Indahnya Keberagaman, Kebersamaan, dan Toleransi


          Sejak kemarin saya sulit menuangkan ide-ide di kepala saya lewat tulisan. Saya sudah menulis beberapa materi untuk blog, namun selalu berhenti di tengah jalan. Saya merasa hati saya tidak ikut di sana, sehingga ketika saya membaca ulang tulisan saya yang belum selesai itu, saya merasa tidak puas dan akhirnya memutuskan untuk menghentikannya. Suatu saat nanti, tulisan itu akan saya olah kembali dengan memasukkan hati dan rasa saya di sana. Jika hal seperti ini terjadi dalam proses saya menghasilkan tulisan, biasanya saya hanya akan menulis puisi, supaya saya tetap bisa  memberikan hadiah kepada Desember setiap hari sesuai janji saya. Memang menghasilkan tulisan setiap hari selama satu bulan bukanlah hal yang mudah. Tapi saya akan tetap mencoba untuk konsisten dengan janji yang telah saya buat. Dan kali ini, sesuatu dalam hati  mendesak saya untuk menulis postingan ini.

          Pagi ini, saya membuka akun fesbuk saya, dan mulai membaca postingan-postingan yang ada di beranda saya. Banyak postingan yang positif dan inspiratif, namun tidak jarang ada postingan yang menurut saya tidak seharusnya ditulis atau dibagikan. Sekali lagi menurut saya, ya. Dan ketika saya membaca salah satu postingan status yang dibagikan oleh teman saya di beranda, tiba-tiba hati saya merasa begitu damai, begitu tentram, dan kata orang Jawa, adhem. Bahkan saya sampai menitikkan air mata membacanya. Status yang ditulis itu menceritakan tentang seseorang yang beragama Islam (kita sebut saja A) sedang memilih hiasan natal di sebuah pusat perbelanjaan bertemu dengan seorang temannya yang sudah haji (kita sebut B). Terjadilah percakapan (kurang lebih) seperti ini :

          B        : Lho, beli pernik penghias pohon natal, Mas?
          A       : Nggih, pripun?
          B        : Dados Kristen malih, ta?
          A       : Apakah hanya orang Kristen yang membeli pohon natal atau aksesoris
                      Natal? Kok pertanyaannya aneh begitu?
          B        : Nggih boten. Namun umumnya kan begitu, sebab yang merayakan
                      Natal kan memang umat Kristen. Lha panjenengan beli untuk siapa?
          A       : Untuk saya berikan kepada kenalan saya, keluarga Kristen yang taat.
                      Seminggu lalu ia bercerita bahwa seumur-umur belum pernah natalan
                      dengan pohon natal sebagai penghias ruang tamu rumahnya. Boleh ta,
                      seorang yang beragama Islam menghadiahkan pohon natal dan aksesoris-
                      nya kepada kenalannya yang beragama Kristen?
          B        : Ndak tau, Mas, boleh atau tidaknya, saya ndak tau hukumnya.

Yang terjadi sesudah percakapan inilah, yang   membuat saya menjadi sangat terharu, karena setelah menemani temannya ini, si B justru ikut memilih dan  membayari hiasan natal yang dibeli si A. Mereka membayar masing-masing separuh dari total harga yang harus dibayarkan. Dia yang semula mempertanyakan, kemudian terketuk pintu hatinya untuk ikut menyenangkan hati kenalan temannya ini. Dia yang mengenakan baju koko dan memakai kopiah di kepalanya, keluar dari pusat perbelanjaan sambil membawa pohon natal dari plastik yang akan diberikannya sebagai hadiah. Indah sekali kebersamaan dan toleransi itu, bukan?

Postingan itu sungguh mendatangkan damai sejahtera di hati saya. Karena seperti biasa, jika sudah memasuki bulan Desember di mana kami  umat Kristiani mulai mempersiapkan diri dan hati kami untuk merayakan hari Natal, selalu saja beranda sosial media dipenuhi dengan postingan mengenai pro dan kontra pemakaian topi sinterklas, pemasangan pohon Natal, pemberian ucapan natal, dan lain-lain. Sebenarnya, kami umat Kristiani sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.
Bagi kami, semua hal yang menjadi pro dan kontra itu hanya semacam tradisi perayaan atau komersialisasi perayaan Natal saja, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibadah kami kepada Tuhan. Saya sendiri bahkan setelah berkeluarga jarang sekali memasang pohon Natal di rumah, karena hal itu bukan suatu keharusan. Dan jika pada tahun ini ada sebuah hiasan Natal terpasang di ruang tamu rumah saya, karena kebetulan saya menemukan potongan-potongan ranting yang unik, yang kemudian menimbulkan ide kreatif dalam diri saya untuk membuatnya menjadi hiasan Natal. Karena sesungguhnya yang kami perlukan dalam menyambut Natal adalah ketenangan dan kedamaian dalam beribadah.

Ada salah satu peristiwa di hari Natal tahun lalu, di mana saat itu saya dan keluarga besar suami merayakan Natal di Kota Wonogiri. Keluarga besar suami memang benar-benar menggambarkan kebhinneka tunggal ikaan, karena  terdiri dari beragam suku, agama, dan ras. Menantu dari keluarga besar suami saya ada yang berasal dari Jawa, China, Maluku, Manado, dan Dayak. Ada yang beragama Kristen, Katolik, dan Islam. Dan kami tetap bersatu, saling mengasihi, dan saling menghargai satu sama lain. Peristiwa yang terjadi adalah ketika salah seorang keponakan yang beragama Islam memposting fotonya ketika sedang menghias pohon natal di rumah eyangnya (mertua saya) ke akun sosial media miliknya. Foto yang diunggah itu kemudian menghasilkan komentar dari teman-teman keponakan saya itu yang kira-kira isinya komentar dan nasihat agar dia tidak menjadi kafir dengan ikut merayakan atau mengucapkan selamat Natal. Hal itu menimbulkan kesedihan di keluarga kami, terutama kakak tertua dari suami saya. Beliau kemudian memberi masukan kepada keponakan kami itu, bahwa eyangnya adalah tetap keluarga dia walaupun tidak seiman, bahwa kami keluarga besarnya adalah tetap keluarganya walaupun tidak seagama. Beruntung, keponakan saya bukan anak yang yang mudah dihasut oleh isu-isu miring seperti itu, ia dan kedua orang tuanya yang beragama Islam adalah orang-orang yang menghargai orang lain walau pun tidak seagama. Dan hal itu sangat melegakan. Kami sekeluarga tetap bisa merayakan Natal bersama dan saling memberi ucapan satu sama lain, seakan-akan peristiwa itu tidak pernah terjadi.

Sayapun termasuk orang yang beruntung karena dikelilingi oleh teman-teman dan sahabat yang selalu mau menghargai keberagaman dan saling bertoleransi. Teman-teman dan sahabat saya yang tidak seiman tetap mengucapkan selamat Natal dan terkadang datang berkunjung untuk saling bersilaturahmi ketika kami merayakan Natal. Demikian pula sebaliknya. Saya merasa terberkati dengan semua keadaan itu.

Melalui  postingan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita hidup di Negara Indonesia, yang semboyan saja adalah Bhinneka Tunggal Ika, artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Itu berarti Indonesia memang kaya akan keberagaman suku, agama, dan ras. Para pendiri bangsa ini, bahkan selalu mengetengahkan persatuan bangsa karena menyadari keberagaman itu. Mereka bahkan rela menyampingkan kepentingan golongan demi terciptanya persatuan bangsa. Mengapa kini kita yang sudah dimerdekaan oleh perjuangan mereka masih saja sibuk mengotak-kotakan diri? Marilah kita terus galang persatuan bangsa ini, dengan saling menghormati perbedaan dan keberagaman yang dimiliki. Singkirkanlah dinding penghalang yang sudah dibangun, untuk kembali menjadi satu kesatuan yang utuh, Indonesia, lengkap dengan segala perbedaan dan keberagamannya.

Bukankah kebersamaan dan tolerasi itu indah?
Bukankah damai itu membuat nyaman?
Bukankah perbedaan dan keragaman itu yang membuat Indonesia menjadi kaya?




Kalasan, 16 Desember 2015
My #16 for my December




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai