Cerita Bersambung : Merajut Mimpi Bersamamu (Chapter 1)

Chapter 1.  Where Are You?

          Arana mondar-mandir dari rumah ke teras belakang rumahnya sambil membawa wadah berisi sosis, udang, dan cumi yang baru saja diambilnya dari lemari pendingan di dalam dapurnya. Sementara para sahabatnya yang berkumpul di teras belakang, ada yang sedang menyiapkan alat pemanggang ataupun mulai menyiapkan bumbu-bumbu untuk membakar ikan dan seafood lainnya. Ya, malam ini adalah malam tahun baru. Sepulangnya dari gereja ia beserta beberapa sahabat karibnya memang merencanakan akan melewatkan malam pergantian tahun sambil makan-makan di rumahnya. Kebetulan Tania, salah seorang karibnya yang tinggal di Penysylvania, USA, datang berkunjung di kotanya. Sambil membumbui cumi di dalam wadah, Arana sesekali melihat ke ponselnya lalu menghela napasnya.
          “Kenapa, Ra? Kok menghela napas mulu?” tanya Devan, sahabatnya yang sedang menyiapkan alat pemanggang.
          “Ah, ngga apa-apa kok, Van” jawab Arana sambil meletakkan ponselnya.
          “Ditya?” tanya Tania sambil mendekatinya dan merangkulnya. “Udah, ngga usah kamu pikirin deh, sapa tau dia juga lagi sibuk ama teman-temannya kaya kita gini.”
          “Ra, udahlah, malam ini kan malam kita kumpul-kumpul lagi ama Tania. Sementara, udah lupain dulu Adityamu itu. Ngga usah khawatir yang berlebihanlah,” kata Jonathan sambil menghampirinya. “Dia pasti baik-baik aja, kok.”
          “Iya, iya deh.... Malam ini aku konsentrasi ama kalian semua, deh, “ jawab Arana sambil tersenyum walau sebenarnya dalam hatinya ia masih gundah. Sejak tadi siang dia sulit menghubungi Aditya. Chat whatsapp yang dia kirim diterima oleh Aditya, namun tanda centang dua berwarna biru yang menandakan bahwa chat itu dibaca oleh Aditya tidak juga dilihatnya.
          “Dia pasti baik-baik saja, Ara,” kata Seruni sambil menepuk pundaknya. “Percayalah,” katanya lagi sambil tersenyum dan mengelus punggung Arana.
          Arana membalas senyum Seruni sambil menganggukkan kepala. Seruni adalah sahabat yang paling mengerti dirinya. Hanya dengan melihat raut wajah Arana saja, Seruni sudah tahu bahwa ada beban pikiran dalam hati Arana. Namun Seruni tidak pernah memaksa Arana untuk bercerita tentang beban pikirannya,Seruni tahu betul sifat Arana yang tidak pernah berbagi beban pada orang lain selama ia masih bisa menanggungnya sendiri. Jika nanti pada akhirnya Arana menceritakan bebannya, itu berarti Arana sudah tidak sanggup menanggung sendiri dan dia butuh orang lain untuk mendengarkan ceritanya. Dan orang itu biasanya adalah Seruni atau Jandro. Kedua orang inilah yang paling dekat dengan dirinya dari ketujuh sahabat karibnya.
          “Jandro jadi datang ngga, Ra?” tanya Jonathan sambil mulai menusukkan udang dalam tusukan sate.
          “Ngga tau, Jo, tadi sih dia whatsapp bilang mau datang tapi agak telat,” jawab Arana. “Tugas gereja dulu katanya.”
          “Oh, gitu. Rajin banget tugas ya, dia,” jawab Jonathan.
          “Yaiyalah, dia kan ambil master Theologi, Jo. Lagian emang cita-cita dia kan jadi pendeta,” kata Devan menimpali.
          Mereka berlima lalu berbincang dalam suasana yang akrab sambil tetap mengerjakan persiapan masak memasak. Sesekali mereka menggoda Devan yang masih menjomblo hingga sekarang. Devan sedari dulu memang sering menjadi bahan becandaan kami bertujuh. Di samping karena memang anaknya yang lucu, ia pun salah seorang yang tidak pernah marah jika kami mengejeknya. Devan juga satu-satunya dari kami bertujuh yang belum pernah pacaran dari jaman masih sekolah hingga sekarang. Kejar karir dalihnya, jika kami semua menanyakan keputusannya untuk tetap menjadi single hingga usianya yang mendekati tiga puluh lima tahun saat ini.
          Tiba-tiba terdengar suara dari arah ruang tamu, suara yang kami semua kenal dengan baik.
          “Halooooo, semuaaaaa.......” kata seorang wanita berambut pendek mengenakan kaos berwarna putih dan celana jeans warna biru.
          “Aaakk, Larassss........,” sambut Tania sambil berlari menyambut temannya yang baru datang itu.
          “Taniaaa! Aaak......aku kangeeen!” jawab Laras sambil memeluk Tania yang menyambutnya.
          Kami semua lalu berhenti dari kesibukan yang kami lakukan, lalu mendekati Laras.
          “Hai, Ras. Lama amat datangnya,” kata Arana sambil mencium pipi Laras.
          “Macet, Ra. Lalu lintas Jogja kampret banget sekarang,” jawab Laras sambil memeluk Arana.
          “Ha ha ha ha.... Baru sadar, Ras?” kata Jonathan sambil tertawa. “Bukannya kamu yang emang kalo berangkat suka mepet, ya?”
          “Ciyeee..... Si Jo. Tau banget kayanya tentang Laras, yaa..” goda Devan sambil menepuk pundak Laras. “Hai, mbak bro....piye kabare?” lanjutnya.
          “Halah, kowe ki! Rak sah nggodani aku. Biyen kowe yo naksir aku, to(1),” jawab Laras sambil mencubit lengan Devan yang menggodanya.
          “Naksir kowe, Ras? Koyo rak ono cah wedhok liyane wae(2),” balas Devan.
          Laras dan Devan memang sahabat Arana yang paling sering beradu mulut. Ada saja yang mereka ributkan jika bertemu. Seperti saat ini, Devan menggoda Jonathan yang terlihat begitu mengenal sifat Laras yang selalu tergesa jika akan menghadiri suatu acara. Laras selalu bersiap-siap di saat-saat terakhir. Jonathan memang mengenal sifat Laras, sangat mengenal malah. Karena dulu mereka memang pernah menjalin hubungan khusus, walau hubungan itu tidak berlangsung lama. Entah karena alasan apa mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan khusus mereka, dan memilih untuk tetap dekat saja sebagai sahabat. Mungkin mereka merasa lebih nyaman sebagai sahabat dibandingkan sebagai pasangan kekasih. Namun sejarah bahwa mereka pernah menjadi pasangan kekasih selalu saja menjadi bahan ledekan Devan untuk Laras dan Jonathan, seperti saat ini.
          “Halah, rak ngaku ik. Sopo sing mbiyen nelponi mbengi-mbengi mung arep takon wes maem po durung. Arep bobok wes ndonga po durung. Haaaiissshhh.....padakno aku pacare po, ditakoni koyo ngono. Hahahaha(3),” balas Laras sambil tertawa.
          “Wes, wes, rak sah mbuka kenangan lama. Yo, yo, anggep wae mbiyen aku khilaf ngesir kowe, Ras(4),” jawab Devan sambil tertawa.
          “Udah, ah, kalian ini kalo ngga berantem ngga puas kayanya, ya?” kata Seruni melerai adut mulut antara Devan dan Laras. “Yuk, Ras. Kamu bantuin kita aja, biar persiapan kita cepat selesai.”
          Arana, Laras, Tania, Jonathan, Devan, dan Seruni kembali ke teras belakang rumah dan melanjutkan kesibukan mereka mempersiapkan acara barbecue yang akan mereka lakukan untuk menyambut malam tahun baru di rumah Arana, sekaligus reuni dengan Tania yang baru kali ini bisa kembali ke Indonesia untuk liburan akhir tahun. Arana kembali mengecek ponselnya. Masih belum ada tanda-tanda kabar dari Aditya. Arana kembali menghela napasnya. Dia merasa ada yang hilang. Seruni mendekatinya dan mengusap punggungnya sambil tersenyum. Arana membalas senyum itu, dan menganggungkan kepalanya perlahan. Arana harus bisa melupakan ketidakhadiran Aditya kali itu. Arana tidak mau momen berkumpulnya dengan sahabat-sahabatnya terganggu hanya karena Aditya tidak memberinya kabar. Aranapun berusaha menikmati momen kebersamaannya dengan para sahabatnya yang sangat jarang terjadi itu. Apalagi kedatangan Tania yang secara khusus dari belahan benua lain, membuat Arana semakin ingin menghargai kebersamaan mereka itu.
          Tepat jam sepuluh malam kala mereka berenam  mulai memanggang daging, ikan, dan seafood yang sudah dipersiapkan, Jandro datang.
          “Hai, semuaa. Maaf ya, aku telat,” katanya sambil bergabung dengan keenam sahabatnya. “Hai, Tania. Lama tak bertemu. Gimana kabarmu?” lanjutkan sambil merangkul Tania yang sedang sibuk memanggang daging.
          “Hai, Jandro. Kabar baik. Maaf, gak bisa salaman, ya, ntar dagingnya gosong,” jawab Tania sambil tetap melanjutkan aktivitasnya.
          Jandro menghampiri sahabatnya satu per satu dan merangkul mereka. Sahabatnya membalas dengan penuh rasa sayang.
          “Ara, kok kelihatan sedih gitu, sih?” tanya Jandro sambil merangkul Arana yang sedang mengoles bumbu pada ikan yang dibakar oleh Devan.
          “Ah, masa sih, Jan. Kamu ngarang kali, ah. Aku baik-baik aja, kok,” jawab Arana sambil berusaha tertawa walau hatinya masih saja gundah karena Aditya.
          “Aditya lagi, Ra? Ngga bisa dihubungi lagi dianya?” tanya Jandro kepada Arana. “Mau aku yang nelponin dia, Ra?” tanyanya lagi.
          “Ngga usah, Jan. Akunya aja yang mungkin terlalu khawatir. Aku yakin Ditya baik-baik aja, kok,” jawab Arana.
          Arana berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja agar para sahabatnya tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam hatinya. Arana tahu bahwa sebenarnya ketujuh sahabatnya itu tahu apa isinya hatinya sekarang, terutama Seruni dan Jandro yang paling dekat dengan dirinya, namun mereka berusaha untuk tidak terlalu mencampuri urusan pribadi Arana. Karena mereka yakin, apabila memang Arana membutuhkan bantuan atau saran mereka, Arana pasti akan memberitahukannya.
          Tepat mendekati saat-saat pergantian tahun, hidangan mereka sudah hampir semuanya siap. Ikan bakar, daging panggang, sosis panggang, sate cumi dan udang, juga salad sayur dan buah, serta sambal bikinan Laras yang terkenal sedap, sudah terhidang semua di atas meja besar di teras belakang rumah Arana. Malam ini orang tua Arana dan kedua adiknya memang tidak ada di rumah. Tahun baru kali ini mereka berkumpul di rumah Kak Ashwina di Jakarta, setelah kemarin Natal mereka berkumpul di rumah orang tua Arana di Jogja. Arana menolak untuk ikut bergabung karena kedatangan Tania ke Jogja. Orang tua Arana mengijinkan putrinya untuk tetap tinggal di Jogja, apalagi merekapun mengenal Tania dengan baik, sehingga mereka tidak merasa was was meninggalkan putri kesayangannya di rumah sendirian. Ditambah Bu Sarwo, asisten rumah tangga mereka ditemani oleh suaminya bersedia untuk menginap di rumah, selama orangtua Arana bepergian ke Jakarta.
          Mereka bertujuh menikmati hidangan di atas meja sambil mengobrol dengan santai. Sesekali terdengar adu mulut antara Laras dan Devan yang menambah meriah suasana. Tepat pukul 12 malam, kala dentang lonceng jam dinding di ruang tengah rumah Arana berdentang, mereka bertujuh saling bergandengan tangan dan menundukkan kepala. Mereka berdoa untuk datangnya tahun yang baru. Seperti biasa, doa dipimpin oleh Jandro. Mereka berdoa secara universal, karena Laras dan Devan adalah seorang Muslim, sedang kelima lainnya beragama Kristiani. Walaupun mereka berbeda agama, namun persahabatan mereka tetap kokoh dan mereka saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain. Selesai berdoa, mereka saling bersalaman dan mengucapkan selamat tahun baru satu dengan lainnya.  Setelah itu, Devan mengeluarkan kembang api yang sudah disiapkannya untuk menyambut tahun yang baru ini. Kembang api dinyalakan, dan ketujuh orang sahabat itu kembali bersukacita menyambut tahun yang baru.
          “Sayang, kamu ngga ada di sini, Ditya,” bisik Arana dalam hati.
          Seruni menggenggam tangan Arana, lalu berkata, “Sudahlah, Ra. Tetap bersyukur, kita masih bisa berkumpul bersama, walau mungkin bagimu tak lengkap tanpa Aditya. Tapi kami semua tetap ada kan buatmu.”
          Arana menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian bergabung dengan teman-temannya yang lain. Sambil menyalakan kembang api, mereka berseru kegirangan dan tertawa dengan bahagia. Setelah kembang api yang disiapkan oleh Devan abis mereka nyalakan, mereka kembali berkumpul di meja makan dan mulai menghabiskan hidangan yang tersisa.
          “Teman-teman, terima kasih, ya, untuk malam ini,” kata Tania sambil mengangkat gelas berisi minuman ringan. “Aku tidak menyesal malam ini kembali ke negara tercinta, meski harus jauh dari orang tua yang masih tinggal di Penysylvania. Namun berkumpul bersama kalian adalah hadiah terindah di tahun baru ini. Aku bersulang untuk persahabatan kita.”
          “Aku juga berterima kasih untuk kalian semua,” kata Jonathan sambil ikut mengangkat gelas. “Malam ini mungkin aku akan melaluinya sendirian jika kalian tidak ada bersamaku saat ini. Kalian tahu bagaimana kondisi keluargaku saat ini, kan. Keluargaku yang sudah berpisah, dan masing-masing hidup dengan keluarga baru mereka. Sementara aku yang memutuskan untuk hidup sendiri, merasa sangat beruntung bisa memiliki kalian. Aku bersulang untuk persahabatan kita.”
          “Aku juga mau bicara,” kata Seruni ikut mengangkat gelas. “Aku pun berterima kasih bisa melewatkan malam tahun baru ini bersama dengan kalian semua. Aku sayang dan sangat mencintai kalian semua. Aku memang bisa merayakan tahun baru bersama keluarga di rumah, namun merayakan tahun baru bersama kalian yang juga adalah keluargaku sama menyenangkannya. Aku juga bersulang untuk persahabatan kita.”
          Laras mengangkat gelasnya lalu berbicara, “Aku juga senang dan bahagia sekali bisa melewatkan malam tahun baru bersama kalian. Kalian udah seperti saudara kandung bagiku. Kalian tidak sungkan memarahiku jika aku berbuat salah, dan selalu mendukungku jika aku melakukan yang benar. Tanpa kalian aku pasti akan merasa sendirian, karena aku adalah anak tunggal. Karena kalianlah aku bisa merasakan kasih sayang saudara laki-laki dan saudara perempuan. Aku tidak pernah menyesal mengenal kalian. Aku mencintai kalian. Aku juga bersulang untuk persahabatan kita.”
          “Aku juga ingin mengatakan sesuatu,” kata Devan sambil mengangkat gelasnya. “Kalian sudah mengubahku menjadi orang yang lebih baik. Jika sebelum mengenal kalian dulu, aku adalah anak yang nakal dan sering membantah kedua orang tuaku, namun kehadiran kalian membuatku menyadari bahwa ada kasih sayang yang tulus di dunia ini. Jika sebelumnya aku tidak percaya kata kasih, namun berteman dan bersahabat dengan kalian, membuat aku tahu, mengenal, dan merasakan apa itu kasih. Apa itu sayang. Mungkin kadang becandaku kelewatan, dan kalian mungkin merasa kesal. Namun percayalah, bahwa akupun mengasihi kalian dengan sepenuh hatiku. Kalian bagai saudara laki-laki dan perempuan yang aku impikan. Terima kasih, sahabatku. Aku juga bersulang untuk persahabatan kita.”
          “Aku juga boleh bicara, ya?” tanya Jandro sambil ikut mengangkat gelasnya. “Sebelumnya maaf, jika tadi aku datang terlambat. Kalian semua pasti tahulah apa alasannya. Sama seperti kalian semua, aku pun sangat menyayangi dan mengasihi kalian. Walau kita mungkin ada yang berbeda keyakinan, tapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada persahabatan kita. Bahkan, dari situ kita bisa belajar apa itu toleransi. Dan bertemu dengan kalian adalah hal terindah yang aku rasakan. Persahabatan kita yang sudah berjalan dua puluh satu tahun, tetap teguh meski usia kita kini menua. Kita yang dulu masih remaja, memutuskan untuk mengikat jalinan persahabatan bisa saling menjaga jalinan itu, hingga persahabatan kita bisa berjalan selama dua puluh satu tahun. Prestasi yang membanggakan, bukan? Semoga kita tetap terus bisa bersahabat sampai maut memisahkan.”
          Arana tampak melamun, hingga Jandro menepuk punggung telapak tangannya, “Ara ngga mau bilang apa-apa, nih?”
          Arana tampak terkejut, lalu diapun mengangkat gelas minumnya dan berkata, “Teman-teman, terima kasih malam ini sudah mau datang berkumpul di rumahku. Menemaniku melewati malam tahun baru bersama. Terima kasih juga buat Tania, yang udah jauh-jauh datang dari Amerika sana, dan mau menginap di rumahku. Aku juga minta maaf, karena ketidakhadiran Aditya di sini, membuat kalian memutuskan untuk tidak mengajak pasangan kalian masing-masing karena tidak mau aku bersedih. Walau sesungguhnya ngga apa juga kok, kalo kalian mau bawa. Iya, kecuali kamu Devan,” katanya sambil tersenyum kepada Devan yang mengacungkan jarinya sambil menggeleng.
          “Yang pasti aku berterima kasih karena kalian semua sudah membuat aku mengerti apa itu mengasihi tanpa jeda dan tanpa pamrih,” lanjut Arana. “Aku bersyukur memiliki kalian sebagai sahabatku. Semoga persahabatan kita tetap kekal selamanya sampai maut memisahkan kita. Aku juga ingin bersulang untuk persahabatan kita.”
          Mereka bertujuh lalu bersulang. Mereka yang lahir dari latar belakang yang berbeda, keyakinan yang mungkin tak sama, sifat yang tak mirip, namun memiliki satu kesamaan, yaitu mereka saling mengasihi satu sama lain. Kasih yang tak berpamrih, kasih yang tulus, kasih persahabatan yang tak akan pernah pupus dimakan waktu.
          Mereka bertujuh akhirnya memutuskan untuk bermalam di rumah Arana, karena terlalu lelah melewatkan malam tahun baru. Setelah bersulang lewat tengah malam tadi. Mereka masih melanjutkan mengobrol sambil melepas rindu. Hingga kemudian satu persatu sudah tak sanggup lagi menahan kantuk dan merekapun pergi tidur.

∞∞∞
          Arana bangkit dari tempat tidurnya, dilihatnya jam weker di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 7.35. Ah, ternyata Arana hanya sanggup terlelap selama 3 jam saja. Arana berdoa terlebih dahulu sebelum dia berjalan keluar dari kamarnya. Di sampingnya Tania tampak masih tertidur dengan pulas. Arana keluar dari kamarnya dengan perlahan tanpa menimbulkan suara karena takut membangunkan Tania. Di luar dilihatnya Bu Sarwo dan Mbak Tini, asisten rumah tangganya dibantu oleh Pak Sarwo sedang sibuk membereskan peralatan mereka semalam. Karena terlalu lelah, mereka memang tak sempat membereskannya.
          “Selamat pagi, Bu Sarwo, Pak Sarwo, Mbak Tini,” kata Arana. “Maafkan kami, ya, kami tidak sempat membereskannya semalam.”
          “Ngga apa, Mbak Ana. Kami juga paham, pasti Mbak dan teman-teman kelelahan. Apalagi Mbak dan teman-teman menyiapkan sendiri semuanya. Sekarang biarlah kami yang membereskannya,” jawab Bu Sarwo.
          “Iya deh, Bu. Oiya, selamat tahun baru yang untuk kalian,” kata Arana. “Saya mau ke teras dulu, ya, Bu.”
          “Mbak Ana, mau disiapkan sarapan apa?” tanya Bu Sarwo kembali.
          “Ngga usah repot-repot, Bu Sarwo. Nanti biar kami menyiapkan sendiri saja. Atau kami bisa mencari makan di luar. Lagi pula teman-teman pasti masih lama tuh tidurnya. Bangun-bangun palingan udah waktu makan siang nanti,” kata Arana sambil tersenyum. “Saya ke depan dulu ya, Bu?”
          Arana membuka pintu depan rumahnya. Di luar langit tampak mendung, walau waktu sudah hampir pukul delapan pagi. Arana duduk di kursi terasnya. Dia memandang ke halaman rumahnya, nampak embun yang masih tersisa ada di dedaunan. Jalanan masih tampak lengang, mungkin sebagian penghuni perumahan ini masih terlelap di rumahnya setelah semalam ikut merayakan malam pergantian tahun dengan keluarganya atau teman-temannya. Arana menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu dilihatkan layar ponselnya. Belum ada tanda-tanda Aditya membalas pesannya. Arana menghela napas panjang. Tidak biasanya Aditya seperti ini. Aditya selalu memberinya kabar seandainya ada kegiatan yang menyebabkan dia tidak sempat membalas pesan-pesannya, sehingga Arana tidak merasa cemas. Sesungguhnya Arana ingin sekali bisa melewati malam pergantian tahun dengan Aditya. Apalagi ini adalah malam pergantian tahun pertama mereka, setelah mereka memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Dua puluh satu tahun bukan waktu yang sebentar bagi Arana untuk menunggu kehadiran Aditya kembali. Apalagi sejak kisahnya dengan Langit, membuat Arana menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk kedatangan cinta yang baru. Hanya dengan Adityalah, Arana bisa yakin menyerahkan hatinya yang telah rapuh untuk kembali dicintai.  
Bagi Arana sesungguhnya perayaan pergantian tahun bukanlah sesuatu yang istimewa. Tahun hanyalah kumpulan waktu yang dituangkan dalam selembar atau beberapa lembar kertas. Kumpulan waktu yang telah disepakati lamanya, hingga digunakan sebagai penanda laju waktu yang berjalan. Bagi Arana hari ini adalah hari Jumat biasa. Tak ada yang berbeda. Yang membedakan hanyalah adanya perayaan pergantian hari semalam, karena menandakan kumpulan waktu yang lama sudah usai, dan kini kumpulan waktu yang baru menunggu untuk dijalani. Tidak ada yang istimewa memang. Namun kehadiran Aditya seharusnya akan semakin menyempurnakan Arana untuk masuk dalam kumpulan waktu yang baru itu. Arana ingin Aditya ada. Tapi kenyataannya Aditya tak ada, bahkan di mana keberadaannyapun Arana tak tahu.
          Arana kembali menghela napas, “Ditya, kamu di mana? Bahkan ucapan selamat tahun barukupun tak sempat kau baca. Kamu di mana, Ditya? Apakah kamu pergi bersama kumpulan waktu yang telah usai?” kata Arana dalam hatinya. “Begitu sibuknyakah kamu, hingga mengabarkan keberadaanmupun kamu tak sempat?”
Tanpa Arana sadari, air matanya luruh membasahi pipinya. Arana sebenarnya tidak ingin menangis. Tidak seharusnya tahun yang baru diawali dengan sebuah tangisan. Tapi Arana sudah tak sanggup lagi menahan rasa gundah yang ada di hatinya. Arana hanya ingin tahu, di manakah Aditya?
          Terdengar pintu terbuka, Jandro tampak keluar dari sana dengan tampang masih sedikit mengantuk.
          “Kenapa Ara? Menangis lagi? Aditya lagi?” tanyanya sambil duduk di kursi di samping Arana.
          Arana menghapus air matanya, “Engga. Kok udah bangun, Jan? Mau aku buatin sarapan?” tanya Arana sambil bangkit dari duduknya.
          “Udah ngga usah. Duduk aja,” jawab Jandro. “Mau cerita mungkin?”
          Arana menggeleng. Dia belum ingin berbagi beban di hatinya, walau dengan Jandro, sahabatnya, sekalipun. Kali ini dia ingin menyimpan sendiri gundahnya.
         


--------bersambung-----------



Keterangan :
(1)       Ah, kamu ini! Ngga usah nggodain aku. Dulu kamu juga naksir aku, kan.
(2)       Naksir kamu, Ras? Kaya ngga ada anak perempuan lain aja.
(3)       Ah, ngga ngaku. Sapa yang dulu menelpon malam-malam cuma ingin tanya sudah makan atau belum. Mau tidur, sudah berdoa atau belum. Haiiish...emangnya aku ini pacarnya apa ditanyain kaya gitu. Hahahaha.
(4)       Udah, udah, ngga usah buka kenangan lama. Iya, iya, anggap aja aku dulu khilaf naksir kamu, Ras.
         
         
         

         

          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai