Gadis Berkerudung Jingga

     Lagi-lagi hujan sore ini menghambat kegiatanku. Lalu lintas sore yang padat serta sulitnya mencari angkutan umum yang kosong membuatku harus terjebak sendiri di halte depan kampus ini.

     Menyesal rasanya menolak ajakan Andra untuk pulang bersama tadi. Tapi aku hanya tak ingin membangkitkan perasaan lama yang telah kutanggalkan padanya. Kami memang pernah berbagi rasa dan merangkum mimpi bersama, tapi itu dulu sebelum aku mengetahui pertaruhan rahasia antara Andra dan Rangga. Pertaruhan untuk menjadikanku kekasih salah satu dari mereka hanya demi sebuah PS4 terbaru. Begitu kejamnya perbuatan mereka kepadaku, seorang perempuan penyendiri, sebagai bahan pertaruhan mereka, sehingga menyisakan kepahitan dalam hati tentang ketulusan hati seseorang pada sebuah hubungan. Karenanya sejak saat itu, aku tak percaya lagi pada cinta seorang laki-laki.

     Ah, lupakan saja perihal kejadian yang tak menyenangkan itu. Aku sudah tak mau lagi mengingat kebodohanku itu. Namun, kesendirian dan hujan yang turun senja itu serta ajakan Angga tadi mengembalikan ingatanku pada kenangan atas kebodohanku itu.

     “Maaf, boleh saya duduk di sini,” seorang gadis berkerundung jingga menunjuk tempat kosong di sebelahku.

      “Oh, silakan.”

     Kudengar ia menghela napas panjang. “Hujan sore ini seperti tirai air yang sedang menari merayakan pertemuan mereka pada bumi yang merindu,” katanya kemudian dengan pandangan kosong.

     “Hah?” Aku menoleh ke arahnya. Sedikit terkejut dengan ucapannya baru saja.

     “Aku bicara tentang hujan ini,” gadis itu menoleh ke arahku sambil tersenyum tipis.

     “Oh.”

     “Ah, ya, kenalkan namaku Jingga.” Gadis itu mengulurkan tangannya.

     Aku menyambutnya. “Senja.”

     Gadis itu tersenyum, aku membalasnya. Biasanya aku akan merasa kesal jika kesendirianku diusik oleh kehadiran orang lain, namun entah mengapa kali ini aku merasa bersyukur dengan kehadiran gadis berkerudung jingga ini, yang kebetulan juga bernama Jingga.

     “Namamu sesuai dengan kerudung yang kau kenakan.”

     Gadis itu lagi-lagi hanya tersenyum mendengar perkataanku.
    
     “Apa perasaanmu ketika hujan turun, Senja?”

     “Hah? Hujan? Dingin, menyebalkan, dan membuat aku terdampar di sini sampai sesore ini karena menunggu angkutan umum.”

     “Sesebal itu kamu dengan hujan?”

     “Iya. Setidaknya sore ini.”
    
Gadis berkerudung jingga itu mengangguk-anggukan kepalanya.

     “Kalau untukmu sendiri bagaimana, Jingga? Apa yang kau rasakan ketika hujan turun?” tanyaku sambil memandang gadis di sebelahku ini.

     “Rindu.” Gadis di sebelahku ini menghela napas panjang kemudian.

     “Rindu?”

     “Ya, rindu yang tak berkesudahan. Rindu yang tak terlegakan.”

     “Mengapa?” tanyaku penasaran.

     “Hujan selalu mengingatkan aku pada kerinduan untuk memandang wajah seseorang. Seseorang yang tak sempat menerima curahan rasa yang sudah lama tersimpan.”

     Kupandang gadis berkerudung jingga ini. Dan kudapati ada titik air di ujung matanya. Ada kesedihan yang terpancar di sana. Kulihat ia berkali-kali menghela napasnya seakan ingin melegakan sesuatu yang menyesakkan hatinya, kemudian ia menundukkan kepala. Bahunya sedikit berguncang,  sepertinya ia menahan tangisnya.

     Aku mendekatinya, kusentuh pundaknya perlahan. Ia terkejut lalu menoleh ke arahku dan tersenyum pahit. Saat itu aku melihat kepedihan yang jelas tergambar di raut wajahnya. Ia menggigit bibirnya menahan tangis.

     “Maaf. Jika pertanyaanku membuatmu bersedih. Aku sungguh tak bermaksud begitu,” kataku sambil terus mengusap pundaknya.

     Ia menggelengkan kepalanya. “Tak apa. Kamu tak salah, mungkin hanya aku saja yang terlalu terbawa suasana.”

     Kemudian keheningan menyelimuti kami berdua. Kami menikmati sunyinya suasana sore diiringi derai hujan yang kerapatannya semakin berkurang. Tak ada keinginan salah seorang dari kami untuk memecahkan sunyi ini.

     Tak lama kemudian hujan perlahan berhenti. Gadis berkerundung jingga ini lalu berdiri dan berlalu tanpa mengucapkan salam perpisahan. Ia hanya menoleh ke arahku sejenak dan pergi tanpa kata. Aku pun berdiri, berharap bahwa bus selanjutnya yang berhenti di halte ini menyisakan satu tempat untuk membawaku pulang.

     Sepuluh menit telah berlalu ketika kemudian aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku. Aku menoleh. Kudapati seorang pemuda dengan perawakan tinggi mengenakan celana jeans dan kemeja biru berlengan panjang yang digulung sesiku berjalan ke halte tempatku kuberdiri. Pemuda itu membawa buket bunga mawar berwarna putih, yang kemudian diletakkan di tempat gadis berkerudung jingga tadi duduk. Ia sempat berdiri sejenak di sana, seperti memanjatkan doa. Setelahnya dia duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

     Tingkah laku pemuda ini menarik perhatianku. Aku ingin mendekatinya dan bertanya, namun kuurungkan niatku. Bukan sifatku menyapa lebih dulu orang yang tak kukenal. Tapi ternyata pemuda itu lalu mengangkat wajahnya dan mata kami bertemu. Ia seperti baru menyadari ada orang lain di sekitarnya. Ia mencoba tersenyum untuk membalas tatapan penuh selidikku.

     “Bunga itu ...,” aku tak mampu meneruskan perkataanku. Ujung telunjukku mengarah ke buket bunga yang tergeletak di atas bangku halte.

     “Ah itu. Bunga untuk kekasihku yang sudah pergi.”

     Aku semakin tak mengerti dengan jawaban dikatakan pemuda ini.

     “Hari ini tepat tiga tahun peringatan kematian kekasih saya, Mbak.”

     “Oh,” jawabku singkat. Aku tak terlalu tertarik ingin mengetahui permasalahan pribadi orang lain.

     “Tiga tahun yang lalu saya dan kekasih saya berjanji untuk bertemu di tempat ini. Namun karena pesawat yang saya tumpangi tidak bisa mendarat sesuai jadwal, saya terlambat sampai di sini. Pesawat saya harus terbang mengitari kota ini selama hampir satu jam karena ada pesawat tamu kenegaraan yang harus mendarat di bandara. Begitu pesawat mendarat, saya berusaha menghubungi kekasih saya, namun telepon dari saya tidak terjawab. Lalu saya buru-buru datang ke tempat ini. Namun saya tak menemukan dia  di sini. Hanya kerumunan orang dan bercak darah dan serpihan kaca tercecer  yang saya lihat. Awalnya saya pikir, dia marah lalu pulang karena tak sabar menanti. Namun beberapa orang yang ada di sini saat itu bercerita bahwa tidak lama sebelum saya sampai, ada seorang gadis berkerudung jingga yang ditabrak mobil yang melaju kencang karena pengemudinya mabuk dan tak bisa mengendalikannya. Apalagi waktu itu hujan turun dengan deras dan jalanan sangat licin. Gadis itu tewas seketika. Jantung saya bagai berhenti berdetak mendengar berita itu. Saya sungguh berharap itu orang lain dan bukan kekasih saya. Namun ketika saya menghubungi keluarganya, ternyata dia memang Jingga, kekasih saya.”

     Cerita pria itu sempat terhenti sejenak sebelum kemudian ia melanjutkan ceritanya dengan suara terkecat karena menahan isak. “Setiap tahun saya selalu mengunjungi tempat ini, dan berdoa untuk arwahnya. Bunga mawar putih ini adalah bunga kesayangannya. Lambang cinta abadi katanya.”

     Jantungku berdebar lebih kencang mendengar cerita pemuda ini. Gadis berkerudung jingga. Apakah yang ia maksud Jingga, yang baru beberapa saat lalu menemaninya di sini? Pantas saja sikap Jingga tadi bagai menunggu seseorang. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang.

     Dari kejauhan kulihat bus yang menuju ke arah rumahnya berjalan mendekati halte ini. Aku buru-buru melompat masuk ke dalam bus setelah sebelumnya berpamintan pada pemuda yang masih tenggelam dalam kesedihannya itu. Aku tak peduli apakah pemuda itu mendengarnya atau tidak. Keinginanku hanya satu segera pergi dari tempat itu, dan melupakan kejadian yang baru saja kualami.

     Ternyata cinta sejati itu masih ada.

                           T A M A T

Kalasan, 26 April 2017.
Ketika hujan turun dengan derasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai