarkan Dia bekerja dengan caraNya.
∞ ∞ ∞
Arana
sedang sibuk mempersiapkan soal-soal Ulangan Akhir Semester yang sebentar lagi
akan berlangsung. Sudah sedari sore tadi ia berkutat dengan buku-buku kimia dan
sibuk mengetik. Begitu seriusnya Arana bekerja, bahkan ketukan di pintu
kamarnya serta suara ibu yang memanggilnya untuk makan malam tak ia dengar.
Hingga ibu harus masuk ke dalam kamarnya dan menepuk pundak Arana untuk
memberitahu keberadaan dirinya di kamar anak kesayangannya itu.
“Ana,
ayo makan dulu, Nak,” kata ibu.
“Ibu.
Kok Ana ngga dengar Ibu masuk kamar?” jawab Arana terkejut.
“Ibu
sudah ketuk pintu kamar kamu dari tadi, sudah panggil nama kamu, tapi tidak
mendengar. Makanya Ibu masuk saja,” kata ibu Arana sambil mengusap lembut
kepala Arana. “Makan malam dulu, yuk, An. Kamu perlu tenaga, lo, untuk
menyelesaikan tugas-tugasmu ini. Yuk!”
“Iya,
Bu. Ana bereskan dulu kertas-kertas ini, ya. Takut ada yang tercecer nanti.
Sebentar lagi Ana keluar, deh,” jawab Arana.
“Baiklah.
Ibu dan Ayah tunggu di meja makan, ya,” kata Ibu sambil melangkah keluar dari
kamar Arana.
Sesaat
kemudian, Arana keluar dari kamarnya dan bergabung dengan kedua orang tuanya
untuk bersama menyantap hidangan makan malam yang sudah tersedia. Mereka makan
sambil sesekali berbincang tentang apa saja.
“Ana,
Ayah kok lama tidak melihat Aditya, ya? Sibukkah dia?” tanya Ayah Arana.
“Oh.
Uhuk. Uhuk,” Arana tersedak mendengar pertanyaan ayahnya itu. “Aditya sedang
bertugas ke luar negeri, Yah.”
“Ah,
Ana, kok sampai terbatuk begitu. Ini minum dulu,” kata Ibu sambil menyodorkan
segelas air putih ke Arana. “Ditanya Ayah tentang Aditya kok kamu kaget gitu,
An? Sepertinya Ibu juga sudah lama tidak melihat dia, An. Bahkan bulan lalu
kalau tidak salah kamu menghindarinya. Kalian baik-baik saja, kan?”
“Kami
baik-baik saja, kok, Bu. Memang Ditya saja yang sedang sibuk dengan
pekerjaannya. Bulan lalu kami memang agak berselisih paham, tapi kami sudah
bisa menyelesaikan masalah kami,” jawab Arana sedikit berbohong.
“Ana,
kalau boleh Ayah memberimu saran. Baik-baiklah kamu dengan Aditya. Ayah belum
pernah menemukan pria yang begitu tulus mencintai kamu, Nak. Sewaktu kamu
menghindarinya bulan yang lalu, Ayah sempat berbincang dengan dia. Dia
menceritakan tentang perasaannya ke kamu, Nak. Dia bersungguh-sungguh dengan
hubungan kalian. Dia bahkan secara khusus meminta ijin kepada Ayah untuk
menjagamu seumur hidupnya. Dia berkata jika Ayah dan Ibu mengijinkan, ia ingin
memperistri kamu. Ketika kami menceritakan tentang keadaanmu, dia bahkan tidak
mempermasalahkan hal itu. Dia berkata bahwa dia sudah mengetahui hal itu dari
kamu,” kata Ayah.
“Iya,
yah. Ana sudah bercerita kepada Ditya tentang keadaan Ana. Ana hanya
tidak ingin mengalami kekecewaan yang sama seperti yang sudah Ana alami
sebelumnya. Maka dari itu, sebelum kami berdua memutuskan untuk menjalin kasih,
Ana sudah memberitahunya, “ jawab Arana sambil menangkupkan sendok dan
garpunya, lalu minum air putih dalam gelas yang sudah disediakan untuknya.
“Lalu apa yang Ayah katakan pada Ditya tentang keinginannya itu?” tanyanya
kemudian.
Sebenarnya
Arana sedikit terkejut mendengar penjelasaan Ayahnya itu. Dia sama sekali
menyangka Aditya melakukan hal itu. Saat itu ada sebuah rasa yang tiba-tiba
merasuk dalam hatinya. Arana tidak tahu rasa apa itu. Yang jelas rasa itu
membuat hatinya terasa hangat.
“Ayah
berkata bahwa Ayah tidak bisa menjawab hal itu, karena yang akan menjalani
hubungan itu adalah kamu. Yang jelas pada intinya, Ayah dan Ibu merestui
hubungan kalian. Ana, Ayah rasa Aditya serius dengan kamu. Ia bahkan bercerita
bahwa Ibunya pun merestui hubungan kalian, walau sebelumnya sempat tidak
menyetujui karena keadaanmu itu. Tapi sepertinya Aditya akhirnya berhasil
meyakinkan ibunya. Bila memang kamu juga mempunyai rasa yang sama kuat
dengannya, lebih baik hubungan kalian segera diresmikan saja. Umur kalian sudah
tidak muda lagi. Tapi, Ayah dan Ibu tetap menyerahkan semua keputusan di tangan
kamu, karena yang akan menjalaninya adalah kamu, bukan kami,” kata Ayah.
“Iya,
Ayah,” jawab Arana.
“Ana,
Ibu juga belum pernah menemui laki-laki yang begitu tahu apa yang ia ingini
dalam hidupnya dan berjuang untuk itu. Ibu yakin dia benar-benar mencintai kamu
dengan tulus, Ana. Jika kalian memang sedang ada masalah, Ibu minta kamu pun berpikir
dengan hati yang tenang dan pikiran yang terbuka, jangan sampai emosi yang ada
dalam dirimu membuatmu menyesal di kemudian hari. Ya, Nak?” kata Ibu sambil
tersenyum.
“Iya,
Bu. Ana akan berpikir baik-baik, dengan hati tenang dan pikiran yang terbuka,”
jawab Arana.
Dan
ketika Arana kembali ke kamarnya, tiba-tiba saja ia begitu merindukan kehadiran
Aditya. Pembicaraannya di meja makan dengan kedua orang tuanya tadi benar-benar
mengejutkan dirinya. Arana sama sekali tidak menyangka bahwa Aditya melakukan
hal itu. Berbincang dengan ayahnya tentang dirinya, tentang hubungan mereka. Arana seperti melihat sisi lain dari
Aditya. Arana melihat keseriusan Aditya terhadap hubungan mereka. Ada perasaan
hangat yang mengalir dalam hatinya. Arana mendadak merasa menyesal sudah
menghindari Aditya selama ini. Ketika Arana selalu menolak untuk bertemu,
Aditya tidak pernah menyerah untuk terus mempertahankan cinta yang mereka
miliki. Bahkan ia memohon ijin kepada ayah Arana untuk menjaga Arana. Aditya
begitu yakin dengan cintanya. Lalu mengapa justru dia yang masih ragu? Apa yang
sesungguhnya diinginkan hatinya, Arana pun tak tahu. Mengapa dia harus terus
mempertahankan ego dan rasa cemburunya yang tak beralasan itu, sementara di
pihak lain justru Aditya begitu gigih mempertahankan cinta mereka? Memikirkan
hal itu membuat Arana bertanya kepada dirinya sendiri, apakah sesungguhnya ia
memang benar-benar mencintai Aditya? Ataukah Aditya hanya sebagai pengobat rasa
sakit hatinya karena berbagai kenangan buruknya terhadap cinta? Apakah memang
ia menginginkan Aditya sebagai orang yang menemaninya menghabiskan sisa
hidupnya di dunia? Apakah ia memang yakin bahwa Adityalah belahan jiwanya yang
selama ini selalu ia nantikan? Arana bertanya-tanya pada dirinya dalam
keheningan malam itu. Pekerjaan yang sedari sore tadi menyibukkan dirinya, ia lupakan
sejenak. Arana berdialog dengan dirinya dalam kesendiriannya. Ia harus meyakinkan dirinya
sendiri untuk langkah yang akan dia ambil setelah ini. Dan dalam kesunyian yang
akhir-akhir ini menjadi teman karibnya, Arana terus bertanya pada dirinya.
Arana menyadari sesuatu ketika ia berdialog dirinya, bahwa sesungguhnya
dirinyalah yang bermasalah dalam hal ini, bukan Aditya. Karena kebimbangan itu
justru ada di dalam hatinya. Tidak, ia tidak bimbang akan cinta Aditya pada
dirinya, justru dia bimbang pada cintanya sendiri.
Dalam
keheningan yang sengaja Arana ciptakan malam ini, Arana akhirnya memutuskan
untuk membawa pergumulan hatinya itu ke
dalam doa. Ia menutup matanya dan mengambil sikap berdoa. Lalu dari bibinya
yang mungil, ia mengucap sebuah doa kepada Sang Empunya Hidup. Ia mencurahkan
segala keresahan dan kegelisahan hatinya. Dalam doanya, ia juga memohon agar
Tuhan membuka hati dan pikirannya sehingga ia bisa mengambil keputusan yang
tepat dan benar atas pergumulannya itu. Namun ia tetap menyerahkan semua
keputusan ada di tanganNya, karena ia sadar bahwa sekeras apapun usaha yang
dilakukanNya, keputusan akhir dan yang menentukan semuanya adalah Tuhan.
Setelah ia mengucapkan “Amin” pada akhir doanya yang panjang, hati Arana terasa
lebih lega. Karena ia bisa mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan. Apa pun yang
akan terjadi dalam hidupnya, Arana sudah siap.
Setelah
berdoa, ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Ketika
ia mulai mengetik, terdengar nada notifikasi email masuk di ponselnya. Arana segera mengambil ponselnya
untuk mengecek email yang masuk itu. Ternyata email dari Aditya. Walau email
ini datang tidak sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya, yang hanya boleh
berkabar satu kali dalam seminggu, namun Arana sudah tidak lagi merasa kesal
karena Aditya yang tidak bisa menepati janjinya. Dan entah mengapa, ketika ia
membuka dan akan membaca email itu, ada rasa yang tak biasa dalam hatinya, rasa
ini adalah rasa yang sama yang dulu ia rasakan setiap kali Aditya mengiriminya
puisi di masa-masa yang telah lalu. Masa ketika mereka berdua masih berseragam putih
biru. Degub yang sama, debar yang sama, Arana merasakan bagai ada kupu-kupu
yang berterbangan di dalam perutnya. Arana bagai orang yang jatuh
cinta, namun pada orang yang sama. Dan orang ini, saat ini masih menjadi
kekasihnya. Apalagi ketika ia membaca puisi yang dikirim oleh Aditya di email
yang kedua.
From : adityakundala@gmail.com
To : arana_putri@yahoo.com
Subject : Puisi
Heningmu kini sempurna
Tiada kata......sepi......
Suaramu yang dulu begitu
akrab
Kini menghilang ditelan
waktu
Arana, harummu dulu
begitu lekat
Kini seakan memudar
ditelan jarak
Tinggalkan rindu yang
kian lekat
Mencengkramku begitu kuat
Arana, apakah yang kau
cari?
Jika sempurna itu
adalah aku dan kamu
Mengapa kau mencipta
jeda di antaranya
Berjalanlah bersamaku,
Arana
Karena tujuan akhir
kita sama
Di sanalah kesempurnaan
cinta
Telah menanti
kita.......
Berdua
Seoul, 6 Mei 2016
-Adityakundala-
Arana
berulang kali membaca email dan puisi yang dikirim oleh Aditya untuknya itu. Dan
setiap kali membaca, air mata kembali menetes. Selama ini Arana tidak menyadari
betapa tersiksanya Aditya karena jarak yang ia ciptakan itu. Arana tidak tahu
betapa Aditya sangat merindukan kebersamaan mereka seperti dulu. Arana terlalu
sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri, hingga ia tidak menyadari bahwa
di luar sana, ada seorang laki-laki yang begitu dalam mencintai dirinya, lengkap
dengan segala kekurangan yang dimilikinya.
‘Apa lagi yang kau cari, Arana? Kesempurnaan
seperti apa yang kau inginkan?’ suara hatinya bertanya.
‘Ya, apalagi yang kucari?’ bisiknya dalam
hati.
Sambil
mengusap air mata yang membasahi wajahnya, Arana membalas email Aditya. Ia
sudah tidak peduli lagi dengan perjanjian ‘bodoh’ mereka. Ia tidak peduli lagi
dengan jeda yang selama ini ia ciptakan sendiri. Ia berhak bahagia, terlebih
Aditya.
From : arana_putri@yahoo.com
To : adityakundala@gmail.com
Subject : The Answer
Aditya, maafkan aku
membuatmu tersiksa dalam jeda ciptaanku ini.
Maafkan aku karena
terlalu lama bermain dengan raguku sendiri, sehingga membiarkan kamu berjuang
sendiri untuk mempertahankan cinta milik kita. Perjuanganmu meyakinkan
orangtuamu dan orang tuaku akan cintamu padaku yang begitu besar, sementara aku
justru meragu atas cintaku sendiri.
Maafkah aku, Aditya.
Selama ini aku terlalu
sibuk mencari kesempurnaan cintaku, padahal kesempurnaan itu adalah kamu. Karena
hanya bersamamulah aku bisa memiliki cinta yang sempurna. Aku terlalu buta
sehingga tidak bisa melihat semua itu. Kamulah kesempurnaan itu, Aditya.
Aditya, pangeran
matahariku...
Kini, aku yakin bisa
merajut mimpi bersamamu di sisa hidupku. Kita mungkin memang berbeda, tapi aku
yakin ketika Tuhan menciptakan kamu, Ia pasti sudah berpikir tentang aku. Karena aku baru
menyadari bahwa segala apa yang aku cari selama ini ada di dalam kamu.
Aku akan menghapus
semua jeda dan jarak yang terbentuk dalam hubungan kita, Aditya.
Sekarang kuminta kamu
tetap di tempatmu, karena aku akan berjalan ke arahmu. Dan kita akan
merajut mimpi bersama.
Karena aku mencintaimu,
Aditya. Kamu. Dan bukan yang lain.
Love you much,
– Arana
Putri –
Dan setelah Arana selesai mengetik dan
mengirimkan emailnya kepada Aditya hatinya terasa amat lega. Ya, ia sudah
membuat keputusan. Dan ia yakin, keputusannya ini benar.
“He made the sun
He made the moon
To harmonize a perfect tune
One can’t move without the other
They just have to be together
And that’s why I know its true
You’re for me, and I’m for you
Because my world just can’t be right
Without you in my life
(When God Made You – Natalie Grant & Newsong)
_ TAMAT_
Komentar
Posting Komentar