Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri atau bahasa
kekiniannya PD. Apakah rasa percaya diri itu? Menurut Thantaway dalam Kamus Istilah
Bimbingan dan Konseling, percaya diri
adalah kondisi mental atau psikologis
diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau
melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep
diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
Hari ini saya ingin bercerita
tentang bagaimana pengalaman masa kecil seorang anak bisa membuatnya rasa percaya
dirinya berkurang, walaupun sebenarnya ia mempunyai kemampuan untuk dapat
berbuat sesuatu yang lebih.
Ada seorang anak
perempuan, dia anak kedua dari empat bersaudara. Dia mempunyai seorang kakak
perempuan yang bisa dibilang cantik dan banyak disukai orang. Sedangkan dia
dilahirkan dengan wajah yang biasa-biasa saja. Jeda kelahiran keduanya yang
hanya terpaut 1,5 tahun membuat mereka terlihat sebaya, dan selalu
diperbandingkan. Dan seperti diketahui sebagian orang pasti lebih menyukai
sesuatu yang indah, sehingga apa yang indah itulah yang lebih disukai dan lebih
dicari. Kedua kakak beradik ini sering memakai pakaian yang senada, namun
selalu sang kakak yang menjadi perhatian dan mendapat pujian. Perhatian orang tua
pun terkadang lebih terarah kepada sang kakak dibanding sang adik. Sang adik
sering diejek karena fisiknya, dibilang jidat lebarlah (karena memang sang adik
ini memiliki jidat yang lebar), tonggoslah (karena memang konstruksi gigi sang
adik ini tak rapi), dan masih banyak lagi. Sewaktu dia masih kecil mungkin ia
tak menyadari hal itu, respon yang dia lakukan ketika ia menerima ejekan-ejekan
itu hanyalah menangis. Namun, tanpa disadari sebenarnya dia sudah menyimpan
luka di batinnya, dan mempunyai anggapan bahwa orang tidak suka dan tidak
tertarik padanya karena dia “jelek (secara fisik)”. Ketika mereka beranjak
remaja dan mulai mengenal ketertarikan akan lawan jenis, dia semakin merasa tak
percaya diri. Karena kebanyakan lawan jenisnya hanya menyukai gadis yang
berwajah cantik. Pernah pada suatu saat, ia menyukai seorang laki-laki dan
ternyata laki-laki tersebut justru menyukai sang kakak. Semakin berkuranglah
rasa percaya dirinya.
Ada suatu peristiwa yang semakin
membuat rasa percaya dirinya berkurang, yaitu ketika mereka sedang berbelanja
baju di sebuah toko baju ternama di kotanya. Mereka berbelanja ditemani oleh
sang ayah yang kebetulan mengenal baik sang pemilik toko. Setelah selesai
memilih baju-baju yang akan dibeli, mereka, kedua gadis itu dan sang ayah,
pergi ke kasir untuk membayar belanjaan mereka. Kebetulan yang melayani mereka
adalah sang pemilik toko itu sendiri. Ketika melihat bahwa yang berbelanja
adalah orang yang dikenalnya, maka dia pun bermaksud memberi hadiah. Ketika
akan memberi hadiah, pandangan pemilik toko itu seakan melihat kepada kedua
gadis itu, namun yang dipandangnya dengan seksama sesungguhnya adalah sang
kakak, yang berwajah lebih cantik, dan berkata, “Ambillah satu barang yang kamu
mau di toko ini, Nak. Itu hadiah dari Oom.” Kedua gadis kecil yang mendengar
hal itu langsung berlarian ke arah barang-barang yang ada di toko dan segera
mengambil barang yang mereka mau. Masing-masing satu buah. Tapi apa yang
terjadi? Ternyata sang pemilik toko hanya menerima apa yang diserahkan oleh
sang kakak, sedang barang yang diambil oleh sang adik ditolaknya, dan berkata, “Hadiahnya
hanya boleh satu saja.” Sang ayah yang mungkin merasa kasihan karena sang adik
sudah terlanjur memilih, memutuskan untuk membayar barang itu. Namun, di hati
sang adik lagi-lagi tertoreh luka batin, dan semakin meyakinkannya, bahwa orang
hanya suka dan sayang kepada yang berwajah cantik saja.
Hingga sang adik dewasa, ia selalu
tidak percaya diri pada penampilannya. Ia selalu merasa wajahnya tak menarik,
sehingga wajar jika orang tidak menyukainya. Padahal sesungguhnya, wajah sang
adik ini sangat menarik ketika ia tertawa dan ia mempunyai banyak kemampuan
yang lain yang melebihi kemampuan sang kakak. Namun pengalamannya di masa kecil
membuatnya rasa percaya dirinya berkurang, terutama jika ia bergaul dan berinteraksi dengan orang
lain. Ia sulit bergaul dengan orang-orang baru dan cenderung menutup diri. Ia
tidak suka mengungkapkan perasaannya dan pikirannya lewat kata-kata, ia lebih
suka mencurahkan perasaan hatinya lewat buku hariannya. Karena itu ketika ia
dewasa, dia lebih mudah berkomunikasi
melalui tulisan daripada lisan, terutama jika orang yang dia ajak komunikasi
adalah orang yang baru ia temui. Ia bisa berbincang dengan terbuka dan
menyenangkan melalui chatroom dengan orang baru, namun ketika bertemu secara
langsung dia akan berubah menjadi orang yang lebih banyak diam dan mendengarkan
karena kurangnya rasa percaya diri.
Dari cerita di tersebut, kita dapat
melihat bahwa perlakuan diri seseorang di masa kecilnya dapat mengurangi rasa
percaya diri seseorang. Ejekan-ejekan yang dilontarkan kepada seseorang semasa
ia kecil bisa menjadi luka batin yang ia bawa hingga dia dewasa. Ejekan itu
mungkin saja hanya bermaksud bercanda saja, namun kita tidak tahu bagaimana
perasaan sesungguhnya dari orang yang kita ejek itu. Mungkin dia tertawa saat
diejek, tapi apakah kita yakin bahwa hatinya pun tertawa. Memang ada orang yang
menganggap ejekan hanya sebagai angin lalu yang tak perlu dipikirkan, namun ada
juga orang yang menerima ejekan sebagai salah satu tanda bahwa dirinya tidak
sebaik atau tidak semenarik yang ia kira.
Pesan
moral dari cerita di atas adalah berhati-hatilah memperlakukan seorang anak,
entah ketika ia masih kecil atau pun remaja, karena apa yang kita lakukan atau
katakan hari ini mungkin saja bisa mengurangi rasa percaya dirinya dan meninggalkan
luka batin dalam hatinya hingga ia dewasa.
Kalasan,
12 Desember 2015
My
#12 gift for my December.
Komentar
Posting Komentar