Perihal Riuh yang Melelahkan

       Keriuhan itu jauh di sana, namun terdengar dan dirasakan juga di sini. Tulisan-tulisan yang menyuarakan hal-hal yang belum tentu benar, suara-suara sumbang yang sarat kebencian, gambar gambar tak jelas yang lalu lalang di linimasa terkadang membuat hati berdetak lebih kencang. Lalu sebuah tanya mucul dalam benak, ‘ini apa lagi?’

            Tak bermaksud menyudutkan, tapi bukankah setiap insan punya akal, pikiran juga hati nurani, mengapa tak membiarkan saja mereka menilai sendiri? Tak perlu menceritakan keburukan untuk mendapat dukungan, juga menebar kebencian untuk sekedar dianggap benar. Bukankah lebih baik menebar kebaikan juga membangun hal-hal positif hingga akhirnya masyarakat bisa menilai dan memutuskan. 
Toh yang menentukan hasil akhirnya nanti adalah Ia yang memberi kita hidup.  Bukanlah suatu kesia-siaan jika kita berharap mendapatkan sesuatu dengan cara yang buruk?

            Mengapa tak menceritakan saja apa kebaikan yang kita punya agar orang memilih kita? Mengapa tak menjelaskan progam kerja dengan terperinci hingga dipahami, juga perihal bagaimana hal itu akan jalani? Bukankah akan lebih menarik dan terpelajar? Dibandingkan sekedar menceritakan keburukan lawan namun lupa menilai apakah diri sendiri pun sudah benar.

            Ah, kadang tulisan memang lahir dari kelelahan. Seperti juga tulisan ini. Jemari ini menari merangkai kata setelah jengah mendengar keriuhan yang melelahkan. Yah, saya memang tak paham tentang cara berpolitik yang benar, tapi setidaknya saya tahu bagaimana menulis dengan sopan.
            Itu saja.


Kalasan, 19 Maret 2017
#johanaocta

Instagram : @jo_dan_kata

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai