Cerpen : Malam Natal Jeremia
Jeremia berjalan dalam diam menyusuri trotoar di sepanjang
jalan menuju ke rumahnya. Ia berjalan perlahan, seakan ia ingin memperlama
waktunya agar tidak segera sampai ke tempat yang ia tuju. Pikirannya melayang
entah ke mana. Andai saja ia boleh memilih sesungguhnya ia tidak ingin melakukan
perjalanan ini. Sudah beberapa tahun ini ia memang selalu menolak jika ibunya
memintanya pulang. Bahkan pada bulan Desember dua tahun yang lalu ketika
adiknya Sara melahirkan anak pertamanya pun ia membuat berbagai alasan agar
tidak perlu pulang ke rumahnya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan menginjakkan
kaki ke rumah orang tuanya. Namun kali ini dia tidak bisa menolak keinginan
ibunya, sebab ibunya sendiri yang datang ke tempat kostnya dan memohonnya untuk
pulang pada perayaan Natal tahun ini. Itulah sebabnya hari ini dia melakukan
perjalanan untuk kembali pulang. Tanpa disadarinya ia sudah tiba di sebuah
rumah mungil bercat putih dengan pohon mangga yang masih tegak berdiri di
halaman depan rumahnya. Jeremia berdiri cukup lama di luar pagar rumah itu,
sebelum akhirnya ia mendorong gerbang bercat merah bata itu lalu melangkah
masuk. Jeremia menghela napas panjang sebelum ia mengetuk pintu depan rumahnya.
Seseorang membuka kunci pintu itu dari dalam, dan ketika pintu terbuka, Jeremia
melihat ibunya berdiri di sana, memandangnya sejenak lalu merengkuh tubuh
Jeremia dalam pelukannya.
“Jere, akhirnya kamu pulang juga, Nak,” sambut Ibunya.
Jeremia merasakan ibunya menangis dalam pelukannya.
“Iya, Mam, aku pulang,” kata Jeremia. “Seperti yang Mama
inginkan.”
“Masuklah Jere, Kak Tere dan Sara sudah menunggumu dari
tadi,” jawab sang ibu sambil mengusap air matanya dan menggandeng tangan Jeremia mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Jeremia yang tidak mampu menolak keinganan ibunya itu hanya
pasrah mengikuti beliau dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, ia
mendapati kakak perempuan, Teresa dan adik perempuannya, Sara, sedang sibuk
memasukkan kue kering ke dalam stoples.
“Jere!!” teriak Teresa sambil berlari dan langsung memeluk
Jeremia. “Akhirnya kamu pulang juga.”
“Iya, Kak, Mama yang ingin aku pulang,” jawab Jeremia.
Sementara Jeremia dan Teresa saling berpelukan, Sara datang
menghampiri mereka berdua dan berdiri di samping mereka. Ia memberi kesempatan
kepada kedua kakaknya untuk melepas rindu setelah hampir 5 tahun tidak bertemu.
Setelah Teresa dan Jeremia saling melepaskan pelukannya, Sara mendekati kakak
laki-laki keduanya itu, lalu memeluknya sambil menangis.
“Hussh, Sara, sudah, jangan menangis, ah,” bisik Jeremia kepada
adik perempuannya itu. “Maafkan Kakak, ya, waktu kamu melahirkan Katera dua tahun
lalu Kakak tidak bisa pulang untuk menjengukmu.”
“Tiii.....dak aa..pa.., Kak Jere,” jawab Sara terbata-bata
karena menahan tangisnya.
Sara menangis dalam pelukan kakak kesayangannya itu. Dari
empat bersaudara, mereka memang yang paling dekat. Mungkin karena selisih umur
mereka yang tidak terlalu jauh. Mereka berpelukan cukup lama, hingga kemudian
seorang anak laki-laki berumur satu tahun menarik ujung kaos Sara.
“Mami.....mami....,” panggil Katera, anak laki-laki itu.
Jeremia dan Sara melepaskan pelukan mereka. Sara menarik
tangan Katera lalu berkata, “Kai, ini Oom Jere, kakak Mami. Ayo kasih salam.”
Katera mengulurkan tangan kecilnya ke arah Jeremia.
“Halo, Oom Jere. Namaku Katera Amadeus Suryapraja. Oom
panggil aku, Kai aja,” kata Katera.
Jeremia tersenyum mendengar ucapan Katera, ia menyambut
uluran tangan Katera sambil menjawab, “Hai, Katera Amadeus Suryapraja yang
dipanggil Kai. Kenalkan nama Oom Jeremia Octavianus Tanujaya. Kai bisa panggil
Oom Jere.”
Katera tersenyum mendengar perkataan pamannya itu dan
berkata, “Ihh...Oom lucu, deh.”
Sara tersenyum mendengar percakapan kakaknya dengan anak
semata wayangnya itu. Hatinya merasa sangat bahagia hari itu karena kakak
laki-laki yang selalu ia rindukan hari ini pulang kembali ke rumahnya.
Siang menjelang sore itu, tiga bersaudara, satu keponakan,
dan seorang ibu yang merindukan anaknya, duduk bersama sambil menikmati makan
siang yang terlambat. Mereka makan sambil berbincang dalam suasana yang akrab
dan penuh kerinduan. Teresa dan Sara tak henti-henti bertanya mengenai kegiatan
Jeremia selama 5 tahun ini. Jeremia dengan sabar menjawab pertanyaan mereka.
Terkadang ada pertanyaan yang yang hanya dijawab Jeremia dengan tersenyum
karena ia enggan menjawab. Katera, anak laki-laki Sara, mendengarkan percakapan
mereka sambil menikmati susu dan kue kacang kesukaaan. Ia tidak ikut
berbincang, hanya sesekali ia ikut tertawa jika orang dewasa di sekitarnya itu
tertawa. Ia tidak lama duduk di meja makan itu, karena setengah jam kemudian ia
pamit pada orang dewasa di sekelilingnya untuk bermain bersama teman-temannya
di taman sambil ditemani pengasuhnya. Mereka yang masih tinggal di meja makan
terus melanjutkan percakapannya. Percakapan di sekeliling meja makan itu
berlangsung dengan hangat dan penuh keakraban, hingga suara pintu depan yang
ditutup dengan kerasmenghentikan percakapan mereka.
“Ah......anak yang hilang sudah kembali ternyata,” kata
Jonathan dengan suara keras. Jonathan adalah kakak lak-laki Jeremia. Dia anak
kedua dari pasangan Jonas Tanujaya dan Wihelmina Anggana.
“Masih ingat punya rumah juga kau, Jer?” lanjut Jonathan
dengan suara mengejek.
Jeremia hanya duduk diam saja. Dia tidak mau membalas
ejekan kakak laki-lakinya itu. Jeremia tahu persis perangai kakaknya itu. Yang
akan bertambah emosinya jika ia menjawab kemarahannya. Sementara Teresa, Sara,
dan ibunya hanya bisa berdiam diri saja. Mereka semua paham betul perangai
Jonathan.
“Hei! Jawab kalau aku bicara!” kata Jonathan sambil
berjalan ke arah Jeremia dengan kemarahan yang sudah memuncak. Ibu mereka
langsung berjalan ke arah Jonathan berusaha menghalanginya, karena terlihat
gelagat Jonathan yang akan memukul Jeremia.
“Jo, sudah. Sudah, Jo,” kata Ibu Wihelmina sambil memegang
tangan Jonathan yang sudah terangkat ke atas. “Sudah. Mama yang minta Jere
pulang. Mama yang minta.”
“Ah, Mama! Mama lupa pesan Papa pada kita?” jawab Jonathan
sambil menurunkan tangannya. Dia memang pemarah. Tapi dia sangat mencintai
ibunya. Dia adalah anak yang paling tidak bisa melihat ibunya menangis.
“Mama ingat, Jo. Mama ingat. Tapi Mama tetaplah seorang
ibu, Jo. Dan Jere anak mama juga. Sama seperti kamu,” kata Ibu Wihelmina sambil
terisak.
Jeremia tiba-tiba merasa bagai dihantam tinju yang sangat
keras di dadanya. Papa. Dia baru sadar bahwa sedari tadi, dia tidak melihat
kehadiran papanya. Kebahagiaannya karena bertemu kembali dengan ibu dan dua
saudara perempuannya membuatnya lupa kehadiran papanya.
“Kak Tere, papa di mana?” tanyanya pada Teresa yang duduk
di seberang kursinya. Teresa hanya terdiam, lalu ia menundukkan kepalanya.
“Sara, papa di mana?” tanyanya pada Sara ketika dilihatnya
Teresa tak mau menjawab pertanyaannya. Dan diapun harus kecewa ketika
dilihatnya Sara memalingkan wajah daripadanya. Sara tidak mau melihat wajahnya,
itu artinya Sarapun enggan menjawab.
Jeremia lalu bangkit dan menghampiri ibunya.
“Mama, papa di mana?” tanyanya dengan setengah memaksa.
Ibunya tidak menjawab pertanyaan Jeremia, beliau malah mendudukkan
dirinya di atas sofa sambil menangis. Jeremia duduk di sebelah ibunya. Ia
memegang tangan ibunya lalu mengulangi pertanyaannya. Ibunya hanya diam saja.
Satu-satunya harapan Jeremia untuk mengetahui keadaan papanya adalah dari Jonathan,
kakaknya. Ia pun bangkit dan menghampiri Jonathan yang berdiri membelakanginya.
“Kak Jo, papa...”
Plak! Belum sempat dia melanjutkan pertanyaannya sebuah
tamparan keras dari Jonathan mendarat di pipinya.
“Jo! Jo.... Mama mohon......”
“Kak Jo. Tampar saja aku sekarang, tampar, Kak! Kalau itu
bisa menghapus kebencian Kakak padaku. Tapi tolong beritahu aku, Kak. Papa di
mana?”
Jonathan mendengus kesal. Sesungguhnya dia sayang sekali
pada adik laki-lakinya itu. Sesungguhnya ia pun menyesali tindakannya barusan.
Tapi kemarahan yang dia pendam selama ini karena kelakuan adiknya itu
benar-benar membuatnya tak tahan untuk tidak melayangkan tamparannya tadi. Setelah
menghela napas panjang, akhirnya Jonathan merangkul adiknya itu lalu
mengajaknya duduk di kursi dekat mereka. Dan dia pun mulai menceritakan kondisi
papa mereka.
“Papa ada di ruang ICU, Jer. Sudah hampir 3 bulan Papa
koma, setelah serangan stroke yang kedua 3 bulan yang lalu. Kamu tentu masih
ingat kejadian 5 tahun yang lalu, ketika kamu menggadaikan sertifikat rumah ini
demi melunasi hutangmu. Dan hampir saja kita kehilangan rumah ini, harta
satu-satunya yang masih tersisa, karena perbuatanmu itu. Lalu Papa marah besar
dan mengusirmu dari rumah ini. Tiga bulan sesudahnya Papa terserang stroke
karena menyesali tindakannya itu. Kamu pasti
ingat, 2 bulan sesudah kepergianmu itu, ketika kami berhasil menemukan
keberadaanmu, kami memintamu pulang, tapi kamu menolaknya. Kamu masih ingat,
kan? Saat itu kami memintamu pulang karena Papa menginginkan kamu kembali, Jer.
Tapi kamu menolak. Setelah itu kondisi kesehatan Papa semakin menurun. Hingga akhirnya
terkena serangan stroke karena terlalu memikirkan kamu. Tapi Puji Tuhan,
setelah dirawat hampir 6 bulan, Papa bisa kembali pulih walau tidak bisa
seperti sedia kala.”
Jeremia mendengarkan penjelasan kakaknya itu dengan hati
tercabik-cabik, ya, dia ingat semua kejadian itu. Dia ingat bahwa dia pernah
menggadaikan sertifikat rumah orangtuanya tanpa sepengetahuan mereka karena
mengalami kerugian dalam bisnis properti yang sedang dirilisnya. Dia terlalu
sombong saat itu untuk meminta bantuan dari orangtua maupun saudara-saudaranya,
hingga akhirnya dia mengambil jalan pintas itu. Dia ingat kemarahan ayahnya
saat itu dan kata-kata ayahnya yang membuat dia pergi dari rumahnya. Dia saat
itu terlalu gengsi untuk meminta maaf,
justru menyalahkan ayahnya karena tidak bisa mengerti kondisinya ketika itu.
Dia bahkan menyalahkan ayahnya karena lebih menyayangi kakaknya Jonathan dari
pada dirinya. Dia ingat semua kata-kata yang dia lontarkan pada ayahnya saat
itu.
“Tiga bulan yang lalu, Papa terkena serangan stroke yang
kedua. Hal itu terjadi setelah kedatangan Oom Handy ke rumah. Oom Handy
bercerita bahwa dia pernah melihatmu mengamen di terminal Kota Solo. Setelah
Oom Handy pulang, Papa terlihat sering melamun, Jer. Kami semua yakin Papa
pasti memikirkan keadaan kamu. Memang
pada tahun pertama kepergiaan kamu setelah kamu menolak ketika kami memintamu
kembali ke rumah, Papa berpesan kepada kami, bahwa Beliau tidak mau melihatmu
lagi, dan meminta kami mengusirmu jika suatu saat kamu pulang. Tapi, kami yakin
bahwa kata-kata Papa itu terucap karena kemarahan Beliau saja. Karena yang
terjadi, setiap sore Beliau selalu duduk di teras rumah hingga matahari
terbenam. Kami yakin Papa menunggumu pulang. Sifat kalian berdua, kan,
sebenarnya sama. Sama-sama keras kepala dan gengsi untuk mengakui kesalahan.”
“Seminggu setelah kedatangan Oom Handy kondisi Papa
menurun, hingga akhirnya mendapat serangan stroke kedua. Kondisi Papa semakin
memburuk, karena beban pikirannya. Sesuai nasihat dokter, kami diminta untuk
membuat Papa senang dna bahagia agar beban pikirannya bisa berkurang. Namun,
kami tahu bahwa itu sulit, karena yang bisa membuat Papa bahagia adalah
kepulangan kamu. Kami sudah beberapa kali memintamu pulang, namun kamu selalu
menolak. Bahkan ketika Sara melahirkanpun kamu tidak datang. Padahal, kamu
pernah berjanji akan menemaninya ketika dia melahirkan anak pertamanya, kan?”
“Hingga akhirnya Mama memutuskan untuk datang ke tempat
kostmu, baru kamu pulang hari ini. Sesungguhnya, Kakak tadi juga senang
melihatmu, Jer, namun jika teringat penderitaan batin yang ditanggung Papa dan
Mama akibat perbuatan kamu, Kakak jadi sangat marah. Makanya tadi Kakak berbuat
seperti itu. Maafkan, Kakak, ya, Jer,” kata Jonathan mengakhiri ceritanya.
Jeremia duduk terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka
perbuatannya bisa membuat penderitaan batin yang begitu besar bagi kedua orang
tuanya. Jeremia teringat semua kesusahan yang dia alami selama 5 tahun
meninggalkan rumahnya. Dia memang pernah bekerja apa saja untuk bertahan hidup.
Kadang di saat tersulitnya, dia masih merasa marah pada kedua orang tuanya
karena telah mengusirnya dari rumah.
Jeremia lupa bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya adalah akibat dari perbuatannya
sendiri. Mendadak dia merasakan kesakitan yang begitu dalam di hatinya. Jeremia
menangis. Menangisi perbuatannya yang telah lalu, menangisi penderitaan orang
tuaanya akibat ulahnya, dan menangisi kondisi ayahnya saat ini. Dia menangis
hebat hingga napasnya tersengal. Ibunya mendekati dia dan merangkulnya. Mereka
menangis bersama sore itu.
“Jere, dengar Mama, Nak. Sesungguhnya Papa sudah memaafkan
kamu jauh hari sebelum kamu pulang. Papamu juga menyesali kemarahannya hingga
mengusirmu dari rumah. Memang Papamu pernah sesumbar akan mengusirmu jika kamu
pulang dan pesan itu pun disampaikan kepada kami. Tapi itu hanya karena
kemarahannya saja. Sesungguhnya Papamu sangat menyayangi kamu, Jere.”
Mendengar perkataan ibunya, tangis Jere menjadi semakin menjadi.
Pundaknya berguncang hebat. Wajahnya memerah dan basah oleh air mata yang luruh di pipinya bercampur
dengan ingus dari hidungnya. Ibunya mengusap punggung anak terkasihnya itu
dengan lembut untuk menenangkannya. Lalu berjalan ke dapur untuk mengambil
segelas air putih bagi Jeremia.
Sementara itu, kedua kakak dan adiknya mendekati Jeremia
yang masih menangis, lalu memeluknya dengan erat. Mereka empat bersaudara,
saling merangkul sama lain dan menangis bersama. Hingga akhirnya tangis mereka
reda. Mereka saling menggenggam tangan saudara di sebelahnya. Jeremia masih
terisak, namun sekarang beban di hatinya sudah sedikit terangkat. Ia merasakan
ada kelegaan dalam hatinya. Ia memandang saudara-saudara dengan tatapan meminta
maaf. Saudara-saudaranya mengerti arti tatapan itu, mereka menganggukkan kepala
mereka masing-masing.
Ibu menghampiri mereka lalu duduk di sebelah Jeremia dan
memberikan segelas air putih padanya, “Minumlah dulu, Jere.”
Jeremia meminumnya,
lalu meletakkan gelas itu di meja dekatnya. “Mama, Kak Tere, Kak Jo, dan Sara,
maafkan semua kesalahanku yang menyebabkan kalian semua menderita karenanya.
Aku benar-benar menyesal. Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Aku
sudah banyak belajar dari kesalahan itu. Maafkan aku, ya.”
“Jere, kami semua sudah memafkan kamu, bahkan sebelum kamu
memintanya. Kami semua sayang sama kamu, Jer,” kata Teresa. “Malam ini adalah
malam Natal pertama kamu berkumpul bersama kami lagi. Kakak yakin semua ini
pasti rencana Tuhan bagi keluarga kita hingga kamu bisa kembali lagi bersama
dengan kami. Nanti malam sesudah ibadah malam Natal, kita sama-sama akan
menjenguk Papa di rumah sakit. Kita sama-sama berdoa semoga Papa bisa sadar
dari komanya. Semoga Tuhan kembali memberikat MujizatNya bagi keluarga kita,
ya.”
Hati Jeremia berdesir mendengar perkataan Teresa. Ya, malam
ini adalah malam Natal pertamanya bersama keluarga lagi, setelah malam-malam
Natal yang lalu selalu ia lalui dalam kesendirian. Malam ini dia bisa merasakan
kehadiran Tuhan kembali dalam hidupnya. Ia merasakan kembali kasih sayang di
keluarga ini. Ia merasakan kembali kedamaian Natal yang dulu selalu ia rasakan
saat berkumpul bersama keluarga. Ia juga berharap semoga Natal tahun ini juga
terjadi mujizat dari Tuhan, hingga ayahnya bisa sadar dari komanya. Ia tidak
menginginkan kemewahan yang lain, karena berada di dalam keluarga inilah
kemewahan terindah dan anugerah terbaik yang Tuhan sudah berikan bagi hidupnya.
“Terima kasih, Yesus, Engkau telah memberikan malam Natal
terindah dalam hidupku,” doa Jeremia dalam hati.
Kalasan, 24 Desember
2015
My #24 gift for my
December
Komentar
Posting Komentar