Reuni


Arana duduk sendiri di tengah keramaian sebuah tempat makan legendaris di Jogja. Rana, demikian ia biasa dipanggil, memang memiliki janji untuk bertemu dengan teman masa sekolahnya dulu. Mereka secara tak sengaja bertemu di situs pertemanan sosial media. Hal yang masa kini merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Rana biasanya menolak untuk ikut dalam acara reuni di sekolahnya. Ia bukan tak suka bertemu lagi dengan teman-teman masa lalunya, hanya saja ia sedikit malas untuk bercerita tentang kehidupannya kepada orang lain. Di sebuah reuni memang sering kali ada pertanyaan-pertanyaan umum yang mungkin bagi orang lain itu hal biasa, namun tidak bagi Rana yang memiliki kisah yang berbeda dengan orang kebanyakan. Namun entah mengapa kali ini ia menyetujui bertemu dengan seorang teman masa sekolahnya. Rana sendiri tak tahu alasannya.
Adityakundala, Rana menyebutkan nama itu dalam hatinya. Ya, orang yang akan ditemuinya siang ini adalah Adityakundala. Ditya, demikian biasa Rana memanggil namanya, adalah salah seorang teman pada masa sekolahnya dulu. Mereka pernah satu sekolah pada masa SMP dan SMA.Bahkan dari 6 tahun masa sekolahnya itu, mereka pernah bersama dalam satu kelas selama 4 kali. Ditya, bukannya seseorang yang selalu berada di sisi Rana dulu pada hari-hari sekolah. Mereka memang berteman akrab, saling memperhatikan satu dengan yang lain, tetapi justru mereka jarang berkomunikasi pada masa sekolah. Namun, Rana tahu, bahwa sesungguhnya Ditya adalah salah satu teman yang amat memperhatikan dirinya. Ditya, memang tak selalu hadir di sampingnya, tapi Rana tahu bahwa orang yang akan datang pertama kali ketika ia dalam kesulitan, adalah Ditya. Tapi, Rana adalah Rana, tak ada yang tahu kesulitan apa yang dihadapinya. Karena Rana memang tidak pernah membagi dukanya kepada orang lain.
Rana kembali melihat jam di tangannya, 45 menit sudah berlalu dari waktu yang mereka sepakati bersama. Ditya memang sudang mengabari bahwa dia akan datang sedikit terlambat, karena ada hal mendesak yang harus ditanganinya. Rana mengecek ponsel di samping buku yang sedang dibaca, siapa tahu ada kabar terbaru dari Ditya. Ternyata Ditya memang mengirim pesan kepadanya bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju tempat Rana menunggu. Hati Rana semakin gelisah. Ia meletakkan ponselnya dan meminum teh hangat yang sudah dipesannya tadi. Ia memandang ke arah pintu, namun sosok yang dinantinya belum juga terlihat. Rana kembali berusaha tenggelam dalam buku yang ada dihadapannya, namun ternya kegelisahannya membuatnya sulit untuk mencerna isi buku yang dibacanya. Rana memperhatikan keadaan di sekelilingnya, tempat makan ini mulai ramai dipadati para pengunjung. Rana kembali menatap ke arah pintu masuk, dan seketika jantungnya berhenti berdetak. Orang yang telah ditunggunya selama hampir satu jam, sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum.
‘Ditya’, bisik Rana perlahan. Dia lalu bangkit dari duduknya untuk menyambut Ditya.
“Hai, An.. Maaf ya, kamu harus menunggu. Apa kabar, An?” kata Ditya sambil menjabat tangannya.
Ah, mendengar Ditya memanggil namanya, membuat jantungnya kembali berdegub dengan kencang. Ya, hanya Ditya yang memanggil namanya ‘Ana’.
“Hai, Dit. Kabar baik.”
“Udah pesen makan, An? Mau aku pesankan sekalian?”
“Nggak usah, Dit. Aku makan ini aja,” jawab Rana sambil menunjuk piring di meja yang berisi beberapa potong gorengan.
“Aku pesan dulu, ya, An. Laper”, kata Aditya sambil melangkah menuju tempat pemesanan mkanan. Rana mengangggukkan kepalanya.
Rana menatap punggung Ditya lalu menghela napas. Punggung yang sama dengan 23 tahun yang lalu. Punggung yang dulu ia sering pandang diam-diam. Yang membedakan hanyalah punggung itu sekarang tampak kokoh. Seakan perjalanan waktu bagaikan latihan fitnes yang membuat punggungnya semakin kuat dan kokoh.
Aditya berjalan kembali menuju ke meja tempat Rana menunggu sambil membawa sepiring makanan dan segelas minuman dingin. Kemudian Aditya duduk di kursi tepat di hadapan Rana. Ia tersenyum manis dan menunjukkan sedikit lesung pipit yang ia punya. Senyum yang dulu selalu Rana rindukan. Tanpa sadar Rana menarik napas panjang.
“Kenapa, An? Kok menghela napas gitu, “ tanya Ditya sambil menyuap makanannya.
Rana hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian ia mengambil gorengan yang ada di depannya, dan menggigitnya sedikit. Ia kembali menghela napas secara diam-diam. Rana benar-benar merasa gelisah, karena tiba-tiba ada rasa aneh yang menyeruak dalam hatinya. Dan itu membuatnya takut.
“Apa kesibukanmu sekarang, An? Kamu agak pendiam sekarang, ya?” kembali Ditya mengajukan pertanyaan.
“Ah, masa sih, aku pendiam. Aku masih samalah seperti yang dulu, “ jawabnya Rana sambil tersenyum. Rana berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang tiba-tiba datang mendesak ke dalam jiwanya. “Aku lagi enggak sibuk apa-apa, Dit. Ya sedang menikmati hidup, “ lanjut Rana.
“Ah, gitu. Ya..ya...ya,” sahut Ditya sambil menyesap minuman dingin di gelasnya. “Sekarang udah enggak ngajar lagi, ya?” tanya Ditya lagi sambil memandang Rana.
Rana membalas tatapan Ditya lalu menjawab, “Udah enggak, Dit.”
“Kenapa ngga ngajar lagi?” Ditya kembali bertanya.
“Pengen menikmati hidup, Dit” jawab Rana sambil tertawa kecil. Ditya pun ikut tertawa. 
       Mereka pun lalu terlibat dalam obrolan yang seru. Saling memberi kabar tentang apa yang terjadi. Sesekali ketika mereka kembali mengenang kisah sekolah mereka dulu, mereka kembali tertawa bersama.
          Rana dan Ditya tampak menikmati pertemuan mereka itu. Kerinduan yang ada selama 20 tahun rasanya tidak akan terpuaskan dalam pertemuan satu hari. Tanpa mereka sadari, mereka sudah duduk di tempat itu selama hampir 3 jam.
        Ditya melihat jam tangannya, lalu bertanya,”Ngga terasa, An, udah hampir 3 jam kita di sini. Aku ganggu waktu kamu ngga, nih?”
       “Engga kok, Dit. Aku hari ini emang enggak ada acara apa-apa,” jawab Rana. “Eh, jangan-jangan malah aku yang ganggu waktu kerja kamu, nih.”
         “Enggaklah, An. Kamu pulang naik apa, An?” tanya Ditya.
        “Naik taksi lagi palingan,” jawab Rana sambil memasukkan buku yang ada di atas meja ke dalam tasnya.
         “Kuantar pulang, ya. Sekalian aku mau tahu rumahmu. Tapi tunggu bentar, ya. Aku bayar dulu,” kata Ditya sambil berdiri. Ditya menolak dengan halus ketika Rana juga akan mengambil dompet di dalam tasnya. “Udah. Aku aja,” katanya.
           Rana mengembalikan dompet ke dalam tasnya, lalu memandang punggung Ditya yang berjalan menuju meja kasir untuk membayar apa yang telah mereka makan.
Rana kembali menghela napasnya. Dia tahu dan dia sadar, rasa yang dulu sekali pernah datang, kini sedang kembali bersarang di dadanya. Tiba-tiba ia merasa resah. 
           Tanpa dia sadari, Ditya sudah kembali ke meja mereka, dan menyentuh pundaknya dengan ringan.    “Hei, kok malah melamun. Ngga mau pulang, nih?” tanyanya.
Rana hanya membalasnya dengan senyum kecil, kemudia dia bangkit dari tempat duduk. Dan berjalan mengikuti Ditya menuju mobil.
          Sepanjang perjalanan menuju rumah Rana, mereka kembali terlibat dalam pembicaraan yang cukup hangat. Terkadang mereka sama-sama tertawa kembali mengenang masa-masa remaja mereka.
Dan akhirnya mereka sampai di depan rumah Rana.
           “Mampir, Dit?” tanya Rana sambil membuka pintu mobil.
          “Lain aja, ya, An. Aku masih ada urusan setelah ini. Yang penting aku sudah tahu rumah kamu. Jadi kapan-kapan aku bisa main kalau kebetulan ada waktu luang,” jawab Aditya.
         “Oke deh, Dit. Makasih ya, udah nganterin,” jawab Rana sebelum turun dari mobil.
          Setelah mobil Aditya berlalu, Rana pun kembali masuk ke dalam rumahnya. 

  • Adityakundala Setiawan

Adit menjalankan mobilnya perlahan meninggalkan rumah Arana. Pikirannya melayang-layang. Berbagai rasa berkecamuk di dalam hatinya. Arana tidak berubah. Ia masih sama seperti dulu. Arana yang membuatnya tak bisa tidur semalaman karena ada rasa lain yang ia rasakan saat itu. Arana yang secara diam-diam selalu ia pandang dalam kelas. Arana, gadis yang lincah dan gemar bercanda di kelas. Arana yang terkadang galak dan judes. Arana yang selalu ia rindukan selama ini.
Usia yang masih muda saat itu, membuat ia tidak berani secara terang-terangan menyatakan perasaannya kepada Arana. Untuk menyampaikan perasaannya itu, Aditya hanya mampu menggoreskan penanya dalam sebuah kertas, dan menciptakan sebuah puisi untuk Arana.
Aditya mengambil ponselnya, lalu ia mengetik sebuah pesan untuk Arana.
Thank you for today, An. It was precious moment for me. Thank you.”
Aditya kembali berkonsentrasi ke jalanan. Dan alangkah kaget ia ketika kemudian menyadari bahwa ia telah mengambil jalan yang salah. Aditya tertawa. Ah, pertemuannya dengan Arana benar-benar membius dirinya, hingga dia kehilangan konsentrasinya sejenak. Aditya pun memutar kendaraannya. Ah, kalau saja diberi kesempatan Aditya ingin kembali berjumpa dengan Arana. Aditya sungguh menikmati reuni hari ini. 

  • Arana Putri Pradipta


Arana masuk ke dalam kamarnya. Aditya tidak berubah, ia masih sama seperti Ditya yang dulu dikenalnya. Ditya yang pernah diam-diam disukainya di masa-masa Sekolah Menengah Pertama. Laki-laki pertama yang menciptakan sebuah puisi untuknya. Laki-laki pertama yang membuatnya nyaris tak semangat mengikuti pelajaran di sekolah karena ketidakhadirannya di sekolah. Laki-laki pertama yang membuatnya lancar merangkai rangkai kata-kata indah menjadi sebuah puisi. Ditya, yang namanya tak pernah tersebut selama lebih dari 20 tahun, namun tak pernah hilang dalam ingatannya.
Rana duduk di pinggir tempat tidurnya dan memandang ke luar jendela. Ponselnya bergetar, Rana meraihnya. Dan ia tersenyum membaca pesan yang dikirim oleh Ditya. Rana pun mengetikkan balasannya, "You're welcome, Dit. It was precious moment for me too."
       Rana kembali hanyut dalam pikirannya. Bertemu dengan teman lama seharusnya membuat ia gembira. Namun entah mengapa, reuninya dengan Ditya kali ini sungguh membuatnya gelisah. Rana sempat berbohong kepada Ditya tadi, ketika ia bertanya bagaimana kabarnya saat ini. Rana pun menceritakan tentang kehidupan yang bahagia, dengan seorang suami dan satu anak yang manis. Pada kenyataannya, dia masih sendiri hingga saat ini. Penyakit yang ia derita, tidak memberinya kesempatan memiliki keluarga yang bahagia. Bukan karena tidak ada cinta untuknya, namun Rana sendiri yang tak mau memiliki cinta. Rana tidak mau ada orang yang menangisi kepergiannya nanti, karena tak lama lagi waktunya di dunia ini sudah habis. Penyakit yang diderita membuat ia harus pergi. 
Air mata menetes perlahan dan mengalir di pipi Rana. Kali ini bukan karena kesedihan. Rana bersyukur kepada Tuhan karena ia masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan Ditya sebelum ia pergi. Karena itu adalah satu permintaannya kepada Tuhan setiap ia berdoa, agar ia dapat bertemu dengan Ditya lagi. Dan Tuhan mengabulkan permintaannya.
Rana menghapus air mata, lalu berjalan menuju ke jendela. Hari sudah mulai gelap di luar. Ia menutup jendela kamarnya perlahan, seakan menandakan bahwa cerita sudah selesai, karena sang putri akhirnya bertemu dengan pangeran impiannya.

--Selesai--


Catatan : Ini adalah cerita fiksi yang terinspirasi dari sebuah reuni dengan teman-teman masa sekolah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai