Episode Akhir Tahun untuk Dimitri


          Hari ini, hari ke 365 di tahun 2015 akhirnya datang juga. Hari di mana setiap orang mulai berpikir tentang perjalanan hidup mereka selama satu tahun dan pencapaian apa yang sudah diraih. Hari di mana setiap orang mulai menutup buku kehidupan mereka selama satu tahun. Hari di mana setiap pribadi mulai membuat resolusi untuk tahun yang akan datang dan mulai berpikir tentang waktu. Demikian juga dengan Dimitri Prawira. Karena hari inilah dia memutuskan untuk kembali. Kembali kepada cinta pertamanya, cinta yang tumbuh pada masa-masa pendidikannya sebagai pelajar sekolah menengah. Seseorang yang mungkin pernah hilang dalam hari-hari Dimitri namun tidak di hati dan pikirannya, karena Dimitri tidak pernah melupakannya. Ya, dia yang dulu dengan malu-malu hanya bisa dipandang Dimitri dari kejauhan. Dia, yang hanya mendengar tawanya saja sudah membuat hati Dimitri berdegub begitu kencang. Dia, yang memiliki nama lengkap Amara Godeliva. Sahabatnya semasa sekolah. Hari ini dia akan menemui Eva, panggilan Dimitri untuk sahabatnya, Amara Godeliva. Dimitri akan mengungkapkan perasaannya yang sudah dia pendam selama lebih dari sepuluh tahun.
          Dimitri berjalan menuju tempat dia memarkirkan mobilnya di bandara. Ia baru saja mendarat dari setelah terbang selama hampir satu jam dari Denpasar, Bali. Suasana bandara tampak ramai, maklumlah akhir tahun memang biasanya bertepatan dengan liburan anak sekolah, sehingga sering digunakan untuk melakukan perjalanan keluar kota oleh beberapa keluarga. Dimitri mulai menjalankan kendaraannya keluar dari bandara dan bergabung dalam kemacetan jalanan kota Jogja yang semakin hari semakin parah, apalagi di saat liburan seperti saat ini. Dimitri menjalankan mobilnya dengan perlahan dan berhati-hati, sesekali nampak kendaraan roda dua yang bergerak sedikit ugal-ugalan membuatnya harus mendecak kesal. Ketika mobil berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, Dimitri mengambil ponselnya, dan dia melihat ada pesan Eva di aplikasi Whatsappnya.
          “Hai,Dim, sudah mendaratkah? Nanti malam jadi ke rumahku?”
Dimitri mengetikan balasan, “Hai,Eva. Sudah. Ini lagi terjebak macet. Jadi, dong. Jam 8, kan?”
Dimitri menunggu hingga tanda centang satu menjadi centang dua, tanda bahwa pesannya terkirim. Lalu meletakkan ponselnya dan kembali berkonsentrasi dengan lalu lintas yang dia lewati. Selang beberapa waktu Dimitri mendengar ponselnya bergetar, tanda bahwa ada pesan yang masuk. Namun Dimitri membiarkannya, karena kepadatan lalu lintas tidak memungkinkan dia untuk membaca pesan yang masuk. Setelah hampir satu jam berkutat dengan kemacetan, akhirnya Dimitri sampai juga di rumahnya. Rumah mungil yang ia tinggali sendirian. Rumah yang dulu dibelinya karena rencana pernikahannya dengan Lintang Kinasih, kekasihnya yang memutuskan hubungan mereka tepat seminggu sebelum rencana pernikahan mereka dilaksanakan. Kegagalannya dengan Lintang membuat Dimitri tidak lagi mempercayai cinta. Dia sempat menutup hatinya dari cinta baru. Hubungannya yang dibangunnya dengan Lintang selama hampir 3 tahun kandas begitu saja, hanya karena Lintang bertemu dengan pria asal Prancis yang ditemui Lintang ketika bertugas meliput acara kebudayaan Prancis di Kedutaan Prancis. Enam bulan setelah rencana pernikahannya dengan Lintang gagal, Dimitri mendengar bahwa Lintang menikah dengan pria itu dan pindah ke Prancis. Dimitri yang sudah tawar hatinya memutuskan tidak hadir di pesta pernikahan Lintang. Dimitri sudah membuang jauh-jauh Lintang dari hidupnya. Hingga akhirnya, dia bertemu kembali dengan Eva pada sebuah pesta reuni sekolahnya. Awalnya Dimitri  bersikap biasa saja terhadap Eva, baginya Eva hanyalah salah satu bekas teman sekolahnya. Percakapan mereka pun awalnya hanyalah percakapan basa basi di dalam grup Whatsapp yang isinya teman-teman masa sekolah dulu. Hingga pada suatu saat Dimitri mengirimkan foto sebuah pantai di Lombok ketika perjalanan dinasnya ke kota itu, karena Dimitri tahu bahwa Eva salah seorang penggemar pantai. Dari situlah kemudian percakapan-percakapan mereka bersifat lebih pribadi dimulai. Hingga akhirnya, Dimitri merasa jatuh cinta lagi pada Eva, teman masa sekolahnya yang dulu diam-diam disukainya.
          Dimitri masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan diri di pembaringan. Tubuhnya terasa penat setelah melakukan perjalanan dinas ke beberapa daerah di Indonesia Timur, hingga berakhir di Bali kemarin. Dimitri melihat ke arah jam tangannya, sudah jam 3 sore. Masih ada waktu sebentar untuk beristirahat sebelum pertemuan malam nanti, pikirnya. Tak lama kemudian Dimitripun terlelap.
          Bunyi alarm ponselnya membangunkan Dimitri dari tidurnya. Dia lalu duduk di pembaringannya. Kamarnya tampak gelap gulita. Rupanya dia lupa menyalakan lampu kamar sebelum tertidur tadi. Di jendela kamarnya dia melihat langit sudah gelap, nampak samar-samar warna jingga tergores di sana. Dimitri bangkit dari pembaringannya lalu menutup korden jendela kamarnya, dia lalu menyalakan lampu kamarnya. Diliriknya jam dinding yang terpasang tepat di seberang tempat tidurnya. Waktu menujukkan pukul 6 lewat 15 menit. Dia harus bersiap-siap untuk janjinya dengan Eva sore ini. Dibukanya lemari pakaian di ambilnya handuk, lalu ia pergi ke kamar mandi. Selesai mandi, dia berpakaian lalu keluar dari kamarnya dan menyalakan lampu-lampu di rumahnya. Setelah itu dia membuka lemari pendingin di pojok dapurnya yang menjadi satu dengan ruang makannya yang mungil, lalu mengambil sebotol air mineral dingin. Diminumnya air itu perlahan hingga tandas. Setelah itu, ia mengecek ponselnya. Di sana dia melihat ada 3 pesan di aplikasi whatsappnya. Satu pesan dari Eva, dan lainnya dari tim kerjanya. Diabaikannya pesan dari timnya, lalu dibukanya pesan dari Eva.
          “Maaf Dim, baru balas. Seharian ini sibuk nyiapin persiapan makan malam nanti. Tauk nih, mama repot-repot amat, mau banyak tamu katanya. Wah, Jogja macet ya, Dim. Hati-hati bawa mobilnya, ya, Dim. Aku tunggu nanti jam 8. Kabari, ya, kalau mau otw.”
Dimitri tersenyum membaca pesan dari Eva. Wah, banyak tamu? Ada acara apa ya, di rumah Eva, pikirnya. Atau memang seperti itukah tradisi malam tahun baru di rumah Eva? Dimitri tidak tahu jawabannya. Dia hanya bisa menduga-duga. Apalagi pertemuannya dengan Eva kembali memang belumlah lama. Baru sekitar 3 bulan. Namun waktu sesingkat itu bisa mencairkan kebekuan hati Dimitri akibat kegagalan cintanya dulu, hingga dia memutuskan akan mengungkapkan perasaannya kepada Eva. Perhatian-perhatian kecil yang diberikan Eva membuat hatinya terasa hangat, hingga benih-benih cinta yang dulu pernah bersemanyam di hati Dimitri muncul kembali. Ah, terkadang semesta memang suka bercanda. Siapa yang menyangka bahwa dia bisa kembali bertemu dengan cinta pertamanya? Cinta diam-diamnya? Cinta yang bahkan dulu tak pernah mampu dia ungkapkan? Dimitri tersenyum dalam hatinya. Ya, dia sudah memantapkan hatinya, dia harus mengungkapkan perasaannya. Hari ini. Ya, hari ini.
          Jam dinding menunjukkan pukul 7 lebih 25 menit ketika Dimitri menjalankan mobilnya menuju ke rumah Eva. Sebelumnya dia sempat mengirimkan pesan pendek untuk Eva.
          “Eva, aku otw nih.”
Tak perlu menunggu lama, jawaban pesan dari Eva masuk ke ponselnya.
          “Iya, Dim. Aku tunggu.
Dimitri menjalankan mobilnya membelah kota Jogja yang masih lekat dengan macetnya menuju ke rumah Eva. Sesampainya di depan rumah Eva, dia melihat suasana rumah yang terang benderang, penuh dengan mobil-mobil yang terparkir di halaman rumah. Dimitri menghentikan mobil di seberang pagar rumah Eva. Dia lalu mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan pesan.
          “Eva, aku udah di depan rumah kamu.
Setelah pesan terkirim, dia lalu turun dari mobilnya. Menuju ke pintu belakang mobilnya lalu mengambil buket bunga yang ia pesan khusus untuk Eva. Buket itu terdiri dari beberapa tangkai mawar merah jambu yang dirangkai dengan sangat cantik oleh toko bunga tempat dia membelinya tadi. Dia lalu berjalan masuk ke halaman rumah Eva. Di teras rumah, dia melihat sosok Eva mengenakan gaun sederhana berwarna merah jambu, rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai begitu saja. Eva tampak manis sekali dengan dandanannya yang sederhana itu. Hati Dimitri berdegub semakin kencang. Apalagi ketika dilihatnya Eva menghampiri dirinya sambil tersenyum.
          “Hai, Dim, akhirnya kita ketemu lagi,” katanya sambil mengulurkan tangannya.
          “Hai, Eva. Ini buat kamu,” jawab Dimitri sambil menyerahkan buket bunga kepada Eva. “Masih suka mawar merah jambu, kan, Va?”
          “Ya ampun, bagus banget. Masih, Dim. Masih suka banget. Terima kasih banyak, ya,” kata Eva sambil mengambil buket bunga itu dan menciumnya. “Aduh, kenapa mesti repot-repot bawa bunga segala sih, Dim?”
          “Ngga apa, Va. Sekalian buat kado tahun baru untukmu,” jawab Dimitri sambil tersenyum.
          “Ah, kamu, bisa banget bikin orang seneng, ya?” kata Eva. “Yuk, masuk.”
          Dimitri mengikuti langkah Eva memasuki rumah Eva. Dilihatnya di dalam rumah sudah dipenuhi oleh tamu-tamu kedua orang tua Eva.
          “Pa, ini Dimitri, sahabat Eva waktu di SMP dulu. Papa masih ingat, kan?” kata Eva.
          Dimitri mengulurkan tangannya untuk memberikan salam kepada ayah Eva. Ah, beliau tidak berubah, pikir Dimitri dalam hati. Masih gagah dan rambutnya yang memutih justru menambah kharismanya.
          “Selamat malam, Oom. Saya Dimitri,” katanya kepada ayah Eva.
          “Ah, Dimitri. Yang dulu sering mengantar Eva pulang sehabis ekskul, ya?” jawab ayah Eva sambil membalas uluran tangan Dimitri.
          “Iya, Oom. Oom masih ingat juga ternyata,” kata Dimitri.
          “Ya, ya, Oom masih ingat, Nak. Teman lelaki Eva yang berani mengantarkan dia pulang  hanya kamu, Nak,” jawab ayah Eva sambil tertawa. “Ayo silakan masuk saja. Jangan sungkan-sungkan, ya, Dim.”
          “Terima kasih, Oom,” jawab Dimitri sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya kepada para tamu yang duduk di ruang tamu rumah Eva.
          Eva mengajak Dimitri ke teras di belakang rumahnya. Di sana tampak lebih sepi, hanya ada kursi-kursi kosong yang ditata berjajar. Dimitri duduk di samping Eva yang sudah lebih dulu mendudukan dirinya ke salah satu kursi di sana.
          “Ada acara apa sih, Va?” bisik Dimitri di telinga Eva. Tercium wangi manis dari tubuh Eva saat Dimitri mendekatkan kepalanya di telinga Eva tadi. Mendadak jantung Dimitri berdegub lebih cepat.
          “Kak Nesa lamaran malam ini,” jawab Eva dengan singkat.
          “Oh, begitu,” kata Dimitri.
          Kemudian keheningan tercipta di antara mereka. Dimitri mulai gelisah. Ia ingin segera menyatakan perasaan yang sudah sedari rumah tadi membuat dadanya menjadi sesak. Akhirnya setelah menghela napas panjang dia memberanikan diri untuk memulai percakapan di antara mereka.
          “Eva, aku mau bicara sebentar. Boleh?” tanya Dimitri.
          Eva menoleh ke arah Dimitri dan tersenyum manis, “Boleh aja, Dim. Emang mau ngomong apa?”
          “Kamu masih ingat kan, dulu waktu SMP aku pernah menulis sebuah puisi buat kamu?” kata Dimitri.
          “Ah, puisi itu. Tentu saja aku masih ingat, Dim. Kenapa?”
          “Sebenarnya, saat itu aku ingin mengungkapkan perasaan aku ke kamu, Va. Tapi karena waktu itu kita masih muda dan mengungkapkan rasa ke lawan jenis itu memalukan, maka aku mengungkapkannya melalui puisi itu,” kata Dimitri lagi.
          “Iya, aku tahu, Dim. Lalu? Kenapa kamu bahas itu sekarang?” tanya Eva. “Kejadian itu kan sudah lama sekali?”
          “Maaf, Eva, waktu itu aku mungkin terlalu bodoh untuk mengakui bahwa aku suka sama kamu. Apakah jika rasa itu kunyatakan sekarang masih belum terlambat, Va?”
          “Maksud kamu?” tanya Eva lagi.
          “Aku sayang kamu, Va. Aku mencintai kamu. Dari dulu, hingga sekarang. Aku ingin kamu jadi istri aku. Apakah aku masih belum terlambat?” tanya Dimitri.
          Eva tampak terkejut mendengar pengakuan Dimitri yang begitu tiba-tiba. Eva menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
          “Dim, kamu ngga lagi becanda, kan?” tanya Eva kemudian.
          “Aku serius, Eva.” Jawab Dimitri.
          “Ya ampun, Dim. Tahu ngga kamu? Selama sepuluh tahun, aku menunggu pernyataan kamu ini. Waktu kamu kasih aku puisi dulu, aku udah merasa senang sekali. Kupikir setelah itu, kamu akan menyatakan perasaan kamu secara langsung. Aku menunggu. Bahkan aku memberi tanda untuk itu. Tapi kamu ngga kunjung menyatakannya. Aku sempat bingung waktu itu, aku sempat mikir apa aku salah mengartikan sikap kamu ke aku. Aku nunggu, Dim. Sampai akhirnya kita lulus, tapi kamu tetap ngga menyatakannya. Akhirnya aku menganggap, bahwa aku yang salah menduga,” jawab Eva.
          “Maafkan aku, Eva. Aku ngga tahu kalau kamupun menyimpan perasaan yang sama kala itu. Aku merasa minder mengungkapkan perasaan aku ke kamu. Apalagi kamu tahu sendiri gimana kondisi keluarga aku, kan? Aku merasa ngga layaklah buat jalin hubungan dengan kamu,” kata Dimitri. “Jadi, apa jawaban kamu, Eva?”
          “Dim, kamu masih tanya lagi apa jawabanku?” tanya Eva.
          “Maksud kamu, Eva?”
          “Aku nunggu kamu sejak sepuluh tahun yang lalu, Dim. Apakah itu belum cukup untuk menjawab pertanyaan kamu?” kata Eva.
          Dimitri terdiam sejenak, dia hanya memandang Eva yang duduk di sebelahnya. Dia seperti orang yang kebingungan mendengar perkataan Eva barusan.
          “Iya, Dim. Iya,” kata Eva sambil memegang tangan Dimitri.
          Dimitri seperti tersentak dari lamunannya. Apa tadi Eva bilang? Iya? Iya? IYA?? Tiba-tiba Dimitri tersenyum dengan lebar, dia menggenggam tangan Eva yang ada di atas tangannya dengan erat.
          “Iya, Va?” tanya Dimitri lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri.
          Eva menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Tampak ada air mata yang mengalir di kedua pipinya. Dimitri mengangkat tangannya, lalu menghapus air mata itu. Dia pun tersenyum. Ah, kalau saja situasi memungkinkan ingin rasanya Dimitri menarik tubuh Eva dalam pelukannya. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukannya. Dimitri hanya bisa mencium punggung tanggan Eva dalam genggamannya. Dipandangnya wajah Eva dengan tersenyum.
          “Terima kasih, Va,” bisik Dimitri dengan lembut. “Terima kasih.”
          Eva tidak sanggup menjawabnya, ia hanya menganggukan kepalanya.
          Dimitri terus menggenggam tangan Eva malam itu, rasanya ia tidak ingin melepaskannya lagi. Dia tidak mau mengulangi kebodohannya dulu. Eva, sahabat dan cinta pertamanya ini ternyata juga memendam perasaan yang sama sejak dulu. Jika dulu dia mengabaikannya, maka kali ini Dimitri berjanji tidak akan pernah melepaskan Eva lagi. Dimitri mencintai Eva, amat sangat mencintainya. Jika pada malam tahun baru yang lalu, resolusi Dimitri adalah tentang kesuksesan karirnya, maka resolusi Dimitri tahun ini adalah membahagiakan Eva. Menikahi Eva di tahun yang akan datang memang belum bisa Dimitri lakukan, karena dalam adat istiadat Jawa tidak diperbolehkan ada dua perkawinan dalam satu tahun, maka Dimitri akan setia menunggu waktu yang tepat bagi dia dan Eva untuk mengikat janji pernikahan mereka. Yang Dimitri bisa lakukan saat ini adalah menjaga dan membahagiakan Eva, cinta sejatinya. Tahun 2015 ditutup dengan sebuah episode indah bagi Dimitri.





Kalasan, 31 Desember 2015
My #31 gift for my December

  

          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng : Rahasia Hati Yupitra

Sebuah Cerita : Tentang Sebuah Cinta

Dongeng : Ketika Matahari dan Bulan Saling Mencintai