Cerita Bersambung : Merajut Mimpi Bersamamu (Chapter 2)



Chapter 2.  What Do You Want?



        Hari ini semua rutinitas kembali dilakukan. Pesta dan keriangan dalam menyambut tahun baru sudah usai. Semua orang kembali menggeluti kegiatan mereka masing-masing. Begitu pula dengan Arana yang bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas swasta terfavorit di Jogja. Pagi ini dia memulai aktifitasnya dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan sehingga persiapanpun dia lakukan dengan terburu-buru. Bahkan dia menolak ketika Ibunya meminta dia untuk sarapan sebelum berangkat.

“Ana, sarapan dulu. Nanti maag kamu kambuh lagi,” kata Ibu ketika melihat Arana berjalan dengan tergesa menuju ke garasi rumahnya.
Ayahnya yang sedang sarapan sambil membaca surat kabarpun ikut mengingatkan dia, “Ana, makan dululah, Nak. Tak baik pergi bekerja dengan perut kosong seperti itu. Ingat kesehatan kamu.”
“Aduh, maaf, Ibu, Ayah, Ana keburu-buru ini. Udah telat banget. Kalo Ana ngga berangkat sekarang, Ana bisa terlambat sampai di sekolah,” jawabnya sambil meminum jus tomatnya dengan tergesa.
“Ya sudah. Tapi ini bawa rotinya untuk kamu makan sebelum jam mengajar kamu. Atau kamu makan sambil menyetir nanti. Ingat kesehatan kamu, Ana,” kata Ibunya sambil menyerahkan kotak bekal berisi roti keju kesukaan Arana.
“Iya, Bu. Terima kasih, ya, Bu” kata Arana sambil mencium pipi Ibunya. “Ana pergi ya, Yah,” lanjutnya sambil mencium pipi Arana.
Arana berlarian ke garasi dan dengan tergesa ia masuk ke dalam mobil lalu mulai menstater mobilnya. Mobil pun perlahan meninggalkan halaman rumahnya dan meluncur menuju tempat Arana mengajar. Di dalam mobilnya Arana berusaha berkonsentrasi dengan lalu lintas pagi yang cukup padat, bekal dari ibunya dibiarkannya teronggok di kursi penumpang. Nanti sajalah kumakan, pikir Arana.  
Tepat pukul 6.30, Arana sudah sampai di sekolah. Ah, untung belum terlambat, batinnya. Diapun turun dari mobil dan bergegas menuju ruangan guru yang terletak di bagian barat sekolah. Di koridor sekolah, ia berpapasan dengan beberapa murid yang mengucapkan salam untuknya, Arana membalasnya sambil tersenyum tipis. Arana memang dikenal sebagai guru yang lumayan galak di kalangan murid-muridnya, walaupun tak sedikit yang memujanya karena diapun dikenal sebagai guru yang enak diajak berdiskusi dan tempat curahan hati murid-muridnya. Sesampainya di ruang guru, dihempaskannya tubuhnya di kursi kerjanya. Dia menarik napas panjang sebelum mempersiapkan buku-buku yang akan digunakannya untuk mengajar. Dia mempunyai jadwal mengajar Kimia di kelas 2IPA1 di dua jam pertama pagi ini.
“Tumben kok, agak siang datangnya, Bu Arana?” tanya Bu Yasinta temannya yang mengajar Matematika.
“Iya nih, Bu, kesiangan bangunnya. Semalam antar teman ke bandara. Terus keasyikan buat materi hari ini, jadi kemalaman pergi tidurnya,” jawab Arana sambil tersenyum. “Oiya, Bu Sinta, hari ini ngga ada upacara kan, ya?”
“Ngga ada, Bu Arana,” jawab Bu Yasinta.
Setelah selesai mempersiapkan buku-buku dan materi yang akan digunakan untuk mengajar, Arana mengambil ponselnya di tas. Ketika dilihatnya bahwa tidak ada tanda-tanda Aditya membalas chatnya, Arana kembali menghela napas panjang. Dia pun teringat pesan yang disampaikan para sahabatnya kemarin sore, ketika mereka berkumpul untuk terakhir kalinya sebelum Tania terbang ke Jakarta untuk kemudian kembali ke Penysylvania.
“Ara, besok lusa aku udah kembali ke USA, kuharap kamu udah ngga galau-galauan soal cinta lagi, ya. Cerita tentang Langit anggap aja udah tamat. Sekarang kan udah ada Aditya. Kamu udah nemuin belahan jiwa kamu. Dijaga, ya, Ra?” pesan Tania kala itu.
“Iya, Ra. Apalagi dulu jaman kita semua masih SMP, kamu naksir dia, kan? Ih, lucu, ya, kok jadiannya malah sekarang. Padahal kalian dulu satu SMA juga, kan?” tanya Laras.
Arana menjawab pertanyaan Laras itu dengan anggukan kepala dan senyuman.
“Yeee....malah senyum-senyum,” ledek Devan.
“Apaan, sih, Van,” balas Arana sambil mencubit lengan Devan yang duduk di sampingnya.
Weleh, njiwitan, Arana(1),” jawab Devan sambil menahan sakit.
Rasakno(2)!” balas Arana.
“Udah, udah,” kata Seruni melerai mereka. “Wis to, Van, kowe ki nek sedino rak nggodani kanca rak puas, po?(3).”
“Ra, gimana Aditya? Udah ada kabar?” tanya Jandro sambil meminum ice americano kesukaannya.
Arana tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya.
“Ya udahlah, Ra. Berdoa aja semoga dia baik-baik saja. Mungkin dia sibuk sehingga ngga sempet WA kamu. Atau sinyalnya ngga dapet,” kata Jandro lagi berusaha menenangkan dirinya.
“Ra, kamu ngga usah mikir yang engga-engga tentang Aditya, ya. Kita semua kenal baik kok siapa Aditya. Dia kan juga teman kita-kita waktu SMP dulu. Dia bukan orang yang ngga bertanggung jawab, kok, Ra. Aku yakin, pasti ada alasannya kenapa dia ngga bales chat kamu. Jadi kamu tenang-tenang aja, ya?” Jonathan pun berusaha untuk menenangkan dirinya.
Arana hanya bisa menganggukkan kepalanya dan berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Hatinya belum siap terluka lagi karena cinta.
Lonceng tanda pelajaran dimulai yang berdentang menyadarkan Arana dari lamunannya pagi ini. Bergegas dia berdiri dan menuju ke ruang kelas 2 IPA 1 untuk memulai aktivitasnya pagi ini.

∞ ∞ ∞

Arana merebahkan dirinya di pembaringannya. Ia merasa lelah sekali hari ini. Setiap hari Senin jadwal mengajar Arana memang cukup padat. Belum lagi ia harus membimbing ekstra kurikuler menulis dan jurnalistik seusai jam pelajaran sekolah. Arana sempat memejamkan matanya sejenak, saat kemudian ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.
“Siapa?” tanya Arana sambil tetap berbaring.
            “Saya, Mbak Ana,” jawab Mbak Tini dari luar.
            “Masuk aja, Mbak Tin. Ngga dikunci, kok,”  jawab Arana.
            “Ada apa, Mbak?” tanya Arana lagi setelah Mbak Tini masuk ke dalam kamarnya sambil mengambil posisi duduk di atas pembaringannya.
            “Kata Ibu, Mbak Ana diminta makan dulu sebelum istirahat,” kata Mbak Tini. “Terus ini tadi ada surat buat Mbak Ana,” lanjut Mbak Tini sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Arana.
            Arana menerima surat itu, lalu melihat ke bagian belakang amplop surat untuk mengetahui siapa pengirimnya, namun Arana harus kecewa karena tidak apa nama pengirim surat di sana.
            “Terima kasih, Mbak Tin. O,ya, bilang sama Ibu sebentar lagi aku keluar untuk makan. Aku mau mandi dulu, udah hampir malam soalnya,” kata Arana sambil melirik ke jam meja di samping tempat tidurnya yang menunjukkan pukul 6.10 p.m.
            “Baik, Mbak Ana, nanti saya sampaikan. Saya permisi, “ jawab Mbak Tini sambil keluar dari kamarnya dan menutup pintu.
            “Dari siapa, ya?” bisik Arana sambil membuka amplop surat itu lalu ia mulai membaca surat yang ditulis tangan dan terkesan terburu-buru ketika menulisnya itu. Dan ketika ia melihat tulisan tangan itu, Arana tahu persis siapa yang menulisnya.

                                                                                                 Jogja, 31 Desember 2015

            Dear Ana,
        Saat kamu terima surat ini aku udah ada di Beijing untuk urusan kantor. Maaf kalo aku ngga sempat kirim kabar ke kamu sebelum berangkat. Karena rencana ini sangat mendadak. Ada kericuhan di kantor cabang kami di sana dan perusahaan memintaku dan Linda untuk mengurusnya karena hanya kami yang fasih berbahasa Mandarin. Aku tidak tahu sampai kapan aku berada di Beijing. Kalau masalah cepat diselesaikan ya, aku akan cepat pulang, namun jika tidak mungkin akan lebih lama tinggal di sana.
        Gitu aja, ya, An, maaf ngga bisa nulis panjang-panjang, karena pesawat kami udah mau berangkat. Surat ini aku titipkan ke Sandy yang kebetulan mengantarkan kami ke bandara. Nanti sesampainya di Beijing aku akan menghubungimu.

Love,
Aditya

            Arana terpekur setelah membaca surat yang ditulis Aditya dengan tergesa itu. Seharusnya dua hari yang lalu Aditya sudah tiba di Beijing, namun kenapa dia belum juga menghubungi dirinya. Mendadak Arana merasa gelisah. Bukankah Linda adalah teman sekantor Aditya yang sudah lama menaruh hati kepada Aditya? Arana pernah bertemu dengan Linda ketika Arana sedang menikmati makan malam bersama Aditya  di sebuah bistro di Jogja, dan saat itu Arana merasakan bahwa Linda tidak suka dengannya. Bahkan ketika Aditya dan Linda sempat mengobrol sejenak, sikap Linda seakan menganggap Arana tidak ada di sana. Tiba-tiba Arana merasa cemburu. Diraihnya ponselnya dan ketika dilihatnya belum ada tanda-tanda Aditya membalas chatnya di sana, Arana merasa semakin lelah. Lelah yang amat sangat, lelah yang seakan menghisap sari dalam dirinya, hingga dia merasa kosong. Dengan sedikit malas, Arana bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Mungkin setelah aku membersihkan diri, rasa lelahku akan berkurang, pikirnya.
            Selesai mandi dan berpakaian, Arana keluar dari kamarnya dan berjalan ke meja makan. Ayah dan Ibunya yang baru saja selesai makan malam, masih duduk di sana.
            “Kok terlihat kuyu begitu, Nak?” tanya Ayahnya.
            “Iya, Ana, kamu tampak sangat lelah,” kata Ibunya sambil menuangkan air minum ke dalam gelas Arana. “Ada masalah? Kamu ngga lagi sakit, kan, sayang?” tanya Ibunya lagi.
            “Ana ngga apa-apa kok, Ayah, Ibu,” jawab Arana sambil menyendokkan nasi ke dalam piringnya. “Ana hanya agak kecapean aja dengan kegiatan hari ini.”
            “Oh, begitu. Ya sudah, makanlah yang banyak, An,” kata Ibunya sambil menyedokkan sayur sop kacang merah kesukaan Arana ke dalam piring makan Arana.
            “Sudah, Bu, jangan banyak-banyak,” kata Arana ketika melihat Ibunya hendak menuangkan banyak sayur sop ke dalam piringnya. “Terima kasih,” katanya lagi.
            Arana makan dengan perlahan. Sebenarnya nafsu makan Arana hilang entah ke mana setelah ia membaca surat pendek dari Aditya tadi, namun mengingat kesehatannya yang mengharuskan dia agar makan secara teratur dipaksakannya juga makanan di dalam piringnya itu agar masuk ke dalam mulutnya. Padahal biasanya Arana akan makan dengan lahap jika ibunya memasak sayur sop kacang merah kesukaannya, apalagi ibunya membuat perkedel kentang kali ini, biasanya Arana pasti akan nambah. Tapi kali ini Arana hanya tidak bisa merasakan rasa masakan ibunya itu, dia makan hanya karena ia harus makan. Arana tidak peduli bagaimana rasa makanan yang dimakannya saat itu, yang ia tahu hanyalah ia harus menelan makanannya, sesulit apapun itu.
            Selesai makan, Arana memohon ijin pada kedua orang tuanya untuk beristirahat di kamar. Karena melihat anak gadisnya yang terlihat begitu lelah, Ayah dan Ibu Arana mengijinkan anaknya untuk beristirahat. Tapi sebelumnya Arana tetap harus meminum obat yang harus diminumnya rutin setiap malam. Arana melakukan semua aktifitasnya malam itu seperti tak bertenaga, ia merasa begitu lelah.
            Di kamarnya, Arana langsung merebahkan tubuhnya di kasurnya. Sambil berbaring dipandanginya lagit-langit di kamarnya. Arana kembali mendesah. Arana sangat merindukan kehadiran Aditya saat ini. Biasanya jika Arana merasa keletihan karena segala aktifitas yang dia lakukan pada hari itu, ia akan menelpon atau sekedar berbalas pesan melalui Whatsapp lalu bertukar cerita hingga akhirnya dia akan tertidur. Namun kali ini, hal itu tidak bisa dia lakukan, karena chat-chat yang dia kirimkan sebelumnya belum juga dibaca oleh Aditya. Tiba-tiba Arana merasa sangat sedih. Tanpa disadarinya, Arana terisak. Dia menangis perlahan. Dan sepanjang malam dia habiskan waktunya dengan menangis, hingga kelelahan dan akhirnya tertidur.

∞∞∞

            Arana bangun pagi dengan kepala terasa sangat berat. Dia bangkit perlahan dari tempat tidurnya lalu berjalan ke arah meja riasnya sambil memegang kepalanya. Dalam cermin dia melihat sosoknya di sana dengan tampang kusut dan mata yang terlihat sembab karena menangis semalaman.
            “Siapa engkau?” kata Arana pada bayangan dirinya di cermin. “Apa yang kau inginkan sesungguhnya? Dulu dalam segala kesakitanmu kamu jarang sekali menangis, mengapa kini hanya karena dia kamu menangis semalaman?”
            “Sudahlah Arana, bukankah rasa bahagia itu hanya kamu yang bisa cipta? Jangan mengantungkan kebahagiaanmu pada orang lain. Bahkan kepada orang yang kamu cintai sekalipun. Bukankah kamu sudah berjanji pada dirimu sendiri untuk selalu bahagia? Mengapa tak kamu penuhi janjimu itu?” Arana masih berbincang dengan dirinya sendiri.
            Ponselnya bergetar. Arana yang masih sibuk berdialog dengan dirinya sendiri tak mendengar getaran ponsel yang ia letakkan di atas meja di samping tempat tidurnya itu. Ponselnya kembali bergetar, kali ini Arana menyadarinya. Dengan sedikit malas, diambilnya ponsel itu, dan dilihatnya sebuah nomor yang diawali dengan +8610. Hati Arana berdegub lebih kencang, +86 adalah kode area untuk China. Apakah Aditya yang menelponnya? Dengan hati yang masih berdebar dijawabnya panggilan itu.
            “Hello,” jawab Arana.
            “Hai, Ana,” terdengar sebuah suara yang amat dirindukan Arana. Ya, suara Aditya.
            “Ditya,” bisik Arana dengan suara yang tercekat.
            “Iya, Ana, ini aku, Aditya,” terdengar jawaban dari sana. “Maaf, An, aku baru sempat kasih kabar sekarang. Kemarin-kemarin aku benar-benar gak sempat untuk sekedar kasih kabar. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan, bahkan hp aku aja sampai mati karena belum sempat aku cas.”
            Arana tidak sanggup menjawabnya. Ia hanya sanggup menggigit bibirnya sambil menahan isak. Isak tangis yang tercipta karena rindu, karena akhirnya dia bisa mendengar suara Aditya lagi, karena akhirnya dia tahu bahwa Aditya baik-baik saja di sana. Arana memegang dadanya, ada rasa nyeri di sana. Arana menarik napas panjang, hatinya terasa sedikit lega sekarang.
            “Ana, kok diam saja. Kamu baik-baik aja, kan, An?” tanya Aditya kembali.
            “Aku baik-baik aja, Dit,” kata Arana dengan lirih.
            “An, kamu ngga lagi nangis, kan?” tanya Aditya. “Maafin aku, ya, An. Kayanya aku bikin kamu nangis lagi, ya?”
            Arana menggelengkan kepala, namun kemudian dia sadar bahwa Aditya tidak bisa melihat gelengan kepalanya. Maka dengan sekuat tenaga ditahannya tangis yang sudah menyesak di tenggorokannya dan menjawab pertanyaan Adiya, “Nggak kok, Dit, aku ngga nangis.”
            “Ana, kamu ngga usah bohong, aku bisa dengar loh, isak yang kamu tahan itu. Kamu nangis karena aku, ya, An? Kamu baik-baik aja, kan, An?” kata Aditya.
            “Maafin aku, Ana,” kata Aditya lagi ketika tak didengarnya jawaban dari Arana. “Aku benar-benar ngga bisa hubungin kamu lebih awal. Kamu pasti marah dan cemas, ya. Aku sama sekali ngga berniat bikin kamu marah atau cemas, An.”
            “Aku ngga apa, Ditya. Aku hanya.......” kali ini Arana tak sanggup lagi menahan tangisnya.
            “Ana... ssshhh.... An....,” kata Aditya berusaha menenangkan Arana.
            Aditya menunggu hingga Arana tenang dulu. Setelah didengarnya Arana mulai tenang, Aditya melanjutnya perkataannya, “Ana, An..... Maafin aku, ya, tapi aku harus nutup telepon ini sekarang. Aku janji, nanti sore aku akan menelpon kamu lagi, ya, An.”
            Arana yang masih begitu merindukan Aditya, tiba-tiba saja merasa kesal mendengar perkataan Aditya itu. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, Aditya tidak sedang berada di hadapannya kali ini. Apalagi Arana juga sadar bahwa biaya untuk melakukan panggilan ini tentunya tidak sedikit. Karena itu Arana tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan permintaan Aditya itu.
            “Iya, Dit,” jawa Arana.
            “Baik-baik kamu di situ, ya, Ana. I love you,” kata Aditya sebelum menutup teleponnya.
            “I love you, too,” bisik Arana setelah Aditya menutup teleponnya.
            Setelah pembicaraannya dengan Aditya yang hanya berlangsung singkat, hati Arana lebih tenang sekarang. Setidaknya ia tahu bahwa Aditya baik-baik saja di sana. Walau sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang ingin Arana tanyakan kepada Aditya. Arana menyesal sudah menghabiskan waktunya tadi untuk menangis ketika Aditya sedang menelpon. Tapi Arana benar-benar tidak bisa menahan tangisnya tadi, dadanya yang terasa sesak menuntut untuk dilegakan, dan menangis adalah satu-satunya cara yang bisa Arana lakukan tadi.
           
∞∞∞
           
            Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10 malam, dan Arana masih menunggu telepon dari Aditya. Aditya berjanji untuk menelponnya sore ini, dan sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda itu. Padahal sudah sepanjang sore tadi Arana menunggu. Bahkan ajakan Jandro, Laras, dan Devan untuk minum kopi bersama tadi sore ditolaknya karena Arana ingin di kamarnya ketika berbincang dengan Aditya melalui telepon. Arana merasa kesal sekali. Sedari tadi dipandangnya layar ponsel, dan berharap ada panggilan dari Aditya di sana.
            “Aaah.....mana janjimu, Dit? Kamu bilang mau telepon aku?” jerit Arana dalam hatinya.
            Arana mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali dihentakkan kakinya. Dia benar-benar kesal sekali. Dan ketika dirasakannya ponsel ditangannya bergetar segera dijawabnya panggilan itu.
            “Ditya?” tanyanya.
            “Lho, Aditya belum telepon kamu juga, Ra?” terdengar suara Jandro di sana.
            “Oh, maaf Jan, kupikir Aditya. Ada apa, Jan? Tumben malam-malam telepon aku,” kata Arana dengan kesal.
            “Waduh.....salah timing ni kayanya aku, ya. Suara kamu kedengaran kesal sekali,” jawab Jandro. “Aku ngganggu kamu, ngga, nih?”
            “Oh, maaf, Jan. Suaraku kedengaran jutek, ya? Maaf. Ada apa, Jan?” kata Arana.
            “Ngga ada apa-apa sih, An. Cuman mau ngobrol biasa aja. Tapi kayanya waktunya ngga pas, nih. Besok aja deh, ya. Kita ngopi-ngopi abis kamu ngajar aja, gimana?” jawab Jandro. “Nanti kita aja teman-teman yang lain sekalian.”
            “Oke, deh. Kayanya besok aku bisa, sih,” kata Arana.
            “Ya udah, sampai besok ya, Ara,” kata Jandro menutup pembicaraan meraka.
            Pembicaraannya dengan Jandro cukup bisa meredakan kekesalannya pada Aditya yang belum juga menelponnya. Arana duduk di meja kerjanya, dibukanya laptop, dan dia mulai mengetik sebuah puisi. Puisi untuk Aditya.

            Letih bergumul dengan gundah
            Melemah ragaku merintih
            Bahkan helaan napas berat terasa
            Aku.......lelah.....

            Dambakan hadirmu kini bagai mimpi
            Aromamu perlahan melesap
            Rasamu kian merepih
            Aku.......gelisah....

            Suaramu tak lagi kudengar
            Kata-katamu mulai sayup
            Bayangmu mulai sulit kuraih
            Aku......rindu......

            Selesai menulis puisi itu, Arana tecenung di hapan laptopnya. Hubungannya dengan Aditya terasa semakin jauh akhir-akhir ini. Menjelang akhir tahun lalu, komunikasi di antara mereka memang sudah tak seintens dulu. Banyak chat-chat Arana yang tidak dibaca bahkan dibalas oleh Aditya. Awalnya Arana mengira hanya kesibukan Aditya saja karena menjelang akhir tahun. Namun telepon Aditya semalam yang terasa begitu tergesa bagi Arana, seakan semakin menguatkan dugaan Arana bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam hubungan mereka. Arana merasa sangat gelisah bergumul dengan perasaannya sendiri saat ini. Arana sungguh takut pengalaman-pengalaman yang lalu terulang kembali. Arana tak mau hatinya tersakiti lagi. Memang orang yang memiliki peluang untuk menyakiti kita adalah orang yang paling kita cintai. Penantian Arana yang panjang untuk kembali bertemu dengan Aditya membuat dia takut untuk kehilangan Aditya lagi.
            Arana menutup laptopnya, tubuhnya yang rentan sakit merasa amat penat. Arana ingin beristirahat. Arana butuh istirahat. Arana berjalan ke arah ranjangnya, dia berdoa sebelum membaringkan tubuhnya. Tepat ketika ia membaring tubuhnya, dirasakan getaran dari ponselnya. Sebuah nomor dari luar negeri dengan kode area +86 tampak di sana. Aditya menelponnya.
            “Halo, Ana,” terdengar suara Aditya di sana. “Belum mau tidur, kan?”
            “Hai, Dit. Belum. Kok baru telpon sekarang, Dit? Sibuk, ya?” jawab Arana.
            “Iya, Ana. Maaf, ya. Seharusnya aku menelpon kamu sore tadi. Ada kejadian di sini yang menyebabkan aku ngga bisa telpon kamu tadi sore. Kamu pasti udah nunggu-nunggu, ya?” kata Aditya.
            “Ya gitu, deh. Emang ada kejadian apa, sih, yang nyebabin kamu ngga bisa telpon aku tadi sore?” kata Arana sedikit kesal. “Kalau boleh tahu.”
            “Kok jawabnya sensi gitu, An? Kamu marah,ya?”
            “Apa aku ngga boleh marah, Dit? Sesorean aku nungguin telepon kamu. Bahkan aku nolak acara kumpul-kumpul ama sahabat aku karena nungguin telepon kamu. Dan kamu ngga nelepon aku juga. Bahkan WA atau bbm kasih tahu kalo ngga bisa teleponpun engga. Apa aku ngga boleh marah?” jawab Arana sedikit ketus.
            “Ana. Please, jangan marah-marah gitu, dong. Aku bener-bener ngga bisa nelpon atau bbm tadi sore. Linda pingsan tadi sore karena dehidrasi. Dan aku harus bawa dia ke rumah sakit dulu, nungguin dia siuman dulu. Kamu tahu, kami kan cuman berdua di sini. Jadi aku harus jagain dia, kan. Itu sebabnya aku ngga bisa telepon  atau kirim pesan ke kamu,” Aditya menjelaskan dengan emosi yang mulai ikut meningkat.
            “Hah?! Linda? Ah, jadi kamu lebih mementingkan Linda, ya, dibanding janji kamu ke aku? Oke. Fine. Aku bisa ngerti kalo kamu emang harus nungguin dia, tapi kamu bisa kan WA atau bbm aku kabarin kamu lagi ngapain dan di mana? Aku cuman perlu kabar, Dit. Kabar. Sesulit itukah kamu kabarin aku?” jawab Arana.
            “Iya, Maaf. Aku emang salah ngga kabarin kamu tadi. Maaf. Udah ya marahnya, An? Please....” kata Aditya.
            “O iya, gimana akhir tahunmu kemarin?” tanya Adiya berusaha meredakan amarah Arana.
            “Biasa aja,” jawab Arana singkat.
            “Kok kamu jawabnya gitu, sih, An?” kata Aditya mulai ikut kesal.
            “Terus kamu mau aku jawab apa?!?” tanya Arana dengan kesal. “Aku sedih karena ngga bisa bareng kamu, gitu? Kalo kamu tahu aku bakalan sedih, apa sih susahnya kasih aku kabar supaya aku ngga khawatir?”
            “An, kan semalam aku udah jelasin,” jawab Aditya. “Please, An, aku tahu aku salah. Aku udah minta maaf. Aku harus gimana lagi supaya kamu ngerti?”
            “Aku capek, Dit. Malam ini aku benar-benar capek. Kayanya kalau kita bicara terus yang ada malah berantem nanti,” kata Arana.
            “An,” kata Aditya lagi.
            “Udahlah, Dit, aku capek,” jawab Arana sambil memutuskan pembicaraan mereka.
            Arana benar-benar kehabisan tenaga kali ini. Tubuhnya terasa letih, begitu juga jiwanya. Kenyataan bahwa Aditya lebih mementingkan Linda dibandingkan janjinya kepada Arana membuat Arana semakin merasa kesal. Ya, dalam kondisi seperti itu memang sudah seharusnya Aditya lebih mementingkan kondisi Linda daripada dirinya, namun entah mengapa hal itu justru membuat Arana semakin merasa kesal. Kesal pada Aditya dan juga kesal pada dirinya sendiri.
            “Apa maumu, Arana?” tanya Arana pada dirinya sendiri.
            Entahlah, Arana saat ini bahkan tak bisa mengerti apa yang ia inginkan. Satu hal yang pasti Arana inginkan adalah Aditya. Aditya dan semua rasa yang diciptakannya. Namun kejadian hari ini membuat Arana ragu. Ragu apakah dia sanggup bergumul dan memenangkan rasa itu? Sedang saat ini ada sosok Linda yang juga menyimpan cinta untuk Adityanya, dan ia sedang bersama dengan Aditya sekarang, jauh di seberang sana.



-----bersambung --------





Keterangan :

(1)  Weleh, njiwitan ik, Arana  = Walah, suka nyubit nih, Arana.

(2) Rasakno  =  Rasain!

(3) Wis to, Van, kowe ki nek sedino rak nggodani kanca rak puas, po? = Sudahlah, Van, kamu kalau
                                                                                       sehari nggak ngangguin teman ngga puas, ya?


            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai