Cerita Bersambung : Merajut Mimpi Bersamamu (Chapter 1)
Chapter 1. Where Are You?
Arana mondar-mandir dari rumah ke
teras belakang rumahnya sambil membawa wadah berisi sosis, udang, dan cumi yang
baru saja diambilnya dari lemari pendingan di dalam dapurnya. Sementara para
sahabatnya yang berkumpul di teras belakang, ada yang sedang menyiapkan alat
pemanggang ataupun mulai menyiapkan bumbu-bumbu untuk membakar ikan dan seafood
lainnya. Ya, malam ini adalah malam tahun baru. Sepulangnya dari gereja ia
beserta beberapa sahabat karibnya memang merencanakan akan melewatkan malam
pergantian tahun sambil makan-makan di rumahnya. Kebetulan Tania, salah seorang
karibnya yang tinggal di Penysylvania, USA, datang berkunjung di kotanya.
Sambil membumbui cumi di dalam wadah, Arana sesekali melihat ke ponselnya lalu
menghela napasnya.
“Kenapa, Ra? Kok menghela napas mulu?”
tanya Devan, sahabatnya yang sedang menyiapkan alat pemanggang.
“Ah, ngga apa-apa kok, Van” jawab
Arana sambil meletakkan ponselnya.
“Ditya?” tanya Tania sambil
mendekatinya dan merangkulnya. “Udah, ngga usah kamu pikirin deh, sapa tau dia
juga lagi sibuk ama teman-temannya kaya kita gini.”
“Ra, udahlah, malam ini kan malam kita
kumpul-kumpul lagi ama Tania. Sementara, udah lupain dulu Adityamu itu. Ngga
usah khawatir yang berlebihanlah,” kata Jonathan sambil menghampirinya. “Dia
pasti baik-baik aja, kok.”
“Iya, iya deh.... Malam ini aku
konsentrasi ama kalian semua, deh, “ jawab Arana sambil tersenyum walau
sebenarnya dalam hatinya ia masih gundah. Sejak tadi siang dia sulit
menghubungi Aditya. Chat whatsapp yang dia kirim diterima oleh Aditya, namun
tanda centang dua berwarna biru yang menandakan bahwa chat itu dibaca oleh
Aditya tidak juga dilihatnya.
“Dia pasti baik-baik saja, Ara,” kata
Seruni sambil menepuk pundaknya. “Percayalah,” katanya lagi sambil tersenyum
dan mengelus punggung Arana.
Arana membalas senyum Seruni sambil
menganggukkan kepala. Seruni adalah sahabat yang paling mengerti dirinya. Hanya
dengan melihat raut wajah Arana saja, Seruni sudah tahu bahwa ada beban pikiran
dalam hati Arana. Namun Seruni tidak pernah memaksa Arana untuk bercerita tentang
beban pikirannya,Seruni tahu betul sifat Arana yang tidak pernah berbagi beban
pada orang lain selama ia masih bisa menanggungnya sendiri. Jika nanti pada
akhirnya Arana menceritakan bebannya, itu berarti Arana sudah tidak sanggup
menanggung sendiri dan dia butuh orang lain untuk mendengarkan ceritanya. Dan
orang itu biasanya adalah Seruni atau Jandro. Kedua orang inilah yang paling
dekat dengan dirinya dari ketujuh sahabat karibnya.
“Jandro jadi datang ngga, Ra?” tanya
Jonathan sambil mulai menusukkan udang dalam tusukan sate.
“Ngga tau, Jo, tadi sih dia whatsapp
bilang mau datang tapi agak telat,” jawab Arana. “Tugas gereja dulu katanya.”
“Oh, gitu. Rajin banget tugas ya,
dia,” jawab Jonathan.
“Yaiyalah, dia kan ambil master
Theologi, Jo. Lagian emang cita-cita dia kan jadi pendeta,” kata Devan menimpali.
Mereka berlima lalu berbincang dalam
suasana yang akrab sambil tetap mengerjakan persiapan masak memasak. Sesekali
mereka menggoda Devan yang masih menjomblo hingga sekarang. Devan sedari dulu
memang sering menjadi bahan becandaan kami bertujuh. Di samping karena memang
anaknya yang lucu, ia pun salah seorang yang tidak pernah marah jika kami
mengejeknya. Devan juga satu-satunya dari kami bertujuh yang belum pernah
pacaran dari jaman masih sekolah hingga sekarang. Kejar karir dalihnya, jika
kami semua menanyakan keputusannya untuk tetap menjadi single hingga usianya
yang mendekati tiga puluh lima tahun saat ini.
Tiba-tiba terdengar suara dari arah
ruang tamu, suara yang kami semua kenal dengan baik.
“Halooooo, semuaaaaa.......” kata
seorang wanita berambut pendek mengenakan kaos berwarna putih dan celana jeans
warna biru.
“Aaakk, Larassss........,” sambut
Tania sambil berlari menyambut temannya yang baru datang itu.
“Taniaaa! Aaak......aku kangeeen!”
jawab Laras sambil memeluk Tania yang menyambutnya.
Kami semua lalu berhenti dari
kesibukan yang kami lakukan, lalu mendekati Laras.
“Hai, Ras. Lama amat datangnya,” kata
Arana sambil mencium pipi Laras.
“Macet, Ra. Lalu lintas Jogja kampret
banget sekarang,” jawab Laras sambil memeluk Arana.
“Ha ha ha ha.... Baru sadar, Ras?”
kata Jonathan sambil tertawa. “Bukannya kamu yang emang kalo berangkat suka
mepet, ya?”
“Ciyeee..... Si Jo. Tau banget kayanya
tentang Laras, yaa..” goda Devan sambil menepuk pundak Laras. “Hai, mbak bro....piye
kabare?” lanjutnya.
“Halah,
kowe ki! Rak sah nggodani aku. Biyen kowe yo naksir aku, to(1),”
jawab Laras sambil mencubit lengan Devan yang menggodanya.
“Naksir
kowe, Ras? Koyo rak ono cah wedhok liyane wae(2),” balas Devan.
Laras dan Devan memang sahabat Arana
yang paling sering beradu mulut. Ada saja yang mereka ributkan jika bertemu.
Seperti saat ini, Devan menggoda Jonathan yang terlihat begitu mengenal sifat
Laras yang selalu tergesa jika akan menghadiri suatu acara. Laras selalu bersiap-siap
di saat-saat terakhir. Jonathan memang mengenal sifat Laras, sangat
mengenal malah. Karena dulu mereka memang pernah menjalin hubungan khusus,
walau hubungan itu tidak berlangsung lama. Entah karena alasan apa mereka
akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan khusus mereka, dan memilih untuk
tetap dekat saja sebagai sahabat. Mungkin mereka merasa lebih nyaman sebagai
sahabat dibandingkan sebagai pasangan kekasih. Namun sejarah bahwa mereka
pernah menjadi pasangan kekasih selalu saja menjadi bahan ledekan Devan untuk
Laras dan Jonathan, seperti saat ini.
“Halah,
rak ngaku ik. Sopo sing mbiyen nelponi mbengi-mbengi mung arep takon wes maem po
durung. Arep bobok wes ndonga po durung. Haaaiissshhh.....padakno aku pacare
po, ditakoni koyo ngono. Hahahaha(3),” balas Laras sambil
tertawa.
“Wes,
wes, rak sah mbuka kenangan lama. Yo, yo, anggep wae mbiyen aku khilaf ngesir
kowe, Ras(4),” jawab Devan sambil tertawa.
“Udah, ah, kalian ini kalo ngga
berantem ngga puas kayanya, ya?” kata Seruni melerai adut mulut antara Devan
dan Laras. “Yuk, Ras. Kamu bantuin kita aja, biar persiapan kita cepat selesai.”
Arana, Laras, Tania, Jonathan, Devan,
dan Seruni kembali ke teras belakang rumah dan melanjutkan kesibukan mereka
mempersiapkan acara barbecue yang
akan mereka lakukan untuk menyambut malam tahun baru di rumah Arana, sekaligus
reuni dengan Tania yang baru kali ini bisa kembali ke Indonesia untuk liburan
akhir tahun. Arana kembali mengecek ponselnya. Masih belum ada tanda-tanda
kabar dari Aditya. Arana kembali menghela napasnya. Dia merasa ada yang hilang.
Seruni mendekatinya dan mengusap punggungnya sambil tersenyum. Arana membalas
senyum itu, dan menganggungkan kepalanya perlahan. Arana harus bisa melupakan
ketidakhadiran Aditya kali itu. Arana tidak mau momen berkumpulnya dengan
sahabat-sahabatnya terganggu hanya karena Aditya tidak memberinya kabar. Aranapun
berusaha menikmati momen kebersamaannya dengan para sahabatnya yang sangat
jarang terjadi itu. Apalagi kedatangan Tania yang secara khusus dari belahan
benua lain, membuat Arana semakin ingin menghargai kebersamaan mereka itu.
Tepat jam sepuluh malam kala mereka
berenam mulai memanggang daging, ikan,
dan seafood yang sudah dipersiapkan, Jandro datang.
“Hai, semuaa. Maaf ya, aku telat,”
katanya sambil bergabung dengan keenam sahabatnya. “Hai, Tania. Lama tak
bertemu. Gimana kabarmu?” lanjutkan sambil merangkul Tania yang sedang sibuk
memanggang daging.
“Hai, Jandro. Kabar baik. Maaf, gak
bisa salaman, ya, ntar dagingnya gosong,” jawab Tania sambil tetap melanjutkan
aktivitasnya.
Jandro menghampiri sahabatnya satu per
satu dan merangkul mereka. Sahabatnya membalas dengan penuh rasa sayang.
“Ara, kok kelihatan sedih gitu, sih?”
tanya Jandro sambil merangkul Arana yang sedang mengoles bumbu pada ikan yang
dibakar oleh Devan.
“Ah, masa sih, Jan. Kamu ngarang kali,
ah. Aku baik-baik aja, kok,” jawab Arana sambil berusaha tertawa walau hatinya
masih saja gundah karena Aditya.
“Aditya lagi, Ra? Ngga bisa dihubungi
lagi dianya?” tanya Jandro kepada Arana. “Mau aku yang nelponin dia, Ra?”
tanyanya lagi.
“Ngga usah, Jan. Akunya aja yang
mungkin terlalu khawatir. Aku yakin Ditya baik-baik aja, kok,” jawab Arana.
Arana berusaha untuk bersikap
biasa-biasa saja agar para sahabatnya tidak mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi dalam hatinya. Arana tahu bahwa sebenarnya ketujuh sahabatnya itu tahu
apa isinya hatinya sekarang, terutama Seruni dan Jandro yang paling dekat
dengan dirinya, namun mereka berusaha untuk tidak terlalu mencampuri urusan
pribadi Arana. Karena mereka yakin, apabila memang Arana membutuhkan bantuan
atau saran mereka, Arana pasti akan memberitahukannya.
Tepat mendekati saat-saat pergantian
tahun, hidangan mereka sudah hampir semuanya siap. Ikan bakar, daging panggang,
sosis panggang, sate cumi dan udang, juga salad sayur dan buah, serta sambal
bikinan Laras yang terkenal sedap, sudah terhidang semua di atas meja besar di
teras belakang rumah Arana. Malam ini orang tua Arana dan kedua adiknya memang
tidak ada di rumah. Tahun baru kali ini mereka berkumpul di rumah Kak Ashwina
di Jakarta, setelah kemarin Natal mereka berkumpul di rumah orang tua Arana di
Jogja. Arana menolak untuk ikut bergabung karena kedatangan Tania ke Jogja.
Orang tua Arana mengijinkan putrinya untuk tetap tinggal di Jogja, apalagi
merekapun mengenal Tania dengan baik, sehingga mereka tidak merasa was was
meninggalkan putri kesayangannya di rumah sendirian. Ditambah Bu Sarwo, asisten
rumah tangga mereka ditemani oleh suaminya bersedia untuk menginap di rumah,
selama orangtua Arana bepergian ke Jakarta.
Mereka bertujuh menikmati hidangan di
atas meja sambil mengobrol dengan santai. Sesekali terdengar adu mulut antara
Laras dan Devan yang menambah meriah suasana. Tepat pukul 12 malam, kala
dentang lonceng jam dinding di ruang tengah rumah Arana berdentang, mereka
bertujuh saling bergandengan tangan dan menundukkan kepala. Mereka berdoa untuk
datangnya tahun yang baru. Seperti biasa, doa dipimpin oleh Jandro. Mereka
berdoa secara universal, karena Laras dan Devan adalah seorang Muslim, sedang
kelima lainnya beragama Kristiani. Walaupun mereka berbeda agama, namun
persahabatan mereka tetap kokoh dan mereka saling menyayangi dan mengasihi satu
sama lain. Selesai berdoa, mereka saling bersalaman dan mengucapkan selamat
tahun baru satu dengan lainnya. Setelah
itu, Devan mengeluarkan kembang api yang sudah disiapkannya untuk menyambut
tahun yang baru ini. Kembang api dinyalakan, dan ketujuh orang sahabat itu
kembali bersukacita menyambut tahun yang baru.
“Sayang, kamu ngga ada di sini, Ditya,”
bisik Arana dalam hati.
Seruni menggenggam tangan Arana, lalu
berkata, “Sudahlah, Ra. Tetap bersyukur, kita masih bisa berkumpul bersama,
walau mungkin bagimu tak lengkap tanpa Aditya. Tapi kami semua tetap ada kan
buatmu.”
Arana menganggukkan kepalanya. Mereka
kemudian bergabung dengan teman-temannya yang lain. Sambil menyalakan kembang
api, mereka berseru kegirangan dan tertawa dengan bahagia. Setelah kembang api
yang disiapkan oleh Devan abis mereka nyalakan, mereka kembali berkumpul di
meja makan dan mulai menghabiskan hidangan yang tersisa.
“Teman-teman, terima kasih, ya, untuk
malam ini,” kata Tania sambil mengangkat gelas berisi minuman ringan. “Aku
tidak menyesal malam ini kembali ke negara tercinta, meski harus jauh dari
orang tua yang masih tinggal di Penysylvania. Namun berkumpul bersama kalian
adalah hadiah terindah di tahun baru ini. Aku bersulang untuk persahabatan
kita.”
“Aku juga berterima kasih untuk kalian
semua,” kata Jonathan sambil ikut mengangkat gelas. “Malam ini mungkin aku akan
melaluinya sendirian jika kalian tidak ada bersamaku saat ini. Kalian tahu
bagaimana kondisi keluargaku saat ini, kan. Keluargaku yang sudah berpisah, dan
masing-masing hidup dengan keluarga baru mereka. Sementara aku yang memutuskan
untuk hidup sendiri, merasa sangat beruntung bisa memiliki kalian. Aku
bersulang untuk persahabatan kita.”
“Aku juga mau bicara,” kata Seruni
ikut mengangkat gelas. “Aku pun berterima kasih bisa melewatkan malam tahun
baru ini bersama dengan kalian semua. Aku sayang dan sangat mencintai kalian
semua. Aku memang bisa merayakan tahun baru bersama keluarga di rumah, namun
merayakan tahun baru bersama kalian yang juga adalah keluargaku sama
menyenangkannya. Aku juga bersulang untuk persahabatan kita.”
Laras mengangkat gelasnya lalu
berbicara, “Aku juga senang dan bahagia sekali bisa melewatkan malam tahun baru
bersama kalian. Kalian udah seperti saudara kandung bagiku. Kalian tidak
sungkan memarahiku jika aku berbuat salah, dan selalu mendukungku jika aku
melakukan yang benar. Tanpa kalian aku pasti akan merasa sendirian, karena aku
adalah anak tunggal. Karena kalianlah aku bisa merasakan kasih sayang saudara
laki-laki dan saudara perempuan. Aku tidak pernah menyesal mengenal kalian. Aku
mencintai kalian. Aku juga bersulang untuk persahabatan kita.”
“Aku
juga ingin mengatakan sesuatu,” kata Devan sambil mengangkat gelasnya. “Kalian
sudah mengubahku menjadi orang yang lebih baik. Jika sebelum mengenal kalian
dulu, aku adalah anak yang nakal dan sering membantah kedua orang tuaku, namun
kehadiran kalian membuatku menyadari bahwa ada kasih sayang yang tulus di dunia
ini. Jika sebelumnya aku tidak percaya kata kasih, namun berteman dan
bersahabat dengan kalian, membuat aku tahu, mengenal, dan merasakan apa itu
kasih. Apa itu sayang. Mungkin kadang becandaku kelewatan, dan kalian mungkin
merasa kesal. Namun percayalah, bahwa akupun mengasihi kalian dengan sepenuh
hatiku. Kalian bagai saudara laki-laki dan perempuan yang aku impikan. Terima kasih,
sahabatku. Aku juga bersulang untuk persahabatan kita.”
“Aku juga boleh bicara, ya?” tanya Jandro
sambil ikut mengangkat gelasnya. “Sebelumnya maaf, jika tadi aku datang
terlambat. Kalian semua pasti tahulah apa alasannya. Sama seperti kalian semua,
aku pun sangat menyayangi dan mengasihi kalian. Walau kita mungkin ada yang
berbeda keyakinan, tapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada persahabatan
kita. Bahkan, dari situ kita bisa belajar apa itu toleransi. Dan bertemu dengan
kalian adalah hal terindah yang aku rasakan. Persahabatan kita yang sudah
berjalan dua puluh satu tahun, tetap teguh meski usia kita kini menua. Kita
yang dulu masih remaja, memutuskan untuk mengikat jalinan persahabatan bisa
saling menjaga jalinan itu, hingga persahabatan kita bisa berjalan selama dua
puluh satu tahun. Prestasi yang membanggakan, bukan? Semoga kita tetap terus
bisa bersahabat sampai maut memisahkan.”
Arana tampak melamun, hingga Jandro
menepuk punggung telapak tangannya, “Ara ngga mau bilang apa-apa, nih?”
Arana tampak terkejut, lalu diapun
mengangkat gelas minumnya dan berkata, “Teman-teman, terima kasih malam ini
sudah mau datang berkumpul di rumahku. Menemaniku melewati malam tahun baru
bersama. Terima kasih juga buat Tania, yang udah jauh-jauh datang dari Amerika
sana, dan mau menginap di rumahku. Aku juga minta maaf, karena ketidakhadiran
Aditya di sini, membuat kalian memutuskan untuk tidak mengajak pasangan kalian
masing-masing karena tidak mau aku bersedih. Walau sesungguhnya ngga apa juga
kok, kalo kalian mau bawa. Iya, kecuali kamu Devan,” katanya sambil tersenyum
kepada Devan yang mengacungkan jarinya sambil menggeleng.
“Yang pasti aku berterima kasih karena
kalian semua sudah membuat aku mengerti apa itu mengasihi tanpa jeda dan tanpa
pamrih,” lanjut Arana. “Aku bersyukur memiliki kalian sebagai sahabatku. Semoga
persahabatan kita tetap kekal selamanya sampai maut memisahkan kita. Aku juga
ingin bersulang untuk persahabatan kita.”
Mereka bertujuh lalu bersulang. Mereka
yang lahir dari latar belakang yang berbeda, keyakinan yang mungkin tak sama,
sifat yang tak mirip, namun memiliki satu kesamaan, yaitu mereka saling mengasihi
satu sama lain. Kasih yang tak berpamrih, kasih yang tulus, kasih persahabatan
yang tak akan pernah pupus dimakan waktu.
Mereka bertujuh akhirnya memutuskan
untuk bermalam di rumah Arana, karena terlalu lelah melewatkan malam tahun
baru. Setelah bersulang lewat tengah malam tadi. Mereka masih melanjutkan
mengobrol sambil melepas rindu. Hingga kemudian satu persatu sudah tak sanggup
lagi menahan kantuk dan merekapun pergi tidur.
∞∞∞
Arana bangkit dari tempat tidurnya,
dilihatnya jam weker di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 7.35. Ah,
ternyata Arana hanya sanggup terlelap selama 3 jam saja. Arana berdoa terlebih
dahulu sebelum dia berjalan keluar dari kamarnya. Di sampingnya Tania tampak
masih tertidur dengan pulas. Arana keluar dari kamarnya dengan perlahan tanpa
menimbulkan suara karena takut membangunkan Tania. Di luar dilihatnya Bu Sarwo
dan Mbak Tini, asisten rumah tangganya dibantu oleh Pak Sarwo sedang sibuk
membereskan peralatan mereka semalam. Karena terlalu lelah, mereka memang tak
sempat membereskannya.
“Selamat pagi, Bu Sarwo, Pak Sarwo,
Mbak Tini,” kata Arana. “Maafkan kami, ya, kami tidak sempat membereskannya
semalam.”
“Ngga apa, Mbak Ana. Kami juga paham,
pasti Mbak dan teman-teman kelelahan. Apalagi Mbak dan teman-teman menyiapkan
sendiri semuanya. Sekarang biarlah kami yang membereskannya,” jawab Bu Sarwo.
“Iya deh, Bu. Oiya, selamat tahun baru
yang untuk kalian,” kata Arana. “Saya mau ke teras dulu, ya, Bu.”
“Mbak Ana, mau disiapkan sarapan apa?”
tanya Bu Sarwo kembali.
“Ngga usah repot-repot, Bu Sarwo.
Nanti biar kami menyiapkan sendiri saja. Atau kami bisa mencari makan di luar.
Lagi pula teman-teman pasti masih lama tuh tidurnya. Bangun-bangun palingan
udah waktu makan siang nanti,” kata Arana sambil tersenyum. “Saya ke depan dulu
ya, Bu?”
Arana membuka pintu depan rumahnya. Di
luar langit tampak mendung, walau waktu sudah hampir pukul delapan pagi. Arana
duduk di kursi terasnya. Dia memandang ke halaman rumahnya, nampak embun yang
masih tersisa ada di dedaunan. Jalanan masih tampak lengang, mungkin sebagian
penghuni perumahan ini masih terlelap di rumahnya setelah semalam ikut
merayakan malam pergantian tahun dengan keluarganya atau teman-temannya. Arana
menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, lalu dilihatkan layar ponselnya. Belum
ada tanda-tanda Aditya membalas pesannya. Arana menghela napas panjang. Tidak
biasanya Aditya seperti ini. Aditya selalu memberinya kabar seandainya ada
kegiatan yang menyebabkan dia tidak sempat membalas pesan-pesannya, sehingga
Arana tidak merasa cemas. Sesungguhnya Arana ingin sekali bisa melewati malam
pergantian tahun dengan Aditya. Apalagi ini adalah malam pergantian tahun
pertama mereka, setelah mereka memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai
sepasang kekasih. Dua puluh satu tahun bukan waktu yang sebentar bagi Arana
untuk menunggu kehadiran Aditya kembali. Apalagi sejak kisahnya dengan Langit,
membuat Arana menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk kedatangan cinta yang
baru. Hanya dengan Adityalah, Arana bisa yakin menyerahkan hatinya yang telah
rapuh untuk kembali dicintai.
Bagi
Arana sesungguhnya perayaan pergantian tahun bukanlah sesuatu yang istimewa.
Tahun hanyalah kumpulan waktu yang dituangkan dalam selembar atau beberapa
lembar kertas. Kumpulan waktu yang telah disepakati lamanya, hingga digunakan
sebagai penanda laju waktu yang berjalan. Bagi Arana hari ini adalah hari Jumat
biasa. Tak ada yang berbeda. Yang membedakan hanyalah adanya perayaan pergantian hari
semalam, karena menandakan kumpulan waktu yang lama
sudah usai, dan kini kumpulan waktu yang baru menunggu untuk dijalani. Tidak
ada yang istimewa memang. Namun kehadiran Aditya seharusnya akan semakin
menyempurnakan Arana untuk masuk dalam kumpulan waktu yang baru itu. Arana
ingin Aditya ada. Tapi kenyataannya Aditya tak ada, bahkan di mana
keberadaannyapun Arana tak tahu.
Arana kembali menghela napas, “Ditya,
kamu di mana? Bahkan ucapan selamat tahun barukupun tak sempat kau baca. Kamu
di mana, Ditya? Apakah kamu pergi bersama kumpulan waktu yang telah usai?” kata
Arana dalam hatinya. “Begitu sibuknyakah kamu, hingga mengabarkan
keberadaanmupun kamu tak sempat?”
Tanpa
Arana sadari, air matanya luruh membasahi pipinya. Arana sebenarnya tidak ingin
menangis. Tidak seharusnya tahun yang baru diawali dengan sebuah tangisan. Tapi
Arana sudah tak sanggup lagi menahan rasa gundah yang ada di hatinya. Arana
hanya ingin tahu, di manakah Aditya?
Terdengar pintu terbuka, Jandro tampak
keluar dari sana dengan tampang masih sedikit mengantuk.
“Kenapa Ara? Menangis lagi? Aditya
lagi?” tanyanya sambil duduk di kursi di samping Arana.
Arana menghapus air matanya, “Engga. Kok
udah bangun, Jan? Mau aku buatin sarapan?” tanya Arana sambil bangkit dari
duduknya.
“Udah ngga usah. Duduk aja,” jawab
Jandro. “Mau cerita mungkin?”
Arana menggeleng. Dia belum ingin
berbagi beban di hatinya, walau dengan Jandro, sahabatnya, sekalipun. Kali ini
dia ingin menyimpan sendiri gundahnya.
--------bersambung-----------
Keterangan
:
(1) Ah, kamu ini! Ngga usah
nggodain aku. Dulu kamu juga naksir aku, kan.
(2) Naksir kamu, Ras? Kaya
ngga ada anak perempuan lain aja.
(3) Ah, ngga ngaku. Sapa
yang dulu menelpon malam-malam cuma ingin tanya sudah makan atau belum. Mau
tidur, sudah berdoa atau belum. Haiiish...emangnya aku ini pacarnya apa
ditanyain kaya gitu. Hahahaha.
(4) Udah, udah, ngga usah
buka kenangan lama. Iya, iya, anggap aja aku dulu khilaf naksir kamu, Ras.
Komentar
Posting Komentar