Sebuah cerita pendek : I’ll Never Forget You
Masih kuingat dengan jelas saat
pertama kali kita bertemu. Di sebuah kedai kopi terkenal, kau dengan secangkir
cappucino dan sebuah buku tentang real estate, duduk di sebuah sofa di sudut
ruangan. Dan tatapan mata kita bertemu secara tak sengaja, ketika aku
melayangkan pandanganku untuk mencari tempat duduk di antara para pengunjung kedai
kopi yang memadati hampir seluruh ruangan. Dan kau menawarkan tempat duduk di
hadapanmu dengan tatapan matamu itu. Aku pun tersenyum dan menganggukkan
kepalaku. Bukan kebiasaanku sebenarnya untuk menerima tawaran dari orang yang
tak kukenal, apalagi dari seseorang yang jelas-jelas berasal dari benua yang
berbeda. Tapi entah mengapa, sore itu aku melangkah menghampirimu.
"Please, sit down", katamu saat itu. “Rasanya sudah tidak ada tempat duduk kosong lagi.”
"Thanks," jawabku sambil tersenyum.
"You have a great smile, Miss," katamu sambil mengulurkan tanganmu, "I'm Daniel Carrey. You can call me Dan."
Aku pun membalas uluran tanganmu, "Thanks. My name is Joshinta Alecia. You can call me Jo."
"Pretty name," katamu saat itu.
"Please, sit down", katamu saat itu. “Rasanya sudah tidak ada tempat duduk kosong lagi.”
"Thanks," jawabku sambil tersenyum.
"You have a great smile, Miss," katamu sambil mengulurkan tanganmu, "I'm Daniel Carrey. You can call me Dan."
Aku pun membalas uluran tanganmu, "Thanks. My name is Joshinta Alecia. You can call me Jo."
"Pretty name," katamu saat itu.
Dan akhirnya kita menghabiskan sore itu dengan saling menceritakan tentang diri kita masing-masing. Sore yang tak pernah kulupakan, sampai saat ini.
Pada
suatu malam, nada notifikasi sms membangunkan aku. Dan sebuah pesan singkat kau
tulis untukku malam itu, satu bulan setelah pertemuan kita.
"Jo,
I cant sleep tonight. I dont know why, but I think I missed you. From the first
time we met, I knew that you're the one who could make my life so bright. There
was a time without you in my mind. Jo, I thought I am fall in love with you. I cherish you so
much. Jo, kapan kita bisa bertemu lagi?"
Aku
hanya bisa menatap layar ponselku, berkali-kali kubaca pesanmu itu. Aku hampir
tak percaya membaca pesan itu. Kami baru bertemu satu kali, dan dia sudah
memberikan sebuah pesan untuk mengungkapkan rasanya seperti itu? Ah, mungkin
memang seperti itu budaya di negaranya, pikirku. Mereka lebih terbuka dalam
mengungkapkan perasaan mereka, berbeda dengan orang-orang di negeriku yang
lebih suka memendam rasa dan berharap waktu yang akan menunjukkan rasa mereka
terhadap orang yang mereka sukai. Memang setelah pertemuan pertama kami itu,
kami sempat intens saling berkirim kabar lewat email, terkadang bercakap
melalui internet messenger. Isi
percakapan kami bisa dibilang sangat umum. Hanya sekedar berkabar dan saling
berbagi informasi mengenai aktifitas yang kami lakukan. Tidak ada hal yang
istimewa maupun percakapan yang bersifat intim. Bahkan sekedar kata ‘I miss you’ pun tak pernah terlontar
dalam percakapan kami. Dan sekarang, malam ini, ia memberikan pesan yang bisa
dibilang sangat intim seperti itu. Hal itu membuatku gelisah.
Aku
hanya memandangi saja layar ponselku, aku sungguh tak tahu harus mengetik apa
untuk membalas pesan dari Daniel itu. Akhirnya kubiarkan saja pesan itu dan
memutuskan untuk tidak membalasnya, setidaknya malam ini. Biarkan saja Daniel
menganggap aku belum membaca pesannya. Beruntung sekali dia tidak mengirimkan
pesannya melalui aplikasi yang memungkinkan pengirim mengetahui bahwa pesan
yang dikirimnya sudah terbaca.
Dan
akibat dari pesan Daniel itu mataku menjadi sulit terpejam. Aku terus menerus
memikirkannya. Sesungguhnya aku pun tertarik padanya pada saat kami terlibat
dalam pembicaraan hangat di kedai kopi itu. Dia yang menguasai Bahasa Indonesia
walau tidak terlalu fasih, cukup nyaman dan menyenangkan sebagai teman
berbincang. Pengetahuannya tentang negeriku ini cukup luas. Pekerjaannya
sebagai arsitek membuatnya mengunjungi banyak tempat di Indonesia. Sedangkan
aku yang mempunyai hobi traveling tentu saja senang mendengarkan cerita tentang
suatu tempat dan itu sangat menarik bagiku. Terlepas dari sosoknya yang memang
menarik dengan mata biru yang begitu bening, jambang tipis di dagunya, serta
tubuhnya yang tampak proporsional, namun aku lebih tertarik pada pembicaraan kami
sore itu. Aku terus memikirkan pesan dari Daniel malam itu, hingga akhirnya aku
terlelap.
Keesokan paginya aku bangun dengan
kepala yang terasa begitu berat karena kurang beristirahat, namun kesibukanku
sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta mengharuskan aku bangkit dari
tidurku dan memulai aktifitas pagiku. Saat aku memandang ponselku, aku kembali
teringat pada pesan Daniel. Ah, nanti sajalah, pikirku.
Kesibukanku hari itu membuat aku
melupakan pesan dari Daniel, hingga ketika aku sedang bersiap-siap akan pulang,
ponselku bergetar, sebuah pesan masuk. Kulihat pengirimnya. Daniel.
“Hai, Jo. I sent you message last night. Did
you read it? I am sorry if my message bother you. Just forget it. Can you make
time for me this evening? Maybe we can enjoy our coffee together again? Write
me please if you can. I am waiting for your reply. –Dan –“
Aku
mendadak bingung harus bagaimana membalas pesan dari Daniel tersebut. Setelah
menghela napas panjang akhirnya aku pun mengetik balasan pesan untuk Daniel.
“Hai, Dan. I’m sorry I didn’t reply your
message yesterday. I had gone to bed last night. But I read it this morning. I
think I can make time for you this evening. We can meet at the coffee shop where
we first met. I’ll be there in 45 minutes. – Jo – “
Aku
kembali menghelas napas panjang. Rasanya aku memang harus menghadapinya. Siap
atau tidak siap, aku harus bertemu dengannya. Ponselku kembali bergetar, dan
ada balasan dari Daniel.
“Ok, Jo. I’ll be there.”
Empat puluh dua menit kemudian aku
sampai di kedai kopi yang sama tempat aku pertama kali bertemu dengan Daniel.
Bau harum kopi menyambutku ketika aku membuka pintu kedai itu. Aku melayangkan
pandanganku ke seluruh ruangan, dan aku melihat Daniel duduk di satu meja di
sudut ruangan sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku memberi isyarat
padanya bahwa aku akan memesan kopiku lebih dulu. Daniel menganggukkan kepala
sambil tersenyum. Aku pun menuju ke meja pemesanan, dan memesan kopi kesukaanku
caramel macchiato dengan ekstra caramel dan ekstra whipcream. Setelah kopi
pesananku datang, aku berjalan ke arah meja di mana Daniel sudah menungguku di
sana. Hatiku berdebar tak menentu, rasanya begitu menyesakkan dada. Sampai di
meja tempat Daniel menunggu, aku duduk di kursi berhadapan dengan Daniel.
“Hi,
Jo. Its nice to see you again,” kata Daniel sambil menjabat tanganku.
“Hi,
Dan. Nice to see you too,” jawabku.
“How
are you, Jo? It’s been a month a go since we met at this place. Is everything
ok?” tanya Daniel.
“I’m
fine. Thank you. And how about you? Still going around in this country?”
jawabku.
“I’m
OK. Yup! I’m still going around,” Daniel menjawab pertanyaanku. “Jo, I miss
you. I miss your pretty smile.”
Mendengar
perkataan Daniel itu, aku mendadak sulit bernapas. Ah, jawaban apa yang harus
kuberikan padanya? Sebenarnya aku juga merindukannya dan ingin berjumpa kembali
dengannya, namun sebagai seorang gadis yang dibesarkan dengan adat ketimuran
rasanya canggung sekali membalas ungkapannya itu dengan kataa-kata yang sama.
Akhirnya, aku hanya bisa tersenyum saja membalas perkataan Daniel.
“Jo,
I am sorry if I make you uncomfortable with my words. I don’t mean it. I just
wanna say to you what I feel. Maafkan saya, Jo,” kata Daniel.
“It’s
Ok, Dan. Saya hanya tidak terbiasa saja mengungkapkan hal-hal yang bersifat
intim seperti itu dengan orang yang baru saya kenal,” jawabku.
Daniel
menganggukkan kepalanya, dan berkata,”Ok. I got it. I think I must take time
for you to accept my feelings. I think I can waiting for that.”
Kami
pun akhirnya terlibat obrolan ringan. Obrolan yang membuat kami bisa tersenyum
dan tertawa bersama. Daniel memang teman berbincang yang menyenangkan. Aku
tidak pernah merasa bosan bercakap-cakap dengannya. Waktu rasanya berlalu
begitu cepat jika bersamanya.
Ketika
waktu sudah semakin malam, akhirnya kami pun berpisah. Ajakan Daniel untuk
mengantarkan aku pulang kuterima dengan senang hati.
Sejak pertemuan kami sore itu,
hubungan kami semakin dekat. Komunikasi kami tidak lagi hanya melalui email, internet messenger, atau pun sms saja,
karena sekarang komunikasi juga kami lakukan lewat telepon langsung ataupun video call. Kami menjadi semakin akrab
dan dekat. Ketidak hadirannya melalui komunikasi-komunikasi yang kami lakukan
sudah bisa membangkitkan rasa rindu di dalam hati. Dan kemudian aku mulai
menyadarinya, bahwa aku mencintai Daniel. Mulanya aku masih ragu menjalin
hubungan khusus dengan orang yang berasal dari benua lain. Namun dengan
berbagai saran dari sahabat dan teman-teman dekat yang meyakinkan aku bahwa aku
sanggup menjalaninya, akhirnya aku pun menguatkan diri untuk membalas perasaan
Daniel. Dan ketika pada suatu malam di sebuah restoran di pinggir pantai,
Daniel kembali menyatakan perasaannya, aku menerimanya dengan setulus hatiku.
Daniel tampat begitu bahagia malam itu, demikian juga dengan aku. Dan ketika
kami berjalan menyusuri pantai sehabis makan malam yang romantis itu, Daniel
memeluk tubuhku dengan erat, sambil berbisik, “Jo, thank you for tonight. I am
so in love with you. I promise I would never let you down. I love you, Jo.”
Aku
hanya terdiam dalam pelukannya. Namun aku tahu bahwa Daniel tahu jawabannya,
karena ketika ia mencium bibirku, aku membalasnya dengan penuh cinta. Dan kami
berciuman cukup lama malam itu. Malam yang tak akan pernah aku lupakan seumur
hidupku. Malam yang kemudian membuatku menangis hebat ketika mengingatnya
kembali.
Hubunganku dengan Daniel berjalan
cukup mulus. Di tengah kesibukan kami berdua, kami selalu menyempatkan diri
untuk bertemu. Sekedar minum kopi kesukaan kami di kedai kopi tempat kami
pertama kali berjumpa. Kedua orang tuaku sudah mengenal Daniel, dan mereka
tampaknya bisa menerima pria pilihan anak gadis semata wayangnya. Memang
awalnya kedua orang tuaku tidak menyetujui hubunganku dengan Daniel. Mereka
yang adalah orang Jawa asli, masih sulit menerima anaknya berhubungan dengan
orang asing. Namun melalui perjuangan kami berdua meyakinkan kedua orang tuaku,
juga pendekatan Daniel yang begitu gigih menerima sikap ketus kedua orang
tuaku, akhirnya kami berhasil. Mereka akhirnya menerima hubunganku dengan
Daniel. Mungkin karena mereka melihat bahwa Daniel sungguh-sungguh mencintai
aku dengan tulus.
Dua tahun setelah aku menerima
perasaan Daniel, ia melamarku tepat sehari sebelum ulang tahunku. Lamarannya
itu dilakukannya di kedai kopi tempat kami pertama kali bertemu. Nampaknya
Daniel memang menjadikan kedai kopi itu sebagai tempat bersejarah dan tempat
special untuk kami berdua. Cara Daniel melamarku tidak seromantis peristiwa
lamaran yang digambarkan di film-film Holywood. Ia tidak berlutut di hadapanku
sambil memberikan cincin. Tidak. Ia melamarku dengan cara yang unik. Saat itu
kami duduk berdampingan dengan kopi kesukaan kami di atas meja. Seperti
biasanya kami hanya menikmati kopi saja, tanpa ada kue ataupun makan kecil
sebagai pendamping kopi. Tiba-tiba Daniel mengeluarkan sebuah kantung beludru
dan memberikannya kepadaku.
“Jo,
tomorrow is your birthday, but I can accompany you because I have to go New
York. So, this is your birthday gift. Happy Birthday, my dear,” katanya sambil
mencium pipiku dengan ringan. ”Open it.”
Aku
membuka kantung beludru itu dan mendapatkan sebuah cincin dan kertas
bertuliskan,
“My sweet Jo, actually
I am forget tomorrow is your birthday, so I have not prepared a birthday gift
for you. This ring is my grandma’s ring. This ring should be given to my future
wife. But I want you to have it. Will you marry me?”
Setelah
membaca tulisan itu, aku memandang Daniel dengan tatapan bingung. Aku tidak
bisa berkata apa-apa.
“Dan,
apa ini?” aku bertanya dengan bingung.
Daniel
menggenggam tanganku lalu berkata, “I want you to be my wife, dear. Will you
marry me?”
Aku
memandang Daniel dengan berkaca-kaca. Aku tidak menyangka ia akan melamarku
dengan cara seperti ini. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, karena mulutku
seakan terkunci oleh haru yang menyeruak. Daniel lalu mengambil cincin itu dan
memasangkannya di jari manisku. Cincin itu tampak pas di jariku. Daniel
memegang tanganku dengan satu tangannya, sementara tangan yang lain menghapus
air mata yang mengalir di pipiku.
“Don’t
cry, Jo. Why are you crying?” tanyanya.
“I’m
so happy, Dan. I’m so happy. Thank you so much,” jawabku sesenggukan.
“Saya
yang seharusnya berterima kasih, karena kamu mau menerima lamaran saya, Jo”
kata Daniel sambil mencium kening saya.
Dan
malam ini menjadi satu malam yang akan selalu saya ingat seumur hidup saya.
Sepulang dari kedai kopi itu,
Daniel mengantarkan aku pulang. Kami memang berencana menyampaikan peristiwa
ini kepada kedua orang tuaku. Kupikir mereka harus diberi tahu jika kami berdua
berencana membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius. Orang tua kami
ternyata menyambut gembira keinginan kami itu. Mereka hanya meminta kedua orang
tua Daniel untuk melamarku secara resmi dan bertemu dengan keluarga besar untuk
merencanakan pernikahan kami. Daniel berjanji akan menyampaikan keinginan kedua
orang tuaku itu kepada orang tua. Kebetulan besok Daniel ada urusan pekerjaan
di New York dan Amsterdam. Sebelum pergi ke Amsterdam ia berjanji akan menemui
kedua orang tuanya di New York dan menyampaikan pesan itu.
Keesokan harinya, Daniel berangkat.
Ia akan melakukan perjalanan ke New York dan Amsterdam selama satu bulan. Aku
merasa sangat kehilangan dia, satu bulan bukan waktu yang singkat untuk kami
tidak saling bertemu. Namun aku harus merelakan kepergiaannya, karena ini
menyangkut urusan pekerjaannya juga untuk masa depan kami berdua.
Satu bulan yang kulalui terasa
begitu panjang. Detik rasanya berjalan sangat lambat. Terkadang jika aku
merindukan Daniel, aku akan pergi ke kedai kopi langganan kami itu, duduk
berjam-jam di sana, sambil sesekali melakukan video call dengan Daniel. Setelah penantian yang panjang itu
akhirnya, aku mendapat kabar dari Daniel bahwa 5 hari lagi ia akan tiba di
Indonesia. Dia yang saat itu sedang berada di Amsterdam akan terbang ke Kuala
Lumpur untuk urusan pekerjaannya, lalu kembali ke kotaku. Aku tak sabar
menantikan kedatangannya. Hatiku dipenuhi kebahagiaan yang meluap karena akan
kembali bertemu dengan Daniel.
Pagi itu aku bangun dengan rasa
bahagia yang penuh di hatiku. Penantianku untuk bertemu Daniel akan segera
berakhir. Kebahagiaanku terasa begitu
besar karena tak lama lagi aku akan bisa memeluk tubuh laki-laki calon suamiku
itu. Dan kebahagiaanku itu pun akhirnya musnah, ketika melihat berita di
televisi mengabarkan bahwa pesawat komersial Malaysia Airlines dari Amsterdam
tujuan Kuala Lumpur jatuh di Ukraina karena terkena tembakan peluru militer.
Aku hampir tak percaya mendengar berita tersebut. Aku langsung mencari email
Daniel yang mengabarkan tentang nomer pesawat yang akan membawanya dari
Amsterdam ke Kuala Lumpur. Dan ketika menemukan bahwa pesawat yang jatuh itu
adalah pesawat yang ditumpangi Daniel, badanku langsung lemas. Aku menangis
sejadi-jadinya. Aku merasakan jiwaku terlepas dari ragaku, hatiku terasa begitu
sakit. Orang tuaku pun merasakan kesedihan yang mendalam dengan peristiwa itu.
Telepon dari kedua orang tua Daniel di USA bahkan tak sanggup aku terima. Duniaku
terasa gelap. Separuh jiwaku pergi dan tidak akan pernah kembali. Aku rasanya
ingin mati saja menyusul Daniel. Aku seperti terhempas dalam lubang dalam yang
tak berdasar.
Hari ini, tepat satu tahun saat
aku menerima berita kematian Daniel yang begitu tiba-tiba. Kepergiaannya yang
tanpa pesan, tanpa firasat apapun masih menyakitkan hatiku. Kesedihanku itu
belum juga sirna dari hatiku. Cintaku kepadanya begitu besar untuk dapat
membuatku melupakan dia begitu saja. Rasanya aku masih bisa merasakan hangat
pelukannya malam itu di pantai ini, tempat di mana kami saling menyatakan
perasaan kami. Aku menabur bunga di pantai itu sambil menangis. Jasad Daniel
tak ditemukan, hingga dia tidak mempunyai nisan yang bisa kukunjungi untuk
memberikan doaku. Setiap bulan pada tanggal kematiannya, aku selalu datang ke
pantai ini untuk menabur bunga bagi Daniel dan mengirimkan doaku untuknya. Aku
yakin, saat ini Daniel sedang bernyanyi bersama malaikat di surga. Daniel
kekasihku, calon suamiku yang sangat aku sayangi, sudah tenang di sisi Tuhan. Rasanya
aku harus mulai belajar merelakan kepergiaannya.
Sambil
menaburkan bunga, aku berkata dalam hati, “Tunggu aku di sana, Dan. Suatu saat
kita pasti akan berjumpa lagi. Aku akan datang dengan cinta yang sama seperti
dulu. Tidur tenanglah kau di sana,
Daniel. I’ll never forget you.”
“If I could hold you one more
time
Like in the day when you were
mine
I’d look at you till I was blind
So you would stay
I’d say a prayer each time you
smiled
Cradle the moments like a child
I’d stop the world if only I could hold you
One more time”
(One More Time – Richard Marx)
Kalasan,
10 Desember 2015
My
#10 gift for My December
Komentar
Posting Komentar