Cerita Bersambung : Merajut Mimpi Bersamamu (Chapter 3)

Chapter 3.  Why Did You Do?

Sudah hampir satu bulan Aditya berada di Kota Beijing, Cina.  Begitu banyaknya urusan yang harus dia selesaikan sehingga dia hampir tidak sempat memikirkan hubungannya dengan Arana yang mulai merenggang. Namun siang ini ketika semua urusan kantornya hampir terselesaikan dan mereka memiliki waktu untuk menikmati Kota Beijing yang indah ini, mau tak mau pikiran Aditya melayang kepada Arana. Arana yang sangat ia rindukan. Di pinggir danau di Taman Beihai, Beijing, Aditya bersandar pada dinding pagar tembok setinggi kurang lebih setengah meter yang mengeliling danau di taman itu, ia mulai memikirkan Arana. Pemandangan Taman Beihai yang sedemikian indah harusnya bisa ia nikmati bersama orang yang sangat ia kasihi. Apalagi ia tahu Arana sangat menyukai pemandangan kumpulan air.
“Ana, aku rindu kamu. Rindu sekali....,” bisiknya dalam hati.
Aditya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia begitu larut, sehingga ia tidak mendengar sapaan Linda yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya.
“Mas Adit,” kata Linda sambil menyentuh lengan Aditya. “Mas. Mas Adit,” panggilnya lagi ketika dilihatnya Aditya tidak bergeming.
Merasakan jemari Linda yang menyentuh lengannya, Aditya melonjak terkejut. “Ah, kamu Lin. Mengagetkanku saja,” jawab Aditya sambil menepis jemari Linda yang ingin bergelayut di lengannya.
“Kamu melamun, Mas? Melamunkan siapa? Mbak Arana, ya?” tanya Linda dengan nada tidak suka, ditambah lagi dengan reaksi Aditya yang menepis jemarinya.
“Ah, tidak ada apa-apa. Kedatanganmu mengagetkan aku, Lin. Eh, kamu dari mana saja? Mana Sandy?” tanya Aditya berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Entah, Mas. Tadi Mas Sandy pamit mau ambil foto pagoda yang ada di tengah pulau itu,” kata Linda sambil menunjuk pagoda yang dibangun di pulau yang terdapat di tengah danau.
“Oh. Ya udah, kita tunggu aja dia di sini,” kata Aditya sambil meletakkan kedua sikunya pada pagar dan memandang ke arah danau.
Linda kemudian mengambil tempat di sisi Aditya dan meniru sikap Aditya. Ia memandang ke arah danau, namun sesekali ia melirik ke arah Aditya yang tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Linda sebenarnya tahu persis apa yang dipikirkan oleh Aditya saat ini. Ya, siapa lagi kalau bukan Arana, kekasih Aditya. Linda pun menyadari bahwa selama hampir satu bulan mereka bertugas di Beijing, hubungan Aditya dan Arana agak merenggang. Perselisihan antara Aditya dan Arana disebabkan karena dirinya. Karena Aditya yang saat itu lebih mementingkan mengurusi dirinya yang mendadak pingsan karena dehidrasi, dan melupakan janjinya untuk menghubungi Aditya. Linda tahu semua itu, karena ia tanpa sengaja mendengar percakapan antara Aditya dan Arana melalui telepon malam itu. Jujur, mendengar pertengkaran antara Aditya dan Arana malam itu, hati Linda sungguh amat senang. Apalagi ketika ia menyadari bahwa Aditya lebih memilih menungguinya hingga siuman di ruang ER, Beijing Internasional Medical Center hingga melupakan janjinya pada Arana. Linda memang menyukai bahkan mencintai Aditya sejak dahulu. Sejak mereka masih sama-sama berada di kantor cabang Surabaya, jauh sebelum Aditya berjumpa kembali dengan Arana. Bahkan kepindahannya di kantor cabang Semarang saat ini pun dilakukan Linda karena ia ingin lebih dekat dengan Aditya. Dulu, sebelum Aditya menjalin hubungan dengan Arana, hubungannya dengan Aditya sangat dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di dalam kantor maupun di luar kantor. Kadang mereka sering menghabiskan waktu akhir minggu dengan pergi ke daerah pegunungan seperti Bandungan bersama-sama. Walau mereka tidak hanya pergi berdua saja tapi bersama beberapa teman kantor yang lain, namun hal itu sudah membuat Linda merasa bahagia karena ia bisa bersama-sama dengan Aditya. Namun, sejak Aditya bertemu dengan Arana hingga akhirnya mereka berpacaran, Aditya sudah jarang sekali menghabiskan akhir minggu bersama-sama dengan Linda maupun teman kantor yang lain. Hal itu membuat Linda sedih, sehingga menimbulkan rasa tidak suka pada Arana. Ya, Linda cemburu pada Arana yang akhirnya berhasil mengambil hati Aditya, pria yang sudah lama Linda cintai diam-diam.
Di samping Linda, Aditya pun tenggelam dalam pikirannya. Dia teringat pertengkarannya dengan Arana malam itu, ketika ia melupakan janjinya untuk menghubungi Arana karena menunggui Linda yang pingsan. Sejak pertengkaran mereka itu beberapa kali Aditya mencoba menghubungi Arana, namun respon Arana yang dingin menanggapi telepon darinya, membuat Aditya tidak bisa lama-lama berbicara dengan Arana. Seperti teleponnya yang terakhir pagi itu.
“Ana, kok sekarang kamu agak berubah?” tanya Aditya.
“Ah, itu hanya perasaan kamu aja, Dit. Aku biasa-biasa aja, kok,” jawabnya Arana sedikit ketus.
“An, kalo aku ada salah, tolong kasih tahu aku. Supaya aku bisa perbaiki. Jangan bersikap seperti ini, An. Aku jadi kepikiran. Kerjaanku jadi terganggu karenanya,” kata Aditya berusaha membujuk Arana.
“Aku ngga apa-apa, Ditya. Dan kalau memang kamu jadi kepikiran dengan sikapku saat ini dan hal itu menganggu pekerjaan kamu, lebih baik kita ngga usah berkomunikasi dulu, deh,” jawab Arana sedikit emosi.
“An, bukan begitu maksudku. Maksudku...” kata Aditya.
“Udahlah, Dit. Aku rasa pembicaraan ini akan kembali jadi pertengkaran kalau kita teruskan,” potong Arana.
“Ana, aku ngga bermaksud seperti itu. Hanya saja komunikasi kita akhir-akhir ini benar-benar membuat pikiran aku jadi kacau, An. Aku jadi sulit berkonsentrasi dengan pekerjaanku di sini,” jawab Aditya.
“Ditya, gini aja deh. Jika pembicaraan kita ini memang malah membuat kamu jadi ngga bisa konsentrasi ke pekerjaan kamu, sebaiknya kita ngga usah berkomunikasi dulu. Lebih baik kita kasih jeda dalam hubungan kita ini. Mungkin dengan adanya jeda itu, kita bisa sama-sama instropeksi diri lah. Aku juga ngga mau malah jadi batu sandungan dalam kamu menjalani pekerjaan kamu,” jawab Arana.
“Arana. Please......” kata Aditya.
“Ngga, Dit. Aku rasa itu cara yang paling baik yang bisa kita lakukan. Aku juga capek, Dit, kalau setiap teleponan ama kamu, ujung-ujungnya malah kita jadi bertengkar. Aku capek, Dit.”
Mereka sama-sama terdiam selama beberapa menit, hingga akhirnya Arana memecahkan keheningan itu, dan berkata, “Aditya, aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Banget. Dan aku sedih sekali, jika karena aku, kamu jadi tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan kamu. Jadi, aku pikir sebaiknya kita ngga usah saling berkomunikasi dulu, paling tidak sampai masalah kantor kamu di Beijing teratasi. Kita bisa bertemu setelah urusan kamu di Beijing selesai. Gimana?”
“Baiklah, An. Walau sesungguhnya aku ngga setuju sama usul kamu ini. Tapi aku pikir, mungkin ini jalan yang terbaik buat kita. Mungkin hubungan kita ini butuh jeda. Jeda yang membuat kita sama-sama intropeksi. Aku akan mencoba untuk menunda rasa rinduku ke kamu. Aku janji, selepas urusan aku selesai di Beijing ini, aku akan menemui kamu,” jawab Aditya.
“Ya, Dit. Aku juga akan berusaha menunda rinduku ke kamu. Kita sama-sama perlu waktu untuk berpikir. Aku akan menunggu sampai urusan kantor kamu di Beijing selesai. Setelah itu, temui aku. Kita bicara,” kata Arana.
“Baiklah, An. Kalau memang itu keinginan kamu. Baik-baik, ya, kamu di Jogja. Jaga kesehatan kamu, jangan terlalu lelah. Jangan sakit lagi ya, An. Percaya sama aku. Aku akan selalu mencintai kamu. Selamanya. Sekarang aku tutup telepon ini, ya? I love you, my Arana, putri bulanku,” kata Aditya sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.
“I love you, too, Aditya, pangeran matahariku,” balas Arana menutup pembicaraan mereka.
Dan sekarang sudah lebih dari dua puluh hari sejak pembicaraan terakhir mereka di telepon, Aditya tidak mendengar suara Arana yang lembut itu. Aditya sangat merindukannya. Namun ada satu kejadian di Beijing ini yang membuat Aditya merasa gelisah. Sebuah kejadian yang membuat Aditya merasa sangat bersalah kepada Arana. Sangat bersalah.
Kejadian itu terjadi seminggu yang lalu, ketika mereka bertiga, Ia, Linda, dan Sandy, harus bekerja hingga larut malam di kantor mereka. Ya, akhirnya Sandy pun harus menyusul ia dan Linda berangkat ke Beijing, karena ternyata mereka berdua kewalahan jika hanya berdua mengurusi permasalahan kantor mereka di Beijing ini. Malam itu mereka bertiga dibantu beberapa staff mereka di kantor Beijing harus bekerja hingga larut malam, begitu banyaknya hal yang harus mereka diskusikan dan mereka putuskan malam itu, hingga mereka melupakan waktu makan malam mereka. Akhirnya setelah mereka menyelesaikan pekerjaan mereka dini hari itu, mereka bertiga merasa sangat kelaparan. Mereka pun akhirnya mencari makan di sepanjang perjalanan pulang ke hotel. Mereka akhirnya menemukan tempat makan yang cukup reprensentatif tempatnya. Mereka makan dengan lahap karena sangat kelaparan. Dan untuk merayakan keberhasilan mereka menangani salah satu masalah yang bisa dibilang paling sulit dari beberapa masalah yang harus mereka selesaikan di Beijing, Sandy memesan arak Cina yang terkenal itu sebagai minumannya. Entah berapa botol arak yang mereka habiskan, yang pasti Linda mulai meneracau tak jelas setelah menghabiskan botol keduanya, sementara Aditya pun mulai berkurang kesadarannya. Melihat kedua rekannya yang tampak mulai mabuk, Sandy dan beberapa rekan mereka lainnya langsung memutuskan untuk kembali ke hotel tempat mereka menginap selama di Beijing. Dibantu rekannya, Sandy memapah Linda, sedang Aditya dipapah oleh dua rekan yang lain. Karena letak kamar Aditya dan Sandy ada dua lantai di atas kamar Linda, maka akhirnya mereka memutuskan bersama-sama menempati kamar Linda untuk beristirahat malam itu. Linda yang telah berhasil dipapah Sandy, dibaringkan di atas tempat tidurnya. Sedangkan Aditya dibaringkan di atas sofa panjang yang ada di kamar itu, sementara Sandy dan Leon salah satu rekan mereka, menyandarkan tubuh mereka pada sofa-sofa single yang tersisa. Baru sekitar setengah jam Sandy memejamkan matanya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Segera diangkatnya ponsel tersebut. Dan ternyata panggilan di ponsel itu membuat Sandy dan Leon harus segera kembali ke kantor mereka. Sandy pada mulanya ragu meninggalkan Linda dan Aditya dalam satu kamar. Apalagi mereka dalam keadaan mabuk seperti ini. Namun Leon terus mengingatkan dirinya bahwa mereka harus segera kembali ke kantor. Akhirnya ditinggalkannya mereka berdua.


∞∞∞


Aditya membuka matanya pagi ini dengan semangat yang menggebu. Hari ini adalah hari terakhirnya di Beijing. Mereka bertiga akan kembali ke Indonesia sore nanti. Aditya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Arana. Arana yang meminta jeda dalam hubungan mereka, dan membuat Aditya harus menahan rindunya untuk sekedar mendengar suara lembut Arana.
Namun, ’kejadian pagi’ itu terus membayangi Aditya, membuatnya merasa gelisah dan bersalah. Kejadian di mana dia menemukan dirinya memeluk Linda yang terbaring di sampingnya pagi itu. Aditya berusaha mengingat-ingat bagaimana ia bisa terbangun dalam kondisi seperti itu. Yang Aditya ingat bahwa sebelumnya ia, bersama dengan Linda, Sandy dan beberapa rekan kantor mereka menikmati hidangan makan malam mereka yang terlambat sambil meminum arak. Aditya ingat setelah menghabiskan botolnya yang kedua mendadak ia merasa kepalanya pusing sekali. Aditya juga ingat bahwa Sandy dan Leon membaringkan tubuhnya di salah satu sofa panjang. Namun mengapa pagi itu ketika terbangun, ia bisa berada di atas tempat tidur bersama Linda. Dalam posisi memeluk pula.
Saat itu Aditya langsung bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di salah satu sofa yang ada. Diliriknya Linda yang masih tampak tertidur dengan pulas di atas pembaringan. Kemudian Aditya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Namun dia tetap tidak bisa mengingatnya. Aditya hanya ingat semalam ia bermimpi memeluk dan mencium bibir Arana dengan penuh kerinduan. Rasa ciuman itu bahkan masih bisa dirasakan Aditya pagi itu. Aditya meraba bibirnya. Apakah semalam tanpa dia sadari, dia mencium bibir Linda? Aahh.....Aditya mendesah perlahan. Ia menyesali dirinya yang tidak bisa menolak ajakan Sandy untuk meminum arak, padahal ia tahu bahwa dirinya tidak kuat minum minuman beralkohol. Sekarang bagaimana dia harus bersikap di depan Linda, jika memang tanpa ia sadari semalam dia mencium bibir Linda dan memeluknya di tempat tidur? Padahal ia pun tahu, bahwa Linda sudah lama menyukai dirinya.
“Aaah......” Aditya berteriak dalam hatinya sambil memukulkan tinjunya ke bantalan sofa.
Akhirnya dalam keadaan marah pada dirinya sendiri, Aditya keluar dari kamar Linda dan bergegas menuju kamarnya sendiri. Tadinya dia hendak membangunkan Linda sebelum kembali ke kamarnya. Namun diurungkannya niat itu. Dia masih belum siap menghadapi Linda.
Mengingat kejadian itu membuat batin Aditya menjadi tersiksa. Andai saja dia bisa menolak ajakan Sandy waktu itu. Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat. Padahal Aditya sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun pada Linda. Itu sebabnya sejak kejadian itu dia agak menjaga jarak dengan Linda. Aditya tidak ingin Linda menaruh harapan terlalu besar pada dirinya dan mengharapkan yang tidak-tidak.
“Hai, bro. Mau pulang kok malah melamun. Bukannya harusnya kamu senang, ya. Sebentar lagi kamu bisa bertemu dengan pacarmu itu,” kata Sandy sambil menepuk pundak Aditya yang sedang berdiri di depan jendela kamar hotel.
“Aish, San, ngagetin aja kamu,” jawab Aditya terkejut .
“Ah. Cuman ditepuk dikit aja kok kaget, lho. Mikirin apa to, kamu, Dit?”
“Ngga mikir apa-apa. Cuman deg-degaan aja mau ketemu ama Arana bentar lagi,” jawab Aditya sambil tersenyum.
“Halah, kamu nih. Yang ada di pikiranmu kok Aranaaa aja. Mbok sekali-sekali mikirin aku gitu loh,” kata Sandy sambil tertawa.
“Mikirin kamu? Kok sudi men, San,” balas Aditya.
“Udah. Ngga usah sok ngga perlu aku kamu, Dit. Hahahaha....” jawab Sandy. “Barang-barangmu udah selesai kamu packing belum? Kita langsung ke bandara nanti selepas kantor, jadi pagi ini kita langsung check out, Dit.”
“Udah, San. Udah beres semua.”
Dan sore itu ketika akhirnya pesawat meninggalkan Bandara Internasional Beijing menuju ke Jakarta, Aditya tidak hanya membawa rindunya yang mendalam pada Arana, tapi juga kegelisahannya atas kejadian pagi itu di kamar Linda.


∞ ∞ ∞


Aditya duduk menunggu di salah satu sudut kedai kopi di Kota Jogja. Malam ini dia dan Arana berjanji untuk bertemu. Sebenarnya Aditya ingin menjemput Arana di rumahnya, lalu bersama-sama berangkat menuju ke kedai kopi langganan mereka ini. Namun Arana menolak ajakan Aditya itu karena selepas jam sekolah ia harus menemani murid-murid ekskul fotografinya untuk hunting obyek foto, sehingga ia tidak tahu persis kapan ia sampai di rumah. Akhirnya Aditya mengalah dan memilih untuk menunggu Arana saja di kedai kopi langganan mereka.
Aditya memegang ponselnya dan menjawab beberapa pesan yang masuk di aplikasi WhatsAppnya. Di waktu-waktu ini sebenarnya pekerjaannnya bisa dibilang sangatlah banyak. Apalagi dia baru saja kembali dari Beijing untuk menyelesaikan masalah kantor cabang di sana, banyak laporan-laporan yang harus dia periksa. Namun ia sengaja menyempatkan diri untuk datang mengunjungi Arana di kota ini. Selain karena dorongan rindu yang begitu mendesak, ia pun ingin menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka beberapa waktu lalu itu. Itulah sebabnya akhir minggu ini ia mengunjungi Arana di Jogja.
Sambil menjawab pesan-pesan dan email yang ia terima, Aditya sesekali melihat ke arah pintu masuk kedai kopi ini, berharap menemukan sosok yang ia rindukan muncul di sana.
“Hai, Mas Adit,” tiba-tiba Aditya mendengar suara seorang perempuan memanggil namanya.
Aditya mengangkat wajahnya dan didapatinya Linda sedang duduk di depannya ambil tersenyum.
“Hai, Lin. Loh, ke Jogja juga?” jawab Aditya.
“Iya, Mas. Ada teman SMA yang nikah di Jogja. Jadi sekalian menikmati weekend di Jogja. Mas Adit sendirian di sini?” tanya Linda.
“Lagi nunggu Arana, Lin. Kamu sendirian?”
“Sama teman, Mas. Itu di sana,” jawab Linda sambil menunjuk ke kursi di sudut ruangan. “Mas, aku boleh bicara sebentar ngga sama Mas Adit? Ada yang mau aku tanyakan.”
“Hmmm... Ada masalah apa, Lin? Kenapa tidak bicara di kantor saja kalau itu urusan kantor?” jawab Aditya.
“Bukan masalah kantor, Mas. Masalah pribadi.”
“Ada masalah pribadi apa, ya, Lin? Apa ada hubungannya dengan saya?”
“Ada, Mas Adit. Boleh saya bicara?”
“Kalau memang ada hubungannya dengan saya, silakan.”
“Saya kok merasa Mas Adit seperti menghindari saya sejak kita pulang dari Beijing. Apakah ada sikap saya yang memuat Mas Adit tidak nyaman atau tidak suka? Saya perlu penjelasan dari Mas Adit. Karena sikap Mas Adit membuat saya merasa tidak nyaman, saya seperti mempunyai salah besar kepada Mas Adit.”
“Ah, masa sih. Saya kok merasa sikap saya tidak ada yang berubah, ya? Tapi, seandainya memang sikap saya membuat kamu tidak nyaman dalam menyelesaikan pekerjaan di kantor, ya, saya minta maaf.”
“Mas Adit ngga salah, kenapa harus minta maaf? Justru saya yang bertanya-tanya, apakah saya yang ada salah ke Mas Adit? Karena Mas Adit seperti menghindari bertemu dan berinteraksi langsung dengan saya. Bahkan ketika Masa Adit membutuhkan data tentang agen di Solo yang saya tangani, Mas Adit tidak memintanya langsung kepada saya, namun malah menanyakannya melalui Reni. Saya jadi merasa tidak nyaman, Mas.”
“Sebenarnya tidak ada apa-apa, Lin. Soal data agen di Solo, saya memang menanyakannya kepada Reni. Tapi saya rasa hal itu bukan masalah. Bukankah masalah agen di Solo yang menangani kamu dan Reni? Jadi tidak ada yang salah, kan, kalau saya memintanya ke Reni? Mungkin itu hanya perasaan kamu saja, Linda.”  
“Iya, Mas, memang masalah agen di Solo itu saya dan Reni yang menangani. Selama ini, sebelum kita berangkat ke Beijing, Mas Adit selalu menanyakan dan mendiskusikannya dengan saya. Tapi sepulang dari dinas di Beijing, Mas Adit lebih banyak mendiskusikan masalah agen Solo dengan Reni. Saya perlu penjelasan dari Mas Adit. Apakah semua ini karena kejadian di Beijing itu, Mas?”
“Kejadian di Beijing? Kejadian yang mana, ya?”
“Saya ngga tahu Mas lupa atau pura-pura lupa. Kejadian di kamar saya. Sewaktu kita pulang dari makan malam setelah berhasil menyelesaikan kasus salah satu agen kita di Beijing. Sewaktu kita sama-sama mabuk karena meninum arak terlalu banyak.”
Aditya tersentak. Aditya berusaha melupakan kejadian itu. Dia bahkan mengira Linda tidak tahu apa yang terjadi pagi itu, saat ia bangun dalam posisi memeluk Linda di atas tempat tidur. Karena ia ingat, saat dia keluar dari kamar Linda dengan diam-diam dalam keadaan marah pada diri sendiri, Linda masih terlihat tertidur dengan nyenyak.
“Mas Adit mungkin mengira saya tidak tahu dan masih tertidur ketika Mas Adit bangun tidur pagi itu di atas tempat tidur saya.”
“Tempat tidur siapa??” tanya Arana yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping meja mereka dengan wajah memerah. “Kamu tidur sama dia, Ditya?” tanya Arana sambil menunjukkan Linda yang sedang duduk di kursi tepat di samping tempat ia berdiri.
Aditya sangat terkejut mendengar suara Arana dan melihat sosok Arana dengan gaun batik sederhana yang sudah berdiri di sana. Jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Ia tidak menyangka Arana mendengar pembicaraannya dengan Linda.
“Ana, dengarkan penjelasanku dulu. Ini semua ngga seperti yang kamu pikirkan,” kata Aditya berusaha menjelaskan.
“Diam kamu, Ditya! Hei, Linda, tolong jawab pertanyaan saya. Apa yang kamu maksud dengan berkata Aditya bangun tidur di atas tempat tidur kamu? Kalian tidur bareng?” tanya Arana dengan tajam kepada Linda.
Sebelum Linda sempat menjawab pertanyaan Arana, Aditya langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Arana.
“Ana, tenang dulu. Duduklah dulu, akan kujelaskan semuanya,” kata Aditya sambil memegang kedua bahu Arana.
Arana menepis tangan Aditya dengan kasar. “Aku ngga tahu harus bicara apa sama kalian. Terutama sama kamu, Ditya! Ini jeda yang kamu maksud?? Intropeksi, hah?? Taik kucing!!” kata Arana sambil berlalu meninggalkan mereka.
Aditya berusaha mengejar Arana yang berjalan cepat keluar dari kedai kopi ini menuju ke tempat parkir.
“Ana, please. Ini semua ngga seperti yang kamu dengar. Aku dan Linda ngga ada hubungan apa-apa. Please, Arana,” kata Aditya sambil berusaha meraih tangan Arana.
“Ditya, aku udah capek! Aku.... Ah, sudahlah! Ternyata kamu sama saja!” jawab Arana sambil menepis tangan Aditya dan masuk ke dalam mobilnya.
“Arana. Dengarkan aku dulu. Arana!”
Arana pura-pura tidak mendengar panggilan Aditya. Ia menyalakan mesin mobilnya dan menancap gas. Arana sudah tidak peduli lagi dengan penjelasan dari Aditya. Hatinya yang begitu berbunga-bunga karena akan bertemu dengan Aditya kembali setelah satu bulan berpisah, kini bagaikan dihempaskan dengan kejam, ketika tanpa sengaja ia mendengar pembicaraan Aditya dengan Linda tadi. Arana membawa mobilnya sambil menangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia sama sekali tidak menyangka Aditya sekejam itu kepadanya. Ia sudah menyerahkan hatinya yang rapuh kepada Aditya untuk dijaga dan dicintai, namun kejadian barusan bukan saja membuat hatinya hancur, namun juga membuat jiwanya merepih.
“Why did you do, Ditya? Why?? Kenapaaaa??” jerit Arana dalam hatinya.
Sementara itu, Aditya hanya bisa termangu melihat Arana berlalu dengan mobil di depannya. Aditya benar-benar tidak menyangka momen pertemuannya dengan Arana akan berakhir seperti ini. ‘Aku harus mengejar Arana. Aku harus menjelaskan semuanya kepada Arana,’ pikirnya. Dengan setengah berlari ia menuju ke arah mobil dan berusaha menyusul Arana.
Sesampai di rumah Arana, dilihatnya mobil Arana tidak ada di sana. Aditya tiba-tiba saja merasa cemas. Ia pun bergegas turun dari mobilnya menuju ke rumah Arana. Sesampai di teras  diketuknya pintu rumah Arana. Tak lama kemudian, pintu terbuka, Ibu Arana ada di sana.
“Selamat malam, Tante, Arana ada?” tanya Aditya dengan sopan.
“Oh, Nak Aditya. Lho Ana bukannya akan menemuimu? Tadi pamit ke Ibu akan menemui Nak Ditya. Kalian belum bertemu?” jawab Ibu Arana keheranan.
“Iya, Tante. Kami memang berjanji akan bertemu malam ini. Makanya ini saya mau jemput Ana, ternyata Ana sudah berangkat sendiri ya, Tante? Kalau begitu biar saya susul saja, Tante. Takut Ana menunggu saya terlalu lama,” kata Aditya. Ia tidak mau membuat Ibu Arana merasa cemas, karenanya ia tidak mau menceritakan kejadian yang sesungguhnya. “Saya permisi, Tante,” lanjutnya.
“Baik, Nak Aditya. Hati-hati di jalan, ya?” jawab Ibu Arana.
Aditya berjalan menuju ke mobil dengan perasaan semakin gelisah. Jika Arana tidak pulang ke rumah, lalu ke manakah Arana? Di dalam mobilnya, Aditya berusaha menghubungi ponsel Arana. Awalnya terdengar nada sambung, namun kemudian panggilan terputus. Arana menolak panggilan darinya. Dicobanya sekali lagi namun yang terdengar adalah nada sibuk. Sepertinya Arana mematikan ponselnya.
“Kamu ke mana, Ana?” bisik Aditya perlahan.
Aditya benar-benar merasa putus asa. Tiba-tiba dia merasa sangat lelah. Direbahkankan kepala pada sandaran kursi mobilnya, ia memejamkan matanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Dia harus bisa menemui Arana dan menjelaskan semuanya sebelum dia bertugas ke Seoul bulan depan. Dia tidak ingin masalah ini berlarut-larut, dia sangat mencintai Arana dan tidak ingin melukai hati Arana yang rapuh.





------ bersambung ---------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai