Cerita Bersambung : Merajut Mimpi Bersamamu (Chapter 4)


Chapter 4. How Can I Fix This?


Arana duduk di teras rumah Seruni pagi ini. Ia memandang ke arah kebun mawar yang tumbuh dengan subur dan sedang berbunga di halaman mungil di depan rumah Seruni. Seruni memang gemar berkebun, ada banyak bunga yang ditanam Seruni di halaman rumahnya. Semua tampak terawat dengan baik. Namun yang menarik perhatian Arana pagi ini adalah deretan bunga mawar yang sedang mekar. Ada lima warna mawar di sana, merah, putih, kuning, merah jambu, dan biru. Indah sekali. Arana berjalan mendekati satu bunga mawar berwarna biru, warna kesukaannya. Diusapnya kelopak bunga mawar itu dengan lembut.
“Kamu memang bunga yang indah. Tapi tangkaimu berduri. Sama seperti cinta yang tampak indah, namun terkadang menyakitkan,” bisik Arana.
Arana berjalan  mengelilingi halaman yang mungil itu. Banyak bunga di sana. Di satu sudut tampak bunga anggrek berwana ungu sedang berbunga. Di sudut yang lain tampak gerombolan bunga melati yang juga sedang mekar. Bau harum bunga di halaman rumah ini membuat hati Arana yang gundah dapat sedikit terobati. Jiwanya merasa lebih tenang setelah menghirup aroma yang berbeda di rumah ini. Hari ini adalah Sabtu kelima ia menghindari bertemu dengan Aditya. Sejak peristiwa di kedai kopi itu, setiap hari Sabtu dan Minggu, Aditya selalu berkunjung ke Jogja dan berusaha menemuinya, namun Arana masih belum mau bertemu dengan Aditya. Setiap minggunya, pada hari Sabtu dan Minggu, Arana selalu memiliki alasan menghindar dari Aditya. Dari mulai acara di sekolahnya, pergi ke rumah tantenya di Solo, maupun bergiliran menginap di rumah para sahabat wanitanya. Dan rumah Seruni adalah yang paling sering ia singgahi. Bahkan telepon, sms, dan chat dari Aditya pun tak ada satupun yang Arana balas. Arana juga tahu, Aditya pun menghubungi Seruni untuk menanyakan tentang keadaan dirinya, namun seperti sudah mereka, ia dan Seruni, sepakati bahwa Arana tidak ingin berkabar apa pun dengan Aditya. Hati Arana masih belum bisa menerima kejadian yang terjadi ketika Aditya bertugas di Beijing itu. Entah mengapa, walau Arana sebenarnya bisa mempercayai Aditya sepenuhnya tak urung hatinya merasa sakit sekali membayangkan kejadian itu. Ya, cintanya yang begitu besar pada Aditya, membuat luka sekecil apapun yang ditorehkan oleh Aditya terasa begitu menyakitkan. Arana menghela napas panjang, tanpa ia sadari air matanya sudah menetes di pipinya yang mulai terlihat tirus itu. Sebenarnya, Arana pun merindukan kehadiran Aditya, sangat merindukannya. Arana merindukan setiap perhatian kecil yang selalu Aditya berikan untuknya. Sesederhana kecupan di punggung tangannya ketika mereka saling menggenggam, ataupun kecupan ringan di pelipisnya ketika Aditya merangkulnya. Arana merindukan semua itu. Namun rasa ego dan cemburunya, membuat ia masih mengeraskan hatinya untuk bertemu dengan Aditya.
“Mikirin Aditya lagi, Ra?” tanya Seruni yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang sambil membawa secangkir teh melati kesukaan Arana. “Ini minum dulu, mungkin bisa sedikit menenangkan hati kamu,” lanjut Seruni sambil menyerahkan mug bergambar tasmania itu kepada Arana.
“Terima kasih, Runi,” jawab Arana sambil menerima mug itu lalu menyesapnya perlahan. Dadanya merasakan kehangatan teh hangat itu yang mengalir dalam tubuhnya.
“Kita duduk di situ aja, ya, Ra,” ajak Seruni sambil menujuk sepasang kursi rotan yang ada di sudut terasnya.
Mereka pun lalu berjalan menuju ke kursi itu lalu duduk tanpa bersuara. Selama beberapa waktu mereka tenggelam dalam keheningan yang tercipta. Arana dan Seruni sibuk dengan pikiran mereka sendiri sambil sesekali meneguk minuman hangat mereka.
“Ara, siang ini aku berjanji akan menemui Aditya di Cafe Cinnamon,” kata Seruni memecahkan keheningan di antara mereka.
Arana terkejut mendengarnya. “Mau apa kalian bertemu? Membicarakan tentang aku?” tanyanya dengan sedikit emosi. “Runi, kamu udah janji ke aku, bahwa aku ngga mau berbagi kabar dengan Aditya. Hatiku masih sakit, Run.”
“Arana, mau sampai kapan kamu menghindari Aditya? Apa kamu tega membiarkan dia terganggu aktifitasnya karena memikirkan masalah kalian?” tanya Seruni sambil memandang Arana.
Arana menundukkan wajahnya. Dia pura-pura sibuk memainkan bibir mug dengan ujung jarinya.
“Aku belum siap, Runi. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan aku katakan ke dia kalau kita bertemu. Hatiku masih menolaknya. Hatiku masih sakit mengingat percakapan mereka,” jawab Arana lirih.
“Ara, aku paham perasaan kamu itu. Tapi sampai kapan? Aditya juga berhak memberikan penjelasannya ke kamu. Kamu sendiri pernah cerita, bahwa kamu percaya Aditya ngga akan berbuat macam-macam sama Linda, kan. Kenapa kamu tidak beri kesempatan Aditya untuk menjelaskan?” tanya Seruni.
“Entahlah, Runi. Sebenarnya aku justru takut, yang terjadi sesungguhnya bukan seperti yang aku percayai. Aku takut jika Aditya menjelaskan bahwa hal itu sungguh terjadi. Aku masih trauma dengan kejadian yang menimpa hubunganku dengan Langit dulu. Aku belum siap untuk merasakan rasa sakit itu lagi,” jawab Arana.
Dan tangis Arana pecah setelah ia menyelesaikan kalimatnya itu. Arana menangis tersedu, pundaknya berguncang, dan air mata mengalir dengan deras di pipinya. Seruni meletakkan mugnya pada meja di hadapan mereka, ia pun mengambil mug dari tangan Arana dan meletakkannya di tempat yang sama. Lalu dipeluknya Arana, dibiarkannya Arana melepaskan beban hatinya dalam pelukannya.
“Menangislah, Ara, jika itu bisa membuat hatimu lega. Menangislah. Aku tahu kamu selalu menahan tangismu dari kemarin. Menangislah,” bisik Seruni sambil membelai lembut punggung Arana.
Mendengar perkataan Seruni, tangis Arana bertambah hebat. Arana memang selalu menahan tangisnya selama ini. Bahkan ketika ia berada di kamarnya sendiri, Arana berusaha untuk menahan air matanya agar tidak luruh. Ia selalu berkata pada dirinya sendiri bahwa ia harus tegar. Namun hari ini, entah mengapa ia membiarkan dirinya melepaskan semua perasaan yang tertahan dalam batinnya. Hatinya terasa sangat nyeri. Rasa marah, rasa rindu, dan rasa cinta pada Aditya bercampur jadi satu dalam dadanya. Dan saat ini, Arana ingin melepaskan semua rasa yang bercampur aduk di dadanya itu. Seruni membiarkan Arana menangis hingga akhirnya hanya tersisa sedu sedan dan napas Arana yang tersengal.
“Udah, Ara, udah, napas kamu sampai sesak gitu,” kata Seruni sambil mengambil tisu dari kotak tisu yang tersedia di meja teras. “Hapus air mata kamu di pipi dan buang ingus kamu dulu, Ra,” lanjutnya.
Arana melakukan apa yang diminta oleh Seruni. Dihapusnya air mata dan ingus yang ada di wajahnya, lalu dikeluarkannya ingus yang menyumbat di hidungnya. Napasnya masih tersengal, namun dadanya mulai terasa lega, karena beban yang menghimpit di sana sedikit demi sedikit mulai ia bebaskan. Wajah Arana tampak sembab, matanya memerah dan sedikit bengkak, serta hidungnya memerah.
“Gimana, Ra? Udah merasa lebih lega?” tanya Seruni dengan lembut sambil mengusap punggung Arana.
Arana tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya. Seruni mengambil mug berisi teh yang ada di meja, lalu menyerahkannya kepada Arana.
“Minumlah dulu, Ara,” kata Seruni.
“Terima kasih, Runi,” jawab Arana sambil menerima mug itu. Kemudian Arana meminumnya sedikit, dan diletakkannya kembali mug itu ke atas meja.
“Kita bisa bicara sekarang, Ra?” tanya Seruni setelah melihat Arana meletakkan mug itu di atas meja.
Arana menganggukkan kepala, “Ya, Runi.”
“Jadi, aku bisa kan pergi menemui Aditya siang ini? Atau kamu mau ikut sekalian mungkin?” tanya Seruni.
“Iya, Run, pergilah menemui Aditya. Aku rasa mungkin memang sudah waktunya. Hm, pergi sendiri saja, ya, Run? Aku masih belum siap menemui Aditya, apalagi dengan wajah sembab seperti ini,” jawab Arana setelah menghela napas panjang. “Lagipula aku masih belum sanggup berbicara padanya, aku takut masih emosi jika berhadapan dengannya.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menemui Aditya seorang diri. Mudah-mudahan dengan begini masalah kalian bisa diselesaikan dengan baik. Aku tahu pasti sebenarnya dalam hati kalian masing-masing, kalian saling mencintai, kan?”
Arana menganggukkan kepalanya, walau hatinya masih ragu dengan perasaannya sendiri. Dia menghela napasnya lagi.
“Semoga, Run. Semoga,” jawabnya kemudian.


∞∞∞

Aditya tiba di Cafe Cinnamon dua puluh menit lebih awal dari waktu yang dijanjikannya dengan Seruni. Dia masuk ke dalam cafe itu dan mengambil tempat di sudut barat tepat menghadap ke pintu masuk. Dia memilih tempat itu agar Seruni tidak bingung mencarinya, karena bisa langsung melihat ke arahnya begitu masuk ke dalam. Cafe Cinnamon di kala siang memang tidak terlalu ramai, apalagi ini masih jam 11 kurang. Seorang pelayan mendekatinya sambil membawa daftar menu.
“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan sopan.
“Saya masih tunggu teman saya, Mas. Saya pesan minum dulu ya?” jawab Aditya. “Saya pesan lychee moctail aja, Mas. Menunya ditinggal di sini saja ya, Mas.”
Setelah pelayan itu meninggalkannya, Aditya membuka ponselnya untuk mengecek email-email yang masuk sekaligus melihat siapa tahu ada kabar dari Seruni.  Ternyata tidak ada kabar dari Seruni, namun ada beberapa email yang harus segera ia respon. Yah, ini memang akhir minggu, tetapi bukan berarti ini adalah waktu bersantai. Bagi Aditya bisa dibilang tidak ada hari untuk bersantai jika berhubungan dengan pekerjaannya. Setelah selesai membalas email-email penting, Aditya memandang layar muka ponselnya dengan penuh kerinduan. Di sana ada fotonya bersama Arana, yang mereka ambil sesaat sesudah mereka saling mengungkapkan perasaan mereka di pantai kala itu. Langit jingga yang menjadi latar belakang foto itu dan senyum manis Arana di sana semakin membuat ia rindu pada Arana. Tanpa disadarinya ia tersenyum memandang wajah Arana yang sedang tersenyum.
“Hai, Adit, senyum-senyum ada apa, nih?” kata Seruni yang sudah ada di depannya. Ia tidak datang sendiri, ada Jandro yang menemaninya.
“Ah, kamu udah datang, Seruni. Hai, Jan. Apa kabar?” jawab Aditya sambil berdiri lalu menjabat tangan sahabat-sahabat Arana, yang juga teman SMPnya dulu itu. “Silakan duduk. Pesen dulu aja, ya, biar nanti ngobrolnya enak,” lanjut Aditya sambil menyodorkan daftar menu kepada mereka berdua. Lalu ia memanggil pelayan yang berdiri di dekat meja kasir.
Setelah mereka masing-masing memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan, mereka pun saling berkabar.
“Gimana, Dit? Bisnis lancar?” tanya Jandro membuka percakapan dengan Aditya.
“Ya gitulah, Jan. Masih sibuk melanglang buana demi target terpenuhi,” kata Aditya sambil tertawa.
“Iya, sibuk melanglang buana, tapi dah jadi bos ya, kamu, Dit,” kata Seruni menimpali.
“Ah, bos apaan. Biasa ajalah,” jawab Aditya merendah. “Kamu sendiri gimana, Jan? Kudengar sekolah S2 lagi? Kali ini ambil Theologi, ya?”
“He...he...he... pasti Arana yang cerita, ya? Iya nih, Dit, dulu udah ambil master psikologi, tapi sekarang ambil lagi master theologi, panggilan jiwa, Dit,” kata Jandro.
Mendengar nama Arana disebut, Aditya teringat kembali tujuannya untuk bertemu dengan Seruni hari ini. Namun Aditya bingung harus memulai dari mana. Akhirnya Aditya memilih untuk menunggu saja. Mereka bertiga pun terlibat dalam pembicaraan yang ringan. Tak lama kemudian pesanan mereka datang, dan mereka pun menikmati makanan dan minuman yang sudah mereka pesan itu.
“Maaf, Runi, aku mau tanya soal Arana,” kata Aditya ketika kesempatan untuk bertanya itu datang.
“Ah, iya. Kita keasyikan ngobrol malah lupa tujuan kita semula,” jawab Seruni. “Baiklah, apa yang ingin kamu tahu tentang Arana?”
“Aku.... Ah, harus dari mana ya?” kata Aditya sedikit kebingungan. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Ada banyak informasi yang ingin ia ketahui, namun ia tidak tahu dari mana ia harus memulainya.
“Aditya, sepertinya kamu sendiri juga bingung, ya, apa yang mau kamu tanyakan, “ kata Jandro sambil menepuk pundak Aditya.
Aditya mengganggukkan kepalanya lalu menyesap minumannya. “Sebelum semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, aku mengira sudah mengenal Arana dengan baik. Aku merasa akan bisa mendampingi dia dan membahagiakan dia. Tapi, sikap Arana akhir-akhir ini sangat mudah tersinggung oleh hal-hal kecil, membuat aku jadi merasa tak tahu apa-apa tentang dia. Dia seperti pribadi yang lain, bukan Arana yang aku kenal,” kata Aditya kemudian.
“Iya, Adit. Akhir-akhir ini Arana memang agak sensitif. Kami para sahabatnya juga merasakan hal itu. Dia mudah tersinggung, mudah terpancing amarahnya, dan seperti kehilangan kepercayaan dirinya,” jelas Seruni perlahan. “Tapi kami masih bisa memakluminya, sih, Dit. Apalagi setelah semua kejadian yang dia alami. Kamu tentu tahu kan, tentang Langit, yang meninggalkan Arana setelah melamar Arana pada hari ulang tahunnya? Hanya karena Arana tidak akan bisa memberikan keturunan untuknya. Kamu tentunya sudah satu juga, kan, tentang handicap yang dimiliki oleh Arana, Dit? Bahwa Arana tidak mungkin bisa hamil dan melahirkan seorang anak untuk lelaki manapun yang akan menjadi suaminya?”
“Ya, Arana sudah bercerita tentang hal itu ke aku,” jawab Aditya. “Walau dia tidak menceritakan secara mendetail. Dan bagiku, hal itu bukan masalah, sih. Aku mencintai Arana sebagaimana dia adanya. Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang dialami Arana sebelum ia bertemu denganku?” tanya Aditya kepada Seruni dan Jandro.
“Jadi gini, saat kuliah Arana mengalami sakit pada organ reproduksinya, Dit. Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, ternyata rahimnya mengalami infeksi, ada tumor dan sekaligus ia menderita endemetriosis. Dokter sudah tidak bisa lagi hanya mengangkat tumor yang ada di dalam rahimnya. Apalagi ternyata tumor itu sudah semakin besar dan hampir menutupi rahimnya. Akhirnya demi keselamatan jiwa Arana, yang saat itu mengalami pendarahan hebat, dokter memutuskan untuk mengangkat rahimnya. Arana saat itu sebenarnya tidak mau melakukan operasi pengangkatan rahim itu, sebagai wanita yang belum menikah dan belum memiliki keturunan tentunya pengangkatan rahim itu bagai mengambil sebagian hidupnya. Tapi kondisi Arana saat itu terus menurun, apalagi pendarahan yang ia alami semakin parah, ia nyaris koma saat itu. Akhirnya, orang tua Arana selaku wali Arana memutuskan untuk melakukan operasi itu. Tentunya mereka lebih memilih menyelamatkan nyawa Arana.”
“Lalu apakah yang terjadi pada Arana sesudah operasi itu dilakukan?” tanya Aditya.
“Arana marah sekali kepada kedua orang tuanya. Dia merasa orangtuanya telah membuatnya menjadi orang cacat seumur hidupnya. Yah, kami juga bisa mengerti mengapa Arana bersikap seperti itu, Dit. Wanita tanpa rahim tentunya akan merasa tidak sempurna. Arana sempat akan bunuh diri setelah pulang dari rumah sakit,  ia meminum puluhan butir obat tidur dan obat penghilang rasa sakit yang diberikan dokter kepadanya. Beruntung sekali orang tuanya mengetahui hal itu, dan dia bisa diselamatkan. Sejak itu Arana berubah, Dit. Pemurung, pesimis, dan apatis. Dia sudah menganggap bahwa di dunia ini tidak akan ada cinta untuknya. Dia merasa tidak akan ada laki-laki yang mau memperistri dirinya,” cerita Seruni.
“Lalu kemudian ia bertemu dengan Langit. Awalnya Arana hanya menganggap Langit sebagai teman biasa saja. Mereka dekat karena sama-sama sebagai aktifis di gereja tempat Arana melayani. Karena terlalu sering bersama, akhirnya timbul rasa di antara mereka. Arana pada mulanya tidak menghiraukan perasaannya yang juga suka dan sayang dengan Langit. Dia merasa bahwa ia tidak layak dicintai karena kekurangan yang ia miliki. Arana menghindari Langit. Saat itu Langit mempertanyakan kenapa Arana menolak cintanya. Tapi tentu saja Arana tidak mungkin menceritakan alasan yang sebenarnya. Tapi Langit yang kala itu benar-benar jatuh cinta kepada Arana, terus memberikan perhatiannya kepada Arana. Bahkan walaupun diusir berkali-kali ketika berkunjung ke rumah Arana, Langit tetap tidak menyerah. Arana pun akhirnya luluh. Mereka berpacaran. Ketika hubungan mereka sudah berjalan hampir satu tahun, tepat ketika Arana berulang tahun, Langit melamar Arana. Arana yang sangat terkejut karena dilamar secara tiba-tiba, menceritakan handicap yang dimilikinya itu ke Langit. Pastilah Langit terkejut, siapalah lelaki di dunia ini yang mau menikahi seseorang yang tak bisa memberinya anak?”
“Tapi aku mau, Run,” potong Aditya dengan cepat.
“Iya, aku tahu,” jawab Seruni dengan sedikit kesal karena ceritanya dipotong oleh Aditya. “Mau aku lanjutin ceritanya nggak, nih?”
“Maaf, Run. Iya. Silakan dilanjutkan,” jawab Aditya.
“Langit terkejut, tapi saat itu dia berkata bahwa ia bisa menerima keadaan Arana. Tapi Arana tetap meminta Langit itu membicarakan hal itu dengan keluarganya. For your information, ya, Dit. Langit berasal dari suku yang mengharuskan ia memiliki istri yang bisa melahirkan anak buat dia sebagai penerus marga. Setelah kejadian lamaran itu, Langit mulai menjauhi Arana. Walaupun Arana menyadari kekurangan yang dia miliki, tapi tetap saja sikap Langit yang menjauhinya itu membuat ia terluka. Dan luka itu menjadi semakin dalam, ketika ternyata dalam waktu tak lama Langit menjalin hubungan dengan rekan kerjanya, bahkan akan menikahinya. Arana lalu menutup pintu hatinya untuk laki-laki mana pun. Bahkan Jandro yang diam-diam naksir Arana dan bersedia memperistri Arana lengkap dengan segala kekurangannya pun ditolak oleh Arana. Ya, kan, Jan?” tanya Seruni pada Jandro yang mendengarkan ceritanya sambil menikmati capucino keduanya.
“Ah, ngga usah bahas masalah aku ditolak Arana deh, Run, ntar malah bikin masalah baru lagi. Tenang, Dit, aku udah buang kok rasa cintaku ke Arana,” kata Jandro.
“Tenang, bro. Soal itu aku udah dengar sendiri dari Arana, kok,” jawab Aditya sambil tersenyum.   
“Aku lanjutin, ya, Dit? Setelah kejadian diangkatnya rahim Arana dan kisahnya dengan Langit, seperti yang kamu tahu, Arana selalu menghindari bertemu dengan orang-orang yang pernah mengenalnya bahkan menolak menghadiri acara reuni sekolah. Ia tidak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan klise yang kerap ditanyakan saat reuni. Tahu, kan, pertanyaan apa? Ya, seperti udah nikah? Anak berapa? Ya, hal-hal seperti itulah. Makanya dia tidak pernah mau datang jika kami-kami ini ajak dia ke acara reuni. Itu sebabnya kami, sahabat-sahabatnya ini, heran ketika akhirnya dia mau bertemu denganmu kala itu. Ya, kami tahu dulu ketika masa sekolah, ia memang pernah suka sama kamu. Tapi kami ngga nyangka ia mau bertemu denganmu saat itu. Tapi, yah, mungkin memang jalan ceritanya harus seperti itu, ya. Dan kejadian selanjutnya tentang dia kamu tahu sendirilah,” kata Seruni mengakhiri ceritanya.
“Dit, terus terang, nih, ya, ketika Arana bercerita bahwa ia menerima cinta kamu, kami-kami ini sempat terkejut sekaligus bahagia. Terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa Arana mau menerima cinta seseorang lagi, namun kami bahagia karena akhirnya dia mau membuka hatinya untuk cinta yang baru. Dia yang begitu apatis dengan cinta, mau menerima cinta lagi. Tapi, ketika kemudian kami tahu bahwa kamulah orangnya, kami-kami ini bisa memakluminya, sih,” kata Jandro. “Eh, ini bukan karena aku cemburu loh, Dit?” katanya lagi sambil tersenyum.
“Memang kenapa, Jan, kalau akhirnya aku yang dipilih oleh Arana?” tanya Aditya keheranan.
“Arana itu kan dari SMP udah suka ama kamu, Dit. Cuman dia malu aja mau ungkapin rasa sukanya ke kamu. Tapi bukannya dulu kamu juga suka sama dia, ya, Dit?” jelas Jandro.
“Iya sih, Jan. Lalu mengapa sekarang ini Arana tidak mau menemuiku, Run? Kudengar dari orangtua Arana, ia menginap di rumahmu jika akhir pekan, ya?” tanya Aditya kepada Seruni.
“Ya, dia memang menginap di rumahku. Dit, hati Arana itu rapuh. Walau dia mau membuka hati untuk menerima cintamu, Arana tetaplah Arana yang selalu merasa sebagai wanita yang tidak lengkap, tidak sempurna. Dari cerita Arana, aku tahu kalian selalu intens berkomunikasi setelah kalian memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Walau beberapa kali, kalau kudengar dari ceritanya, kamu sempat ‘menghilang’  karena sesuatu, tapi akhirnya tetap memberi kabar dan penjelasan walau terlambat. Tapi kejadian ketika malam tahun baru itu ketika kamu ‘menghilang’ terlalu lama tanpa kabar, hal itu membuat hatinya jadi ragu akan cinta kamu. Dia cemas sekali  waktu itu, Dit. Dia takut terjadi sesuatu pada dirimu. Apalagi kamu sempat jatuh sakit sebelumnya, kan? Kurasa dia juga takut kehilangan kamu. Dia takut kamu akan bersikap seperti Langit yang menjauhi dirinya tanpa kata perpisahan. Ditambah ternyata kamu bertugas ke Cina dengan Linda. Lalu kejadian di kedai kopi itu, ketika Arana tanpa sengaja mendengar pembicaraan kalian. Arana semakin merasa terpuruk, dan kepercayaan dirinya kepada kamu menjadi sedikit luntur, Dit. Tapi, kalau menurutku sih, Arana tidak percaya pada dirinya sendiri,” kata Seruni.
“Lalu, apa yang sebaiknya aku lakukan, Runi? Aku benar-benar bingung menghadapi sikap dia saat ini. Aku ingin memaksa bertemu atau menghubungi dia, tapi aku takut dia akan semakin marah padaku. Aku sangat menyayangi dia, Run,” kata Aditya perlahan. Dia benar-benar merasa putus asa.
“Temui dia saja, Dit. Dan sebaiknya kamu jelaskan sendiri masalah yang sesungguhnya terjadi. Aku rasa itu jalan yang terbaik. Aku akan bicara dengannya malam ini. Aku akan membujuknya supaya dia mau menemuimu. Besok pagi, sepulang dari gereja temuilah dia di rumahku, karena malam ini dia tidur di rumahku. Tapi apapun keputusan yang diambil oleh Arana, kumohon kamu menerimanya, ya, Dit. Karena walaupun Arana adalah sahabatku, tapi apa yang ada di dalam hatinya adalah miliknya sendiri, aku tidak bisa memaksa dia untuk memaafkan kamu atau tidak. Bagaimana?” tanya Seruni.
“Baiklah, Run. Besok setelah pukul 11 siang aku akan menemui Arana di rumahmu. Kalian sudah ada di rumah pada jam itu, kan?” jawab Aditya.
“Sudah, Dit. Besok kami bertugas di ibadah pukul 6 dan pukul 8, biasanya kami sudah ada di rumah pada jam itu,” jawab Seruni. “Ini alamat rumahku,” lanjutnya sambil menyerahkan kartu namanya kepada Aditya.
Mereka bertiga masih sempat berbincang sebentar sebelum akhirnya Aditya harus berpamitan lebih dulu karena ada janji dengan koleganya. Dan mereka pun berpisah dengan janji bertemu esok hari.

∞∞∞

Siang ini sepulang dari ibadah Minggu di gereja, Arana duduk dengan gelisah di kamar Seruni. Semalam Seruni membujuknya untuk menemui Aditya siang ini. Sebenarnya Arana masih belum siap untuk bertemu dan berbincang dengan Aditya, namun Seruni terus memaksanya.
“Mau sampai kapan kamu menghindar, Ara?” tanya Seruni semalam. “Apa kamu ngga kasihan dengan Aditya? Kemarin dia terlihat begitu bingung karena sikap kamu. Please, bicaralah padanya besok.”
“Tapi, Runi, aku ngga tahu harus bicara apa sama dia? Aku belum siap,” jawab Arana.
“Katakan saja sejujurnya apa yang kamu rasakan. Kamu harus siap, Arana. Kamu tidak bisa membiarkan masalah ini semakin larut. Kalian berdua sebenarnya terganggu karena masalah ini, kan? Kamu jadi tidak bisa berkonsentrasi mengajar, demikian juga Adit. Temui dia, ya, Ra?” bujuk Seruni.
“Baiklah, Runi. Besok aku akan menemuinya,” akhirnya Arana mengikuti saran Seruni untuk bertemu dengan Aditya setelah Seruni membeberkan argumentasi yang panjang.
Dan siang ini Arana merasa gelisah karena akan bertemu dengan Aditya lagi setelah sebulan lebih mereka tidak saling berkomunikasi. Bahkan chat-chat Aditya selalu ia hapus tanpa mau membacanya. Entah, Arana sendiri tidak tahu mengapa ia bersikap seperti itu.
“Ara, keluarlah, Aditya sudah menunggumu di teras,” kata Seruni dari balik pintu.
“Iya, Run, aku keluar sekarang,” jawab Arana dengan jantung berdegub kencang.
Arana keluar dari kamar Seruni, lalu berjalan menuju ke teras rumah. Di sana Arana melihat Aditya yang duduk pada salah satu kursi rotan di sana. Aditya mengenakan kemeja lengan panjang berwarna krem dengan lengan yang digulung sesiku dan celana panjang hitam. Aditya masih tampak mempesona, walau terlihat sedikit kurus. Ketika melihat Arana, Aditya langsung bangkit dari kursinya.
“Arana, kamu tampak lebih kurus sekarang,” kata Aditya yang sebenarnya ingin sekali memeluk tubuh kurus Arana, yang siang itu mengenakan kaus putih dan celana blue jeans selutut.
“Hai, Dit, kamu juga kurusan sekarang. Duduklah, Ditya,” jawab Arana sambil duduk di salah satu kursi di sana.
“Ya, An,” jawab Aditya sambil duduk kembali.
“Bicaralah. Kata Seruni kamu mau bicara sama aku,” kata Arana
“Ana, maafkan aku seandainya aku menyakiti hatimu,” kata Aditya. “Tapi rasanya ngga enak kalau kita bicara di sini. Bisakah kita bicara di tempat lain saja?” tanya Aditya.
“Kita mau bicara di mana, Ditya?” tanya Arana.
“Kita ke Bumi Langit di Imogiri saja, yuk? Atau kamu mau ke hutan pinus? Atau ke pantai?” tanya Aditya sambil  menawarkan tempat-tempat favorit Arana.
“Pantai terlalu jauh, Ditya. Baiklah, kita ke Bumi Langit saja. Sebentar, ya, aku tukar pakaian dan berpamitan dengan Seruni dan orang tuanya dulu,” kata Arana sambil berdiri lalu masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian Arana keluar mengenakan celana jeans berwarna hitam dan kaos biru muda.
“Kami pergi dulu, ya, Runi,” pamit Aditya kepada Seruni yang tadi mengikuti Arana keluar untuk menemui Aditya.
“Ya, silakan. Semoga semua masalah kalian cepat selesai, ya?” kata Seruni.
Sesampainya di Bumi Langit, Aditya dan Arana menuju meja favorit mereka di pinggir sehingga mereka bisa menikmati pemandangan yang indah dari sana. Arana memesan es kombucha dan roti sorgum dengan selai murberi, sedangkan Aditya memesan es markisa dan mi lethek goreng. Mereka berdua memang menyukai tempat ini, selain karena bisa menikmati pemandangan yang indah, makanan yang disajikan di tempat ini semuanya dari bahan organik dan dihasilkan dari kebun dan peternakan sendiri. Tempat ini buka dari pukul 8 pagi dan last order pada pukul 4 sore.
“Arana, apakah kamu masih marah denganku?” tanya Aditya memulai pembicaraan mereka.
“Entahlah, Ditya. Aku sendiri bahkan tak mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan,” jawab Arana sambil meminum es kombucha kesukaannya.
“Ana, sebenarnya aku sama sekali tidak ada hubungan apa-apa dengan Linda. Kamu tentunya tahu, bahwa aku hanya mencintai kamu, kan,” kata Aditya sambil berusaha menggenggam jemari Arana di atas meja.
“Entahlah, Dit. Aku benar-benar nggak tahu aku harus jawab apa. Jujur, aku sayang sekali sama kamu, aku ngga mau kehilangan kamu. Tapi kejadian kemarin itu membuatku berpikir, apakah aku memang layak menerima cinta kamu. Apakah aku memang berhak cemburu padamu?” jawab Arana sambil menarik tangannya yang digenggam oleh Aditya.
Aditya hendak berkata sesuatu, ketika pelayan Bumi Langit datang membawa  makanan mereka. Mereka pun menikmati makanan yang mereka pesan, dan menunda sejenak pembicaraan mereka.
“Ana, kamu berhak cemburu, karena kamu kekasihku. Dan tentu saja kamu berhak menerima cintaku, kenapa kamu harus bertanya seperti itu, An? Apakah kamu tidak percaya dengan ketulusan cintaku? Baiklah sebelum kamu menjawab, aku akan menceritakan kejadian sesungguhnya yang terjadi di Beijing waktu, dan kenapa Linda sampai bertanya tentang hal itu seperti yang kamu dengar,” kata Aditya setelah mereka selesai menikmati makanan mereka.
Aditya lalu menceritakan kejadian pada malam itu di Beijing dengan detail. Ia juga menceritakan bahwa malam itu dia bermimpi tentang Arana karena sangat merindukannya dan mencium Arana dalam mimpinya.
“Aku mabuk waktu itu, Ana. Aku bahkan tidak sadar kenapa aku bisa ada di atas tempat tidur Linda. Tapi percayalah tidak terjadi apa-apa saat itu. Kami masih berpakaian lengkap ketika aku terbangun. Dan aku langsung meninggalkan kamar Linda, ketika itu Linda masih tertidur dengan lelap. Aku bahkan tak mengetahui bahwa ia ternyata tahu aku ada di tempat tidur bersama dengannya. Sejak kejadian di kedai kopi malam itu, aku sudah tidak pernah bicara urusan pribadi lagi dengannya. Kalaupun kami harus berbicara, yang kami bicarakan adalah masalah pekerjaan, karena biar bagaimana dia adalah timku. Percayalah, Ana, aku hanya mencintai kamu saja,” kata Aditya.
“Jadi, kamu mencium dan memeluk Linda, Dit” tanya Arana sambil menahan rasa sakit di hatinya yang muncul dengan tiba-tiba mendengar penjelasan Aditya.
“Aku tak tahu, Arana. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku tidak sadar apa yang terjadi waktu itu. Tapi aku berani jamin tidak terjadi yang lebih dari itu,” jawab Aditya.
Mereka sama-sama terdiam. Mereka seperti berdialog dengan diri mereka masing-masing. Berusaha mencari jalan terbaik untuk masalah mereka ini. Arana yang mencari tahu ketetapan hatinya, menyusuri kedalaman hatinya dan mengais sisa-sisa rasa percaya diri yang ada dalam hatinya, karena menyadari dirinya yang sudah tak sempurna. Sedangkan Aditya, sibuk dengan pikirannya karena ia takut kehilangan Arana lagi, jika semasa sekolah dulu ia tidak berjuang untuk cintanya kepada Arana, maka kali ini ia tidak mau lagi menyia-nyiakan cinta Arana yang sudah dimilikinya. Aditya hanya ingin Arana bahagia karena memiliki cintanya.
“Aditya,” kata Arana memecah kebisuan di antara mereka. “Kasih aku waktu lagi, ya? Rasanya aku masih perlu waktu untuk meyakinkan diriku sendiri.”
“Ana, keyakinan seperti apalagi yang harus aku berikan ke kamu? Kemarin Seruni sudah menceritakan tentang semua yang terjadi padamu. Aku bisa mengerti kenapa kamu ngga mau menceritakan semua hal itu ke aku. Aku bisa merasakan bagaimana menderitanya kamu, Ana. Dan sama seperti apa yang dulu aku sampaikan ke kamu di pantai itu, bahwa aku menerima kamu, apa adanya kamu. Lalu keyakinan seperti apa lagi yang kamu perlukan?” tanya Aditya.
“Aku tidak meragukan cintamu ke aku, Dit. Aku justru tidak yakin dengan diriku sendiri. Kamu tahu aku sudah tidak sempurna sebagai wanita, tapi aku ingin mencintaimu dengan sempurna, Dit. Tanpa ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Keraguan yang tercipta karena perasaanku sendiri. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku, bahwa aku memang layak untuk menerima cintamu yang sempurna itu. Kamu mau kan, kasih aku waktu?” jawab Arana.
“Ana, harus bagaimana lagi aku memperbaiki kesalahan yang kulakukan ke kamu? An, sebenarnya minggu depan aku sudah harus berangkat bertugas ke Seoul. Perusahaan kami akan membuka pasar untuk produk kami di sana. Aku akan berada di Seoul selama tiga sampai enam bulan. Sewaktu aku berniat menemui hari ini, sesungguhnya aku berharap masalah kita bisa selesai hari ini, sehingga aku bisa berangkat ke Seoul dengan hati tenang. Tapi ternyata?” kata Aditya sambil menghela napas panjang.
“Ditya. Kamu sama sekali ngga salah apa-apa. Aku tahu ini berat buat kamu, buat aku juga. Tapi aku ingin merajut mimpi yang sempurna dengan cinta yang sempurna bersamamu. Cinta yang utuh tanpa keraguan. Karena itu beri aku waktu. Jika memang kamu akan bertugas ke Seoul, aku akan menunggumu di sini. Menunggu sambil mencari kepercayaan diriku yang mungkin terbenam dalam lubuk hatiku,” kata Arana.
“Baiklah, Ana. Jika memang itu keinginan hati kamu. Aku akan memberimu waktu. Tapi, please, jangan putuskan komunikasi kita, ya? Ijinkan aku menelponmu, satu kali seminggu pun tak apa, asalkan aku bisa mendengar suaramu. Atau bolehkah aku mengirimimu email?” tawar Aditya.
“Baiklah, Ditya. Aku setuju. Beri aku waktu untuk berpikir, dan aku memberimu kesempatan untuk menelponku atau mengirimiku email satu kali seminggu selama kamu ada di Seoul,” jawab Arana.
Mereka akhirnya membuat kesepakatan itu. Dan ketika mereka melangkah keluar, terdengar lagu yang mengalun lembut seakan mengiringi kepergian mereka dari Bumi Langit.
Beri cinta waktu
  Untuk memahami
  Untuk meyakini
  Bila esok yang kan terjadi
  Semua indah yang terjalani”

            (Beri Cinta Waktu – Maliq and D’Essetial)




----- bersambung ------





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai